Pak Dolah


“Assalamu’alaikum.” Ucap saya di depan pintu rumah Pak Dolah, guru ngaji saya di kampung. Beliau memberi kesan yang amat mendalam bagi saya. Dulu ketika saya masih tinggal di kampung, saya belajar ngaji ke beliau sampai saya tamat SMP. Setamat SMP bapak mengirim saya untuk belajar di pesantren tempat Pak Dolah menimba ilmu.

Pesantren itu kini menjadi pesantren yang maju dengan tetap menjaga kesederhanaan seisi pesantren, termasuk guru dan santri. Ketika saya belajar di sana, saya sudah bisa sekaligus sekolah di Madrasah Tsanawiyah di bawah naungan pesantren itu. Meski sederhana, semangat keluasan dan ketajaman keilmuan yang diajarkan di sana mampu menggembleng santri menjadi manusia yang cerdas dan mandiri dengan tetap beripjak pada ilmu agama yang mereka pelajari di pesantren.

“Assalamu’alaikum,” Saya mengulang. Rumah Pak Dolah terlihat sepi. Mungkin beliau sedang istirahat. Semoga saja beliau tidak sedang ke luar rumah untuk memberi pengajian keliling kampung. Tapi aneh, rumah beliau benar-benar sepi.

Ah, biarlah saya ulangi sekali lagi. Kalau memang tidak ada tanda-tanda Pak Dolah sedang berada di rumah, besok malam saya akan kembali lagi. “Assalamu’alaikum.”

Terdengar suara sandal diseret. Ada langkah kaki yang mendekat.

“Alhamdulillah, Pak Dolah memang di rumah,” pikir saya.

“Wa’alaikum salam.” Suara parau dari balik pintu itu sangat saya hapal. Suara parau Pak Dolah yang dulu begitu telaten mengajari anak-anak ngaji di musala dekat rumahnya. Pintu dibuka, dan benar saja, Pak Dolah segera nampak dari balik pintu dengan peci hitam yang selalu menutup kepalanya.

“Pak.” Sapa saya tersenyum. Sambil membungkuk saya cium telapak dan punggung tangannya.

“Oalah, Nak Salam. Apa kabar?” tangan kirinya membelai punggung saya.

“Alhamdulillah baik, Pak. Berkat do’a bapak.” Jawab saya. Wajah beliau selalu berseri. Dengan senyum mekar yang begitu ringan, seolah memancar cahaya dari wajah beliau.

“Ayo masuk, Nak.” Kata beliau mempersilahkan saya masuk, “Silakan duduk.”

“Iya, Pak.” Kemudian kami duduk bersama, saling berhadapan. Beliau masih seperti Pak Dolah yang saya kenal dulu. Peci hitam yang selalu menutup kepalanya, kaos oblong putih, serta sarung dengan ikat pinggang lebar di perutnya.

Semuanya masih seperti Pak Dolah yang saya kenal dulu. Hanya saja, kulitnya lebih keriput dan beberapa uban yang menjuntai keluar dari peci menandakan usia yang sudah masuk masa senja.

“Kok di rumah?” tanya Pak Dolah singkat sambil menarik ke atas urat-urat yang ada di keningnya.

“Iya, Pak. Mumpung ada waktu libur untuk sambang rumah. Sudah lama saya tidak pulang. Rasanya kangen ketemu bapak-ibuk. Saya juga sudah lama ingin sowan ke sini.” Jawab saya menjelaskan.

“Oalah. Ya, ya. Apa Nak Salam sudah mau menikah?” tanya Pak Dolah menggoda. Badannya menunduk ke depan. Sekali lagi Pal Dolah mengangkat urat di keningnya. Tak lama kemudia tawanya sumringah. Aku hanya bisa tersenyum.

“Oiya, sebentar, biar dibuatkan sekadar minum untuk Nak Salam.” Kata beliau sambil beranjak dari tempat duduknya.

“Tidak usah repot-repot, Pak. Saya Cuma mau bertemu bapak saja, kok.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut saya. Dalam hati saya tiba-tiba teringat pesan beliau, seorang tamu tak boleh menolak hidangan yang disuguhkan oleh tuan rumah.

Tak lama kemudian beliau keluar. Saya lihat, di tangan beliau tergenggam sebungkus rokok kretek dan korek api. Setelah duduk kembali, beliau meraih sesuatu di bawah meja. Sebuah asbak kayu.

“Nak Salam merokok?” tanya beliau. Saya kelabakan. Senyum bodoh menyeruak dari mulut saya. Tapi apa daya, saya tak bisa berbohong.

“Ayo, diambil. Saya juga merokok, kok, waktu seusia Nak Salam. Malah sampai sekarang.” Katanya. Untunglah. Dengan begitu saya tidak menjawab dengan jawaban yang palsu hanya karena sungkan. Saya ambil sebatang rokok yang beliau sodorkan, lalu menyalakannya. Anggap saja ini termasuk dari suguhan beliau, pikir saya.

“Alhamdulillah, akhirnya saya bisa sowan ke rumah njenengan. Sebenarnya saya sudah lama kangen dan bermaksud untuk sowan, tapi saya jarang pulang. Kalau libur pun, belum tentu saya pulang.” saya memulai obrolan.

“Alhamdulillah,” Seru beliau, “Nak Salam masih ingat dengan saya. Yang paling saya rindukan itu kalau melihat anak-anak yang dulu tiap sore selalu rajin ngaji ke musala. Kalau melihat mereka tumbuh dewasa itu saya juga ikut senang. Sepertinya saya masih diberi kesempatan untuk mengingat bahwa saya juga semakin tua. Tapi sehat-sehat saja.” Kata-kata beliau itu membuat hati saya tersentuh. Betapa beliau menyayangi kami, anak-anak yang pernah belajar padanya. Juga kerendahan hati beliau yang selalu mawas diri dalam menjalani hidup.

“Oya, bagaimana kabar di pesantren?” beliau bertanya.

“Alhamdulillah, sekarang pesantren tambah maju,” jawab saya, “Teman-teman yang dulu belajar di sana juga banyak yang sudah menjadi orang sukses, Pak.”

“Wah, kalau begitu sudah bisa bantu ngajar anak-anak di musala, ya?” beliau menanggapi.

“Ya, alhamdulillah, Pak. Teman-teman juga semakin banyak yang di berangkatkan untuk mengabdi di masyarakat. Dan sekarang itu, teman-teman tidak cuma dikirim untuk mengabdi di kampung-kampung yang membutuhkan tenaga pengajar diniyah atau modin. Tapi sudah ada yang menjadi guru di sekolah-sekolah, ada yang menjadi kepala desa, bahkan yang jadi dosen juga sudah ada.”

“Subhanallah,” seru beliau penuh kesungguhan, “Alangkah bahagia Almarhum Kyai Durrohim melihat anak-anak didiknya bisa melanjutkan perjuangan beliau. Semoga beliau selalu mendapat buah manis dari perjuangan semasa hidupnya.” Mata tua Pak Dolah berkaca-kaca. Ia hanyut dalam perasaan syukur.

“Amin,” ucap saya lirih, “Gus Mat dibantu guru-guru yang lain sangat berjasa dalam memperluas wawasan di pesantren. Beliau juga memberi perhatian yang sungguh-sungguh dalam pendidikan formal. Sejak saya masuk pesantren dulu, saya sudah bisa sekaligus bersekolah formal di sana. Sekarang, malah sudah berdiri SMA. Ikatan alumni yang baik juga punya peran penting dalam penyebaran santri-santri yang mengabdi, juga yang mau kuliah atau bekerja,” Lanjut saya mengabarkan perkembangan di pesantren tempat Pak Dolah dulu menimba ilmu.

“Iya, Gus Mat memang seperti mewarisi ayahnya. Sejak kecil sudah terlihat sifat keberanian dan kecerdasan beliau. Alhamdulillah.” Tak henti-hentinya Pak Dolah bersyukur. Saya sendiri turut bahagia melihat Pak Dolah bisa tersenyum senang dengan kabar yang saya sampaikan.

“Oya, Nak Salam sendiri bagaimana sekarang? Apa Nak Salam mau nyaleg juga? Seperti orang-orang yang gambarnya banyak nempel di pohon dan tiang listrik itu. ” Pak Dolah berseloroh dengan tawa yang renyah. Wajahnya begitu bercahaya.

“Lha ya itu, Pak. Maksud saya sowan ke sini...” Jawab saya hati-hati.

“Ya, kalau memang Nak Salam mau terjun ke dunia politik, Nak Salam jangan sampai ikut-ikutan rombongan yang nyasar-nyasar itu.” Tegas beliau memperingatkan. Dahinya berkerut.

Aduh, rupanya beliau salah paham dengan apa yang baru saja saya katakan.

“Bukan begitu, Pak. Maksud saya sowan ke sini bukan memohon restu njenengan untuk nyaleg. Mohon maaf sebelumnya, barangkali ucapan saya tadi membuat panjenengan salah paham.” Saya mencoba meralat ucapan saya.

“Maksud saya sowan ke sini karena ada persoalan yang ingin saya tanyakan. Kiranya, saya bisa mendapat pencerahan dari nasehat panjenengan.”

“Masyaallah! Maaf kalau saya terlalu cepat menyimpulkan maksud Nak Salam.” Riak wajah beliau berubah seketika. Seolah beliau begitu menyesal karena telah keliru memahami ucapan saya. Padahal justru sayalah yang merasa bersalah karena ucapan saya menimbulkan salah paham.

“Kalau memang begitu, persoalan apakah kiranya yang akan Nak Salam sampaikan?” Tanya beliau.
 
“Begini, Pak. Saya dan teman-teman sedang menyiapkan drama sandiwara untuk Halfah Akhirussanah nanti. Kebetulan naskah ceritanya saya bawa pulang. Dua hari yang lalu, menjelang maghrib saya melanjutkan utak-atik naskahnya di rumah, ditemani bapak.

“Kemudian ditengah pekerjaan saya itu datanglah tetangga saya bertamu. Dengan senyum sumringah, dia datang dengan langkah yang tegas dan penuh semangat. Saya dan bapak menyambutnya dengan senyum yang tak kalah ramah. Dia berjalan menuju ke arah saya, sampai di hadapan saya, lantas dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya.”
‘lusa, jangan lupa ya, coblos yang ini, satu Paket,’ katanya sambil menyodorkan tiga gambar caleg. Saya kaget, melongo menghadapi kejaidan sore itu.

Sementara saya belum bisa menguasai rasa kaget saya, dia sudah menghitung dengan cepat lembaran uang ratusan ribu dan meletakkannya di meja. Tepat di samping naskah cerita yang sedang saya utak-atik. Katanya, ‘ini untuk kamu, bapak dan ibumu sudah kemarin. Ya.’ Kemudian dia berlalu pergi.”

“Saya tidak habis pikir, Pak. Itu dilakukan oleh tetangga yang selama ini saya anggap cukup berpengaruh dan ngerti soal agama. Kejadian itu menimpa saya dan keluarga.”

Saya hentikan sejenak cerita saya untuk mengambil nafas. Rasanya dada saya begitu sesak jika mengingat peristiwa itu. Saya menunduk malu di hadapan Pak Dolah. Saya yakin Pak Dolah mengerti perasaan saya. Beliaulah orang yang selama ini saya anggap bijak dan bisa saya percaya.

Saya lihat Pak Dolah merebahkan tubuhnya bersandar ke kursi. Beliau menghela nafas dalam-dalam sementara pandangannya ia lemparkan jauh ke depan. Barangkali Pak Dolah juga terpukul mendengar cerita yang saya sampaikan.

“Masyaallah,” ucap beliau begitu lirih, “Astaghfirullahal ‘adzim.” Nada yang keluar dari mulut beliau terdengar berat dan dalam. Hampir-hampir bergumam, bicara pada dirinya sendiri.

“Mohon maaf, Pak, kalau cerita saya membuat Panjenengan tidak enak.” Kata saya meminta maaf. Saya bisa merasakan kecewa yang tergurat di wajah beliau.

“Kadang-kadang, kalau saya sedang sendiri, saya berpikir,” kata beliau kemudian, “Apa yang sudah saya lakukan selama ini? Sehingga saya merasa apa yang saya sampaikan saat saya diundang tetangga-tetangga untuk pengajian di hajatan-hajatan mereka, baik di kampung ini maupun di kampung-kampung lain, seperti tidak membekas. Apa yang saya sampaikan itu salah? Atau jangan-jangan saya yang tidak becus untuk menyampaikan apa yang selama ini saya yakini itu?” Beliau berhenti untuk sesaat, menghela nafas lagi.

“Apa karena mungkin amaliah saya ternyata tidak sesuai dengan apa yang saya sampaikan tempo hari dalam pengajian?” Pak Dolah melanjutkan. Beliau seolah bertanya pada dirinya sendiri.

Dalam keadaan seperti ini saya jadi salah tingkah. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya tidak mungkin menggurui beliau. Kenyataanya, beliaulah guru saya. Dan lagi, saya belum cukup mengerti untuk bisa menjawab pertanyaan beliau yang justru saya rasakan sebagai sebuah peringatan pada diri saya sendiri.

Tempo hari saya bersama teman-teman percaya bahwa menyeru dalam kebaikan itu tidak hanya terbatas disampaikan dalam forum pengajian, atau di sekolah-sekolah, di musala-musala atau di masjid-masjid. Tapi bisa juga dilakukan di banyak tempat dan dengan banyak cara. Saya dan teman-teman yang menyukai kesenian, justru memilih kesenian sebagai media untuk gethok tular, saling bertukar pelajaran. Barangkali dengan begitu bisa menumbuhkan kesadaran kecil untuk berpikir dan berbuat baik.

Dan sekarang saya harus menghadapi pertanyaan, apakah saya sudah bisa mewujudkan apa yang saya yakini sebagai kebenaran dan kebaikan itu dalam kehidupan saya sehari-hari? Jangan-jangan saya cuma ngoceh tentang dongeng yang muluk-muluk dan jauh tentang dunia antah berantah yang tidak bisa dijangakau. Astaghfirullah.

“Kewajiban orang yang tahu, mengerti, adalah mengamalkan dan menyebar luaskan pengetahuannya.” Kata Pak Dolah memecah kediaman kami yang berputar-putar dalam pikiran masing-masing.

“Lalu bagaimana kalau uang itu masuk ke perut saya dan keluarga?” tanya saya.

“Masyaallah,” Pak Dolah menyeru.

“Mungkin mereka tidak mendatangi njenengan dan memberi beberapa lembar uang itu karena mereka masih sungkan ke njenengan. Lalu bagaimana dengan orang seperti saya dan keluarga? Sepertinya kami menjadi sasaran yang empuk bagi mereka.” Lanjut saya bertanya.

“Memang sulit. Zaman sudah serba carut-marut sekarang, Nak.” Kata beliau.

“Yang lebih parah, itu dilakukan dengan terang-terangan, Pak. Tanpa sungkan, tanpa tedheng aling-aling. Dan lagi, bapak saya bilang, ‘kalau tidak begitu orang-orang juga tidak akan berangkat nyoblos. Lha wong pemilihan gubernur kemarin juga sepi, cuma sedikit yang nyoblos karena tidak ada sangunya,’ kata bapak.

Lalu bagaimana saya harus menyampaikan ini pada bapak dan ibu saya, Pak? Bagi saya yang paling berat adalah bagaimana menyampaikan pada keluarga saya sendiri. Apalagi pada bapak dan ibuk. Saya takut kalau cara saya menyampaikannya keliru, malah akan menyakiti hati mereka.”

“Nak Salam benar, setelah Nak Salam mengamalkan apa yang Nak Salam yakini itu, sebelum Nak Salam mengajak orang lain, maka orang pertama yang harus kita ajak adalah orang terdekat kita, dalam hal ini keluarga. Apalagi orang tua. Kalau kita bisa menyampaikan dengan baik dan mereka mau mengerti, mereka bisa menjadi kekuatan yang membantu Nak Salam. Tapi kalau tidak, justru sebaliknya, mereka bisa melemahkan Nak Salam dari dalam. Dan itu ujian yang berat dalam sebuah perjuangan.” Kata Pak Dolah mengingatkan.

“Saya sempat putus asa dan takut dengan apa yang saya lakukan selama ini, Pak.” Kata saya mengaduh.

“Lho, Nak Salam jangan putus asa. Kita tidak boleh putus asa dari rahmat Allah. Bukankah manusia tidak punya kuasa atas sebuah hidayah. Ingat, Nak Salam, hanya Allah yang punya hak atas hidayah pada seseorang. Kita sebagai sesama hanya berkewajiban untuk saling mengingatkan dengan sungguh-sungguh.” Peringat Pak Dolah. Beliau serta-merta menarik tubuhnya dan mendekatkan wajahnya ke arah saya.

“Lalu bagaimana jika saya belum bisa mengamalkan apa yang saya ucapkan, Pak?” tanya saya putus asa.

“Nak Salam, kita wajib berusaha. Dan jika Nak Salam menyampaikan kebaikan, niatkan itu sebagai pengingat dan peringatan untuk diri Nak Salam sendiri. Syukur-syukur kalau ada orang lain yang mau mendengar apa yang Nak Salam sampaikan.” Nasehat Pak Dolah.

“Saya juga pernah merasa seperti itu. Kalau apa yang saya sampaikan tidak membekas pada mereka yang mendengarkan, bukankah itu sia-sia? Dan kita dilarang melakukan hal yang sia-sia. Hayo, bagaimana kalau begitu?” Pak Dolah bertanya balik kepada saya. Saya tidak bisa menjawab.

“Kalau semua orang merasa tidak mampu kemudian tidak mau berusaha mencapainya kita semua akan menanggung dosa itu, Nak. Saya juga pernah merasa demikian. Tapi kemudian saya sadar, lha wong Dolah ini lho siaapa? Apa yang bisa saya lakukan? Wong semuanya itu bisa terjadi atas izin dan kehendak Allah. Bukan begitu, Nak Salam?” Pak Dolah kembali melemparkan pertanyaan yang hanya bisa saya iyakan dengan anggukan kepala.

“Nak Salam, do’a itu adalah ketika kita memohon kepada Allah dan kita berusaha memperjuangkannya. Dalam kerja itulah Allah akan menjawab do’a kita.
 
“Astaghfirullahal ‘adzim.” Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran saya.

“Ayo, ini rokoknya, ambil lagi,” kata Pak Dolah menawari saya rokok, “Saya juga biasa merokok kalau sudah ketemu persoalan yang rumit begini. Ayo!” katanya lagi.

Saya ambil sebatang dan menyulutnya. Kemudian Pak Dolah juga mengambil sebatang dan menyulut.

“Kopinya diminum dulu. Kalau dingin nanti jadi kurang sedap.” Kata Pak Dolah menghibur saya, “Kalau saya sekarang teh saja. Sudah tidak kuat kalau minum kopi terus,” lanjutnya kemudian tawanya lepas. Seolah ia menemukan sebuah pintu yang mengalirkan udara segar.

“Haah, Nak Salam, semua tadi anggaplah sebagai ujian. Memang tidak mudah untuk menjalani, tapi kalau semuanya kita serahkan kepada Allah, tidak ada yang tidak mungkin. Wong di dunia ini segalanya serba mungkin, kok. Serba belum pasti, lha iyo to?!” tawanya pecah kembali. Baru kali ini saya melihat beliau begitu bergairah dan tertawa dengan begitu lepas. Semoga saja saya tidak salah menerjemahkan apa yang beliau sampaikan.

“Ya, Nak Salam juga harus selalu berpegang teguh pada apa yang kita yakini. Sebab dalam perjuangan selalu saja ada yang menggoyahkan. Itu sudah jadi satu Paket. Kewajiban kita itu berdo'a dan berusaha, kalau sudah begitu serahkan saja pada ahlinya.

Dan satu lagi, Nak Salam ingat-ingat, Amar ma’ruf nahi munkar; Amar ma’ruf bil ma’ruf, Nahi munkar bil ma’ruf. Kita diperintahkan untuk memerintah orang berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran. Semua itu juga harus kita lakukan dengan cara yang baik. Mengajak pada kebaikan dengan cara yang baik, mencegah kemungkaran juga dengan cara yang baik pula.” Begitu nasehat terahir yang diberikan Pak Dolah malam itu.

Tidak terasa, ternyata kami menghabiskan satu bungkus rokok bersama sampai fajar menyingsing. Suara tarhim dari masjid menyadarkan kami jika sebentar lagi subuh. Kami kemudian bersiap untuk menjemput panggilan ke rumahNya.

Malang 07 juni 2014 

You Might Also Like

0 komentar