Syahrul Dan Resolusi Jihad


4 Agustus lalu Inal mengirim pesan WhatsApp, "Cak, mene sahrul nang Malang. Iso nginep nggen sampeyan ta?"
"Iya, Nal. Tapi ya ngerti dewe kotalama koyok piye." Setelah saya tanya berapa orang, saya meng-iya-kan sekaligus memperingatkannya.
Tempat tinggal saya barangkali jauh dari kata layak. Saya tinggal di sebuah ruangan yang cukup luas. Seukuran tiga setengah papan triplek utuh sebagai plafon.
Ruang itu adalah mushallah keluarga yang dibangun tepat di sisi kiri rumah sang pemilik. Isinya, karpet biru memanjang, sebuah lemari pakaian dua pintu setinggi dada yang saya pakai. Di sisi lain sebuah lemari dengan lebar sekira 2,5 meter dan setinggi 2 meter. Di bagian bawah ada tiga buah pintu. Satu saya pakai menyimpan buku-buku. Dua pintu lainnya dipakai oleh teman sekamar saya. Di bagian atas memanjang buku-buku yang disimpan oleh teman sekamar saya, koleksinya untuk memperkaya disertasi Total Quality Management yang ia garap berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
Ketika pemilik rumah pindah ke sebuah perumahan, ia mempersilahkan rumahnya ditempati oleh murid-muridnya—sang pemilik rumah adalah seorang kepala sekolah di sebuah madrasah.
"Iya, Cak. Gapapa." Pungkas Inal.
Inal adalah teman seangkatan dan seasrama dengan Syahrul ketika belajar di sebuah pesantren di Mojokerto. Kami berkenalan sejak mereka masih duduk di bangku madrasah.
Lepas Madrasah Aliyah--setingkat SMA--Inal melanjutkan studi ke Malang, sedang Syahrul memutuskan ke Ma'had Aly Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang.
Malam berikutnya, setelah menerima pesan itu kami bertemu di sebuah warung kopi. Syahrul datang bersama seorang temannya dari Jombang. Inal bersama Siril dan Fajar.
Setelah bersapa dan bertanya kabar singkat tiba-tiba Syahrul berdiri dan beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan menuju tas miliknya, mengambil sesuatu.
"Gae sampeyan, Cak," katanya sambil menyerahkan sebuah Totebag putih. Beberapa waktu sebelumnya saya memang sudah menginginkan sebuah Totebag, tetapi belum kesampaian. Maka kehadiran Syahrul yang tiba-tiba menghadiahkan Totebag bertuliskan Diet Plastik itu terang saja membuat saya agak terkejut.
Totebag itu ia peroleh dari seorang pemilik konveksi langganannya. Syahrul juga beberapa kali memesan Totebag pada pemilik konveksi itu untuk keperluan media jrnalistik dan penerbitan Tebuireng. Syahrul terlibat dalam pengelolaan dua lembaga itu.
Malam itu Syahrul menyampaikan rencananya untuk membeli beberpa buku karya KH. Agus Sunyoto. Saya jelaskan buku apa saja yang tersedia. Rencananya buku itu akan ia pasarkan di toko buku Tebuireng.
Pada 2014 usai menamatkan studinya di PP. Al-Amin, Soko, Mojokerto, Syahrul melanjutkan studinya ke Ma’had Aly. Ia memperoleh beasiswa untuk belajar di sana tanpa dipungut biaya.
Di Ma’had Aly Syahrul mengambil konsentrasi Usul Fikih. Saat studinya itu pula ia kerap menulis artikel dan esai yang ia kirimkan ke Majalah Tebuireng. Ia biasa menulis Opini, Refleksi, Resensi, Review Pemikiran bahkan Cerpen. Kadang dimuat di media online, kadang juga di majalah kampus.
Syahrul juga dekat dengan orang-orang yang ada di media tersebut. Berkat kedekatan dan kualifikasinya, ia kemudian mendapat tawaran untuk bergabung mengelolanya. Tak tangggung-tanggung, pertama kali masuk ke dalam struktur media tersebut ia langusung didapuk sebagai redaktur pelaksana.
Sebagai redaktur pelaksana, ia bertugas merembuk tema yang akan diangkat dalam terbitan majalahnya, obrak-obrak, menulis satu esai tentang tema sebagai perwakilan tim majalah, suplai data infografis kitab dan quote, membantu editing, kadang juga melobi penulis dari luar.
Keterlibatannya tersebut ia jalani sebagai pengabdian pada lembaga beajarnya. Di program beasiswa yang ia dapat Syahrul memang tak dipungut biaya belajar sedikitpun. Sebagai gantinya ia harus melakukan pengabdian pada lembaga tempatnya belajar.
Program pengabdian itu diwajibkan bagi mahasiswa Ma’had Aly yang telah menyelesaikan kuliahnya. Minimal dua tahun.
“Sebelum keganggu kuliah saya nyambi jadi tim editor di buku Pustaka Tebuireng juga. Main tim sama Mas Yayan. Tapi sekarang enggak.”
Rabu kemarin (25/09/19) kami bertemu di salah satu deretan warung sepanjang jalan di depan pintu masuk Taman Shingha, Merjosari. Sebelum turun dari motor saya melihat ke meja tempatnya menunggu. Ada Fahim, Dio dan salah seorang temannya dari Jombang. Dari ketiga orang yang bersamanya, hanya teman Syahrul yang dari Jombang yang belum saya kenal. Dua orang lainnya sudah saya hafal. kami bahkan kenal sejak mereka masih duduk di bangku Aliyah. Mereka satu angkatan dan satu almamater dengan Syahrul.
Buku yang Syahrul pesan saya bawa pagi itu, Fatwa & Resolusi Jihad. Buku karya KH. Agus Sunyoto. Latar belakang penulisan buku tersebut sebenarnya dilandasi oleh adanya upanya pengaburan sejarah betkaitan dengan peran santri dan pesantren dalam upaya perjuangan penegakan kemerdekaan bangsa indonesia.
Fakta yang tak bisa dipungkiri dari adanya peran santri dan pesantren yang terlibat dalam perjuangan tersebut salah satunya adalah terjadinya perang 10 November di Surabaya.
Sebelum pecahnya perang tersebut KH. Hasyim Asy’ari telah mengeluarkan fatwa dan resolusi jihad yang menyerukan perlawanan dari kalangan Nhdliyin terhadap para penjajah.
Namun begitu, fakta tersebut seoalah diabaikan bahkan sengaja dikaburkan dalam penulisan sejarah perjuangan kemedekaan di tanah air.
“Buku ini adalah buku pertama yang membahas tentang fatwa dan resolusi jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasym Asy’ari sebagai jawaban atas pertanyaan Ir. Soekarno berkenaan dengan sikap yang harus diambil ketika musuh datang menduduki Tanah Air. Karena selama ini masih banyak kalangan yang mengaburkan sejarah ini dan menganggapnya hanya sekedar dongeng warga Nahdliyin,” terang penulis saat launching bukunya di Lirboyo pada 03/10/2017.
Buku tersebut dilaunching dengan format ensiklopedia yang menyajikan foto-foto dan arsip dokumen tentang peritiwa pertempuran 10 November. Buku setebal xxviii +292 hamalan dicetak dalam kertas Artpapper dan hardcover. Beratnya mencapai hampir 2 kg. Dan Syahrul memesan 5 buku sekaligus untuk dipasarkan di toko buku Tebuireng.
Buku ini menjadi penting untuk menjawab anggapan bahwa peran Nahdliyin dalam usaha perjuangan kemerdekaan bangsa ini hanya sebagai dongeng belaka.
Fahim yang juga menggarap lini usaha penjualan buku langsung memotret tumpukan buku yang Syahrul pesan. Selain menjual buku, Fahim juga mengelola beberapa akun sosial media yang menyiarkan konten-konten ngaji dan pengajian dari ulama-ulama terkemuka tanah air, mengawal beberapa website dan hal-hal yang berkaitan dengan bisnis digital.
Usai bercengkerama siang itu, Fahim pamit ke hotel tempatnya menginap dan Syahrul bersiap untuk masuk kelas di program pascasarjana yang mengambil konsentrasi Islamic Studies.
Saya harus banyak belajar dari mereka, para pemuda yang terus berkarya dan memegang amanah almamaternya, “Ilmu Amaliyah, Amal Ilmiyah, dan Akhlaqul Karimah”.
Tabik untuk kalian semua.

You Might Also Like

10 komentar

  1. Replies
    1. manjangin umur dan ngelancarin rizki..
      Wkwkwk..

      Mereka pemuda harapan bangsa, cak ��

      Delete
  2. Replies
    1. Bukannya yg nakal itu Fahim ya?

      Temennya numpang di kosan orang malah dia chek in sama patjarnya.

      Gimana coba?

      Delete
  3. Subhanallah.. Keren idola2kuh semua..
    Assalamualaikum Cak Hasan..
    Apa kabar?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waalaikum salam.. ng ndi Qon?

      Salamku wes disampekno Suahrul a?

      Delete
    2. Nang omah wae cak..
      Malin jadi batu..
      Aku jadi babu..

      Dereng sempet ketemu sahrul cak..

      Delete
    3. hmm.. yaa ya. tapi penak to jadi babu?
      kowe wingi jare ngopi bareng?

      Delete