Seorang Teman

Punya teman yang serba tahu itu menyenangkan. Apalagi soal referensi film. Ia bisa memberi banyak informasi dan menjawab banyak pertanyaan yang mengganggu pikiran kita. Saya salah satu orang beruntung yang punya teman seperti itu.

Terakhir kali kami ngobrol tentang target-target kecil yang ingin kami capai. Salah satu target yang ingin ia capai adalah menuntaskan seratus film dalam setahun. Keinginan itu muncul setelah ia membuat daftar film yang sudah ia tonton. Ia mencatatnya tiap selesai nonton. Setelah terkumpul begitu banyak judul film, ia berpikir untuk menggenapkannya menjadi seratus film dalam setahun. Keren!

Saya juga mendapat daftar rekomendasi film-film bagus darinya. Separuhnya bisa terhitung sebagai film-film lawas. Mulai dari tahun 1957. Bergerak sampai tahun 2020. Memang belum banyak judul yang ia rekomendasikan. Tapi sebagai permulaan, itu cukup baik.

Saya tonton satu film dari daftar rekomendasinya. Saya mengumpat dan memaki dalam diri usai menonton. Itu film yang bagus—setidaknya menurut saya yang awam soal film. Setelah saya cek review filmnya, ternyata film itu adalah salah satu film terbaik sepanjang masa.

Di lain waktu, saya tonton lagi satu film yang ia rekomendasikan. Lagi-lagi saya memaki dalam diri. Saya cek review filmnya dan ternyata itu memang film keren yang menyabet banyak penghargaan. Begitu berulang seterusnya. Dari sepertiga daftar film rekomendasinya yang sudah saya tonton, semuanya adalah film-film bagus yang sudah mendapat pengakuan dunia.

Beruntungnya saya punya teman seperti dia. Saya selalu menyukuri hal itu.

Namun, ya, tetap saja manusia bukan mahluk yang sempurna. Selain menyenangkan, tak jarang ia juga menjadi manusia paling menyebalkan yang pernah saya tau. Celakanya ia terlanjur menjadi teman saya. Mulutnya itu lhoo tajam dan berbisa. Tak jarang komentar-komentar yang keluar dari mulutnya itu satir dan getir. Kerap kali ia memuntahkan kalimat-kalimat yang sama sekali tidak pernah terpikirkan. Ini mengingatkan saya pada penilaian Mas Puthut Ea tentang kawannya, Bagor. Kepala suku mojok itu menulis, "Berteman dengan Bagor harus siap dengan manuver tak terduga".

Teman saya itu bahkan mendaku diri sebagai aktivis. Tapi jangan menilainya positif dulu. Dalam sebuah obrolan, teman saya itu bilang, "Saya kan aktivis kontra produktif. Kalau besok bisa, kenapa harus sekarang? Kalau bisa dibuat susah, kenapa harus dipermudah? Kalau mereka bisa, kenapa harus kita?"

Sampai di sini saya kembali teringat kalimat Mas Puthut, sekaligus sebagai kesimpulan, bahwa teman saya itu memang positif. POSITIF REMUK!

Lain waktu, ketika keluar dari kelas kami nongkrong dekat parkiran fakultas. Perut saya lapar. Penampakan tempe goreng, tahu brontak dan kawan-kawannya mendadak muncul di benak saya. Wanginya semerbak. Liur saya mengucur.

"Dul, aku kok pingin gorengan, ya?" saya ceritakan keinginan saya. Tapi tanggapannya sungguh di luar dugaan.

"Pingin kok pingin gorengan? Pingin rabi gitu lho!" Ia menukas sambil berlalu.

BGSD! Pikir saya mengumpat. Kalau saja saya lempar bangku yang saya duduki saat itu pasti pecah kepalanya. Untung itu bangku beton. KZL!


You Might Also Like

0 komentar