Kritik

Dia lagi jadi panitia Patjar Merah di Malang kemarin
Sore kemarin saya mendapat kritik dari salah seorang adik saya. Memang bukan adik kandung. Tetapi persahabatan kami sudah terjalin cukup lama. Mungkin sejak 2011 atau 2012.

Saya berkenalan dengannya di sebuah pesantren di Mojokerto. Saat itu ia masih duduk di bangku MA--setingkat SMA. Ia sedang getol-getolnya mencintai kesenian. Diantara sejawatnya, ia gandrung melahap buku. Dan dalam pertemuan itu ia sedang mengakrabi si Burung Merak, Rendra.

Lewat kakak saya yang mengajarnya, saya dipertemukan dan harus menemaninya dalam sebuah proses untuk pementasan di akhir tahun. Ia akan baca puisi.

Kecintaannya pada kesenian sedikit banyak dibentuk oleh keluarganya--mungkin ia tak akan suka saya menyebutnya demikian, tapi faktor itu tidak bisa saya nafikan begitu saja.

Ayahnya seorang kurator seni rupa, penulis, wartawan, pimred sebuah majalah di jawa timur, juga seorang santri. Ibunya, tak jauh beda. Dosen psikologi di sebuah PTN di Jawa Timur, aktris teater. Bahkan, ketika mengandungnya, sang ibu tengah menggarap sebuah pertunjukan. Kalau tak salah pasangan orang tuanya juga aktif di Bengkel Muda Surabaya.

Catatan itu sedikit yang saya tahu tentang latar belakang keluarganya. Masih banyak yang belum saya tahu. Bilapun dalam penyebutan di atas ada kekeliruan, saya rasa tak jauh-jauh dari yang saya sebutkan. Hanya kurang lengkap.

Sejak pertemuan itu kami menjadi teman yang akrab. Saya banyak belajar darinya. Sebagai anak muda yang penuh gairah pencarian, saya kerap kedodoran menjawab pertanyaan-pertanyaannya. 

Darah muda yang kian mendidih dalam dirinya juga membentunkya menjadi karakter yang kritis tanpa tedeng aling-aling. Tak jarang menyukut percik konflik baik dalam pribadinya maupun lingkungan sosialnya.

Dalam masa itu ia kerap berhadapan-bersitegang dengan lingkungan sosialnya karena gejolak emosional yang meletup-letup. Khas gairah muda yang liar dan penuh pemberontakan. Bahkan mungkin sampai hari ini. Meski saya akui banyak perubahan yang ia lakukan. Tentang pengendalian diri dan pembawaan sikap.

Dari itu semua, sampai hari ini saya apresiatif terhadap keberanian, ketegasan, empati dan tanggung-jawabnya. Hal yang mungkin sulit ditemukan dalam pribadi saya. Ia akan bersikukuh memegang kata-katanya--kecuali ia lupa 😂.

Sampai sore kamarin, dalam sebuah percakapan telepon, ia menyampaikan kritiknya tentang tulisan saya yang mendokumentasikan aktivitas saya dan beberapa teman yang sedang menggarap prewedding. Barangkali lebih tepat disebut saran.

Menurutnya saya harus menulisnya dengan lebih manis lagi. "Jangan menceritakan diri sendiri saja, Mas," Katanya. "Berkeluh kesah tentang diri sendiri," Lanjutnya.

Saya tak menyangkal. Jauh sebelum itu salah satu sahabat saya juga mengungkapkan hal sama. "Tulisanmu terlalu personal," katanya.

Dan menurut adik saya ini, harusnya saya bisa mengeksplor banyak hal. Menceritakan kronologi, mendiskripsikan lingkungan, menggali lebih dalam kisah orang-orang yang saya tulis, dls.

"Orang kan lebih senang kalau sampeyan puji-puji. Sampeyan ceritakan kisah mereka." Tuturnya.

Mengeksplor banyak hal dan menggali lebih dalam, iya, pikir saya, tetapi untuk sekedar memuji barangkali tidak. Justru saya tak mau terjebak untuk sekedar memuji.

Tanpa bermaksud berapologi, bagi saya tulisan-tulisan yang saya buat berangkat dari kesan-kesan yang saya peroleh dari lingkungan sekitar. Dan tulisan-tulisan itu hanya bertengger di blog pribadi dan timeline facebook saya 😅.

Dari itu semua, saya sadar bahwa saya juga harus belajar menulis hal-hal yang lebih obyektif dan mungkin menulis hal-hal yang lebih bermanfaat secara umum.

Maksih ya, Ndul !

You Might Also Like

0 komentar