“Assalamu’alaikum.” Ucap saya di depan pintu rumah Pak Dolah, guru ngaji saya di kampung. Beliau memberi kesan yang amat mendalam bagi saya. Dulu ketika saya masih tinggal di kampung, saya belajar ngaji ke beliau sampai saya tamat SMP. Setamat SMP bapak mengirim saya untuk belajar di pesantren tempat Pak Dolah menimba ilmu.
Pesantren itu kini menjadi pesantren yang maju dengan tetap menjaga kesederhanaan seisi pesantren, termasuk guru dan santri. Ketika saya belajar di sana, saya sudah bisa sekaligus sekolah di Madrasah Tsanawiyah di bawah naungan pesantren itu. Meski sederhana, semangat keluasan dan ketajaman keilmuan yang diajarkan di sana mampu menggembleng santri menjadi manusia yang cerdas dan mandiri dengan tetap beripjak pada ilmu agama yang mereka pelajari di pesantren.
“Assalamu’alaikum,” Saya mengulang. Rumah Pak Dolah terlihat sepi. Mungkin beliau sedang istirahat. Semoga saja beliau tidak sedang ke luar rumah untuk memberi pengajian keliling kampung. Tapi aneh, rumah beliau benar-benar sepi.
Ah, biarlah saya ulangi sekali lagi. Kalau memang tidak ada tanda-tanda Pak Dolah sedang berada di rumah, besok malam saya akan kembali lagi. “Assalamu’alaikum.”
Terdengar suara sandal diseret. Ada langkah kaki yang mendekat.
“Alhamdulillah, Pak Dolah memang di rumah,” pikir saya.
“Wa’alaikum salam.” Suara parau dari balik pintu itu sangat saya hapal. Suara parau Pak Dolah yang dulu begitu telaten mengajari anak-anak ngaji di musala dekat rumahnya. Pintu dibuka, dan benar saja, Pak Dolah segera nampak dari balik pintu dengan peci hitam yang selalu menutup kepalanya.
“Pak.” Sapa saya tersenyum. Sambil membungkuk saya cium telapak dan punggung tangannya.
“Oalah, Nak Salam. Apa kabar?” tangan kirinya membelai punggung saya.
“Alhamdulillah baik, Pak. Berkat do’a bapak.” Jawab saya. Wajah beliau selalu berseri. Dengan senyum mekar yang begitu ringan, seolah memancar cahaya dari wajah beliau.
“Ayo masuk, Nak.” Kata beliau mempersilahkan saya masuk, “Silakan duduk.”
“Iya, Pak.” Kemudian kami duduk bersama, saling berhadapan. Beliau masih seperti Pak Dolah yang saya kenal dulu. Peci hitam yang selalu menutup kepalanya, kaos oblong putih, serta sarung dengan ikat pinggang lebar di perutnya.
Semuanya masih seperti Pak Dolah yang saya kenal dulu. Hanya saja, kulitnya lebih keriput dan beberapa uban yang menjuntai keluar dari peci menandakan usia yang sudah masuk masa senja.
“Kok di rumah?” tanya Pak Dolah singkat sambil menarik ke atas urat-urat yang ada di keningnya.
“Iya, Pak. Mumpung ada waktu libur untuk sambang rumah. Sudah lama saya tidak pulang. Rasanya kangen ketemu bapak-ibuk. Saya juga sudah lama ingin sowan ke sini.” Jawab saya menjelaskan.
“Oalah. Ya, ya. Apa Nak Salam sudah mau menikah?” tanya Pak Dolah menggoda. Badannya menunduk ke depan. Sekali lagi Pal Dolah mengangkat urat di keningnya. Tak lama kemudia tawanya sumringah. Aku hanya bisa tersenyum.
“Oiya, sebentar, biar dibuatkan sekadar minum untuk Nak Salam.” Kata beliau sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Tidak usah repot-repot, Pak. Saya Cuma mau bertemu bapak saja, kok.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut saya. Dalam hati saya tiba-tiba teringat pesan beliau, seorang tamu tak boleh menolak hidangan yang disuguhkan oleh tuan rumah.
Tak lama kemudian beliau keluar. Saya lihat, di tangan beliau tergenggam sebungkus rokok kretek dan korek api. Setelah duduk kembali, beliau meraih sesuatu di bawah meja. Sebuah asbak kayu.
“Nak Salam merokok?” tanya beliau. Saya kelabakan. Senyum bodoh menyeruak dari mulut saya. Tapi apa daya, saya tak bisa berbohong.
“Ayo, diambil. Saya juga merokok, kok, waktu seusia Nak Salam. Malah sampai sekarang.” Katanya. Untunglah. Dengan begitu saya tidak menjawab dengan jawaban yang palsu hanya karena sungkan. Saya ambil sebatang rokok yang beliau sodorkan, lalu menyalakannya. Anggap saja ini termasuk dari suguhan beliau, pikir saya.
“Alhamdulillah, akhirnya saya bisa sowan ke rumah njenengan. Sebenarnya saya sudah lama kangen dan bermaksud untuk sowan, tapi saya jarang pulang. Kalau libur pun, belum tentu saya pulang.” saya memulai obrolan.
“Alhamdulillah,” Seru beliau, “Nak Salam masih ingat dengan saya. Yang paling saya rindukan itu kalau melihat anak-anak yang dulu tiap sore selalu rajin ngaji ke musala. Kalau melihat mereka tumbuh dewasa itu saya juga ikut senang. Sepertinya saya masih diberi kesempatan untuk mengingat bahwa saya juga semakin tua. Tapi sehat-sehat saja.” Kata-kata beliau itu membuat hati saya tersentuh. Betapa beliau menyayangi kami, anak-anak yang pernah belajar padanya. Juga kerendahan hati beliau yang selalu mawas diri dalam menjalani hidup.
“Oya, bagaimana kabar di pesantren?” beliau bertanya.
“Alhamdulillah, sekarang pesantren tambah maju,” jawab saya, “Teman-teman yang dulu belajar di sana juga banyak yang sudah menjadi orang sukses, Pak.”
“Wah, kalau begitu sudah bisa bantu ngajar anak-anak di musala, ya?” beliau menanggapi.
“Ya, alhamdulillah, Pak. Teman-teman juga semakin banyak yang di berangkatkan untuk mengabdi di masyarakat. Dan sekarang itu, teman-teman tidak cuma dikirim untuk mengabdi di kampung-kampung yang membutuhkan tenaga pengajar diniyah atau modin. Tapi sudah ada yang menjadi guru di sekolah-sekolah, ada yang menjadi kepala desa, bahkan yang jadi dosen juga sudah ada.”
“Subhanallah,” seru beliau penuh kesungguhan, “Alangkah bahagia Almarhum Kyai Durrohim melihat anak-anak didiknya bisa melanjutkan perjuangan beliau. Semoga beliau selalu mendapat buah manis dari perjuangan semasa hidupnya.” Mata tua Pak Dolah berkaca-kaca. Ia hanyut dalam perasaan syukur.
“Amin,” ucap saya lirih, “Gus Mat dibantu guru-guru yang lain sangat berjasa dalam memperluas wawasan di pesantren. Beliau juga memberi perhatian yang sungguh-sungguh dalam pendidikan formal. Sejak saya masuk pesantren dulu, saya sudah bisa sekaligus bersekolah formal di sana. Sekarang, malah sudah berdiri SMA. Ikatan alumni yang baik juga punya peran penting dalam penyebaran santri-santri yang mengabdi, juga yang mau kuliah atau bekerja,” Lanjut saya mengabarkan perkembangan di pesantren tempat Pak Dolah dulu menimba ilmu.
“Iya, Gus Mat memang seperti mewarisi ayahnya. Sejak kecil sudah terlihat sifat keberanian dan kecerdasan beliau. Alhamdulillah.” Tak henti-hentinya Pak Dolah bersyukur. Saya sendiri turut bahagia melihat Pak Dolah bisa tersenyum senang dengan kabar yang saya sampaikan.
“Oya, Nak Salam sendiri bagaimana sekarang? Apa Nak Salam mau nyaleg juga? Seperti orang-orang yang gambarnya banyak nempel di pohon dan tiang listrik itu. ” Pak Dolah berseloroh dengan tawa yang renyah. Wajahnya begitu bercahaya.
“Lha ya itu, Pak. Maksud saya sowan ke sini...” Jawab saya hati-hati.
“Ya, kalau memang Nak Salam mau terjun ke dunia politik, Nak Salam jangan sampai ikut-ikutan rombongan yang nyasar-nyasar itu.” Tegas beliau memperingatkan. Dahinya berkerut.
Aduh, rupanya beliau salah paham dengan apa yang baru saja saya katakan.
“Bukan begitu, Pak. Maksud saya sowan ke sini bukan memohon restu njenengan untuk nyaleg. Mohon maaf sebelumnya, barangkali ucapan saya tadi membuat panjenengan salah paham.” Saya mencoba meralat ucapan saya.
“Maksud saya sowan ke sini karena ada persoalan yang ingin saya tanyakan. Kiranya, saya bisa mendapat pencerahan dari nasehat panjenengan.”
“Masyaallah! Maaf kalau saya terlalu cepat menyimpulkan maksud Nak Salam.” Riak wajah beliau berubah seketika. Seolah beliau begitu menyesal karena telah keliru memahami ucapan saya. Padahal justru sayalah yang merasa bersalah karena ucapan saya menimbulkan salah paham.
“Kalau memang begitu, persoalan apakah kiranya yang akan Nak Salam sampaikan?” Tanya beliau.
“Begini, Pak. Saya dan teman-teman sedang menyiapkan drama sandiwara untuk Halfah Akhirussanah nanti. Kebetulan naskah ceritanya saya bawa pulang. Dua hari yang lalu, menjelang maghrib saya melanjutkan utak-atik naskahnya di rumah, ditemani bapak.
“Kemudian ditengah pekerjaan saya itu datanglah tetangga saya bertamu. Dengan senyum sumringah, dia datang dengan langkah yang tegas dan penuh semangat. Saya dan bapak menyambutnya dengan senyum yang tak kalah ramah. Dia berjalan menuju ke arah saya, sampai di hadapan saya, lantas dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya.”
‘lusa, jangan lupa ya, coblos yang ini, satu Paket,’ katanya sambil menyodorkan tiga gambar caleg. Saya kaget, melongo menghadapi kejaidan sore itu.
Sementara saya belum bisa menguasai rasa kaget saya, dia sudah menghitung dengan cepat lembaran uang ratusan ribu dan meletakkannya di meja. Tepat di samping naskah cerita yang sedang saya utak-atik. Katanya, ‘ini untuk kamu, bapak dan ibumu sudah kemarin. Ya.’ Kemudian dia berlalu pergi.”
“Saya tidak habis pikir, Pak. Itu dilakukan oleh tetangga yang selama ini saya anggap cukup berpengaruh dan ngerti soal agama. Kejadian itu menimpa saya dan keluarga.”
Saya hentikan sejenak cerita saya untuk mengambil nafas. Rasanya dada saya begitu sesak jika mengingat peristiwa itu. Saya menunduk malu di hadapan Pak Dolah. Saya yakin Pak Dolah mengerti perasaan saya. Beliaulah orang yang selama ini saya anggap bijak dan bisa saya percaya.
Saya lihat Pak Dolah merebahkan tubuhnya bersandar ke kursi. Beliau menghela nafas dalam-dalam sementara pandangannya ia lemparkan jauh ke depan. Barangkali Pak Dolah juga terpukul mendengar cerita yang saya sampaikan.
“Masyaallah,” ucap beliau begitu lirih, “Astaghfirullahal ‘adzim.” Nada yang keluar dari mulut beliau terdengar berat dan dalam. Hampir-hampir bergumam, bicara pada dirinya sendiri.
“Mohon maaf, Pak, kalau cerita saya membuat Panjenengan tidak enak.” Kata saya meminta maaf. Saya bisa merasakan kecewa yang tergurat di wajah beliau.
“Kadang-kadang, kalau saya sedang sendiri, saya berpikir,” kata beliau kemudian, “Apa yang sudah saya lakukan selama ini? Sehingga saya merasa apa yang saya sampaikan saat saya diundang tetangga-tetangga untuk pengajian di hajatan-hajatan mereka, baik di kampung ini maupun di kampung-kampung lain, seperti tidak membekas. Apa yang saya sampaikan itu salah? Atau jangan-jangan saya yang tidak becus untuk menyampaikan apa yang selama ini saya yakini itu?” Beliau berhenti untuk sesaat, menghela nafas lagi.
“Apa karena mungkin amaliah saya ternyata tidak sesuai dengan apa yang saya sampaikan tempo hari dalam pengajian?” Pak Dolah melanjutkan. Beliau seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Dalam keadaan seperti ini saya jadi salah tingkah. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya tidak mungkin menggurui beliau. Kenyataanya, beliaulah guru saya. Dan lagi, saya belum cukup mengerti untuk bisa menjawab pertanyaan beliau yang justru saya rasakan sebagai sebuah peringatan pada diri saya sendiri.
Tempo hari saya bersama teman-teman percaya bahwa menyeru dalam kebaikan itu tidak hanya terbatas disampaikan dalam forum pengajian, atau di sekolah-sekolah, di musala-musala atau di masjid-masjid. Tapi bisa juga dilakukan di banyak tempat dan dengan banyak cara. Saya dan teman-teman yang menyukai kesenian, justru memilih kesenian sebagai media untuk gethok tular, saling bertukar pelajaran. Barangkali dengan begitu bisa menumbuhkan kesadaran kecil untuk berpikir dan berbuat baik.
Dan sekarang saya harus menghadapi pertanyaan, apakah saya sudah bisa mewujudkan apa yang saya yakini sebagai kebenaran dan kebaikan itu dalam kehidupan saya sehari-hari? Jangan-jangan saya cuma ngoceh tentang dongeng yang muluk-muluk dan jauh tentang dunia antah berantah yang tidak bisa dijangakau. Astaghfirullah.
“Kewajiban orang yang tahu, mengerti, adalah mengamalkan dan menyebar luaskan pengetahuannya.” Kata Pak Dolah memecah kediaman kami yang berputar-putar dalam pikiran masing-masing.
“Lalu bagaimana kalau uang itu masuk ke perut saya dan keluarga?” tanya saya.
“Masyaallah,” Pak Dolah menyeru.
“Mungkin mereka tidak mendatangi njenengan dan memberi beberapa lembar uang itu karena mereka masih sungkan ke njenengan. Lalu bagaimana dengan orang seperti saya dan keluarga? Sepertinya kami menjadi sasaran yang empuk bagi mereka.” Lanjut saya bertanya.
“Memang sulit. Zaman sudah serba carut-marut sekarang, Nak.” Kata beliau.
“Yang lebih parah, itu dilakukan dengan terang-terangan, Pak. Tanpa sungkan, tanpa tedheng aling-aling. Dan lagi, bapak saya bilang, ‘kalau tidak begitu orang-orang juga tidak akan berangkat nyoblos. Lha wong pemilihan gubernur kemarin juga sepi, cuma sedikit yang nyoblos karena tidak ada sangunya,’ kata bapak.
Lalu bagaimana saya harus menyampaikan ini pada bapak dan ibu saya, Pak? Bagi saya yang paling berat adalah bagaimana menyampaikan pada keluarga saya sendiri. Apalagi pada bapak dan ibuk. Saya takut kalau cara saya menyampaikannya keliru, malah akan menyakiti hati mereka.”
“Nak Salam benar, setelah Nak Salam mengamalkan apa yang Nak Salam yakini itu, sebelum Nak Salam mengajak orang lain, maka orang pertama yang harus kita ajak adalah orang terdekat kita, dalam hal ini keluarga. Apalagi orang tua. Kalau kita bisa menyampaikan dengan baik dan mereka mau mengerti, mereka bisa menjadi kekuatan yang membantu Nak Salam. Tapi kalau tidak, justru sebaliknya, mereka bisa melemahkan Nak Salam dari dalam. Dan itu ujian yang berat dalam sebuah perjuangan.” Kata Pak Dolah mengingatkan.
“Saya sempat putus asa dan takut dengan apa yang saya lakukan selama ini, Pak.” Kata saya mengaduh.
“Lho, Nak Salam jangan putus asa. Kita tidak boleh putus asa dari rahmat Allah. Bukankah manusia tidak punya kuasa atas sebuah hidayah. Ingat, Nak Salam, hanya Allah yang punya hak atas hidayah pada seseorang. Kita sebagai sesama hanya berkewajiban untuk saling mengingatkan dengan sungguh-sungguh.” Peringat Pak Dolah. Beliau serta-merta menarik tubuhnya dan mendekatkan wajahnya ke arah saya.
“Lalu bagaimana jika saya belum bisa mengamalkan apa yang saya ucapkan, Pak?” tanya saya putus asa.
“Nak Salam, kita wajib berusaha. Dan jika Nak Salam menyampaikan kebaikan, niatkan itu sebagai pengingat dan peringatan untuk diri Nak Salam sendiri. Syukur-syukur kalau ada orang lain yang mau mendengar apa yang Nak Salam sampaikan.” Nasehat Pak Dolah.
“Saya juga pernah merasa seperti itu. Kalau apa yang saya sampaikan tidak membekas pada mereka yang mendengarkan, bukankah itu sia-sia? Dan kita dilarang melakukan hal yang sia-sia. Hayo, bagaimana kalau begitu?” Pak Dolah bertanya balik kepada saya. Saya tidak bisa menjawab.
“Kalau semua orang merasa tidak mampu kemudian tidak mau berusaha mencapainya kita semua akan menanggung dosa itu, Nak. Saya juga pernah merasa demikian. Tapi kemudian saya sadar, lha wong Dolah ini lho siaapa? Apa yang bisa saya lakukan? Wong semuanya itu bisa terjadi atas izin dan kehendak Allah. Bukan begitu, Nak Salam?” Pak Dolah kembali melemparkan pertanyaan yang hanya bisa saya iyakan dengan anggukan kepala.
“Nak Salam, do’a itu adalah ketika kita memohon kepada Allah dan kita berusaha memperjuangkannya. Dalam kerja itulah Allah akan menjawab do’a kita.
“Astaghfirullahal ‘adzim.” Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran saya.
“Ayo, ini rokoknya, ambil lagi,” kata Pak Dolah menawari saya rokok, “Saya juga biasa merokok kalau sudah ketemu persoalan yang rumit begini. Ayo!” katanya lagi.
Saya ambil sebatang dan menyulutnya. Kemudian Pak Dolah juga mengambil sebatang dan menyulut.
“Kopinya diminum dulu. Kalau dingin nanti jadi kurang sedap.” Kata Pak Dolah menghibur saya, “Kalau saya sekarang teh saja. Sudah tidak kuat kalau minum kopi terus,” lanjutnya kemudian tawanya lepas. Seolah ia menemukan sebuah pintu yang mengalirkan udara segar.
“Haah, Nak Salam, semua tadi anggaplah sebagai ujian. Memang tidak mudah untuk menjalani, tapi kalau semuanya kita serahkan kepada Allah, tidak ada yang tidak mungkin. Wong di dunia ini segalanya serba mungkin, kok. Serba belum pasti, lha iyo to?!” tawanya pecah kembali. Baru kali ini saya melihat beliau begitu bergairah dan tertawa dengan begitu lepas. Semoga saja saya tidak salah menerjemahkan apa yang beliau sampaikan.
“Ya, Nak Salam juga harus selalu berpegang teguh pada apa yang kita yakini. Sebab dalam perjuangan selalu saja ada yang menggoyahkan. Itu sudah jadi satu Paket. Kewajiban kita itu berdo'a dan berusaha, kalau sudah begitu serahkan saja pada ahlinya.
Dan satu lagi, Nak Salam ingat-ingat, Amar ma’ruf nahi munkar; Amar ma’ruf bil ma’ruf, Nahi munkar bil ma’ruf. Kita diperintahkan untuk memerintah orang berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran. Semua itu juga harus kita lakukan dengan cara yang baik. Mengajak pada kebaikan dengan cara yang baik, mencegah kemungkaran juga dengan cara yang baik pula.” Begitu nasehat terahir yang diberikan Pak Dolah malam itu.
Tidak terasa, ternyata kami menghabiskan satu bungkus rokok bersama sampai fajar menyingsing. Suara tarhim dari masjid menyadarkan kami jika sebentar lagi subuh. Kami kemudian bersiap untuk menjemput panggilan ke rumahNya.
Malang 07 juni 2014
Selasa 17 Februari 2014
Assalamu’alaikum Wr Wb..
Kangenn..
Semoga kita selalu dijaga dalam naungan kasih-Nya.. semoga apa yang menjadi do’a kita bersama dikabulkan oleh-Nya..
Apa kabar di rumah? Tulislah cerita, sering-seringlah menulis, biar aku baca.. biar aku bisa bercengkerama meski Cuma lewat tulisan, Sayang..
Di sini, aku mulai lagi untuk menulis.. aku ingin bercerita banyak lewat tulisanku. Aku junga ingin membaca banyak ceritamu.. mari kita menuliskan cerita kita bersama..
Ada beberapa cerita yang mau aku sampaikan. Sore tadi (Jumat 13 Februari 2015), sekitar pukul setengah empat sore Ana, teman baruku, mengirim pesan. Ia menanyakan apakah rencana ziarah Aulia Malang jadi aku lakukan. Aku mengiyakan, tapi sementara ini aku masih mengumpulkan informasi mengenai Aulia yang akan aku ziarahi.
Beberapa waktu sebelumnya, ketika aku mengabarkan rencana tersebut ia merasa tertarik dan menerima tawaranku untuk ikut serta.
Dan sore tadi setelah berkirim beberapa pesan, aku sampaikan padanya bahwa aku ingin ngobrol beberapa hal. Karena sore tadi ia tidak sibuk, kami bisa bertemu.
Aku tawarkan untuk ngobrol di kosanku, sekalian temen-temen An-Nashih juga sedang berkumpul untuk latihan. Dalam pertemuan sore tadi, sekali lagi aku sampaikan padanya bahwa aku ingin belajar menulis dan aku harap ia mau membantuku. Syukur ia bukan orang pelit yang sulit berbagi dengan orang lain. Sebaliknya aku rasa ia menyambut baik dan wellcome dengan permintaanku untuk belajar menulis darinya.
Selain itu kami juga berbincang tentang rencana untuk ziarah Aulia Malang. Aku sampaikan bahwa rasanya janggal, kurang afdhol, jika kita telah lama tinggal di suatu tempat tapi kita tidak mengetahui siapa dan dimana tuan rumahnya. Konyol sekaligus kurang ajar.
Secara pribadi, aku teringat pesan paman, beliau mengatakan jika kurang baik-kalau tidak boleh disebut keliru-jika kita menziarahi banyak makam Aulia atau sesepuh tetapi kita sendiri tidak pernah menziarahi makam sesepuh atau leluhur kita sendiri. Pesan beliau, sebelum kita ziarah ke mana pun, seharusnya kita ziarah ke makam sesepuh atau leluhur kita dulu.
Beliau juga becerita bahwa di tiap tempat, pasti ada sesepuhnya. Dalam artian orang yang babat alas, para pendahulu, dan kepada mereka kita harus menaruh hormat, bersyukur atas apa yang telah mereka lakukan sehingga kita bisa menginjak tanah yang kita tempati dengan selamat.
Mengingat itu semua, aku sadar bahwa selama aku tinggal di malang, aku belum lagi menziarahi beliau-beliau sesepuh tanah yang di-tuakan ini. Karena itulah aku memutuskan untuk mengajak beberapa teman untuk ziarah ke makam para sesepuh.
Untuk itu aku perlu mengumpulkan informasi, siapa saja yang kiranya harus aku ziarahi dan dimana sekiranya aku berziarah. Maka aku mengajak beberapa teman untu ikut serta dalam ziarah ini antara lain; Ana, anggota UKMP dan anggota rayon ibnu kholdun, kalau tidak salah angkatan 2013. Aku punya rencana untuk minta tolong Ana menrekam perjalanan kami dalam tulisan. Oya, setelah beberapa lama kami berkomunikasi via sms, baru sore tadi aku bertemu langsung dengannya.
Ilham, ketua komisariat kita. Dia juga tertarik untuk belajar menulis dan setelah membaca buku Wali Songo yang dia pinjam dariku, ia ingin ziarah keliling malang. Maka tak perlu aku bujuk lagi, kami punya keinginan yang sama.
Izzu, anak sejarah. Aku lupa dia angkatan berapa. Yang jelas ia serius dengan keilmuannya. Ia juga alumni pesantren Al-Amin Mojokerto, satu almamater dengan Mas Agung. Karena itu juga aku dekat dengannya. Dengan keilmuannya itu, aku mau minta tolong agar ia mau membantu dalam penelusuran latar belakang tokoh sesepuh atau Aulia yang akan kami ziarahi. Maka aku ajak serta dia dalam perjalanan ini.
Fuad juga aku ajak. Lama sebelum rencana ini aku pikirkan lagi, dulu kami punya rencana yang sama, ziarah Aulia malang. Dan ia lebih baik dalam memimpin do’a.
Selain itu mungkin Gus sani atau Mbah Rohim jika berkenan atau tidak sedang sibuk. Aku sudah menyampaikan rencana ini dan bertanya beberapa hal kepada mereka.
Selain itu, rencana ini terbuka untuk teman yang mau ikut. Hanya saja mungkin tidak banyak yang akan kami beri kabar. Tidak terlalu banyak orang yang ikut mungkin bisa lebih khidmad.
Dan di sela-sela latihan temen-temen tadi aku sempat berbincang tentang kepenulisan. Akhirnya kami putuskan untuk menulis bersama. Kebetulan hari Jumat-minggu nanti ada kegiatan Sekolah Kader Putri (SKP). Malam ini ilham sudah berangkat kesana, besok Ana berangkat, dan besok sore, aku juga akan berangkat bareng temen-temen An Nashih. Kami berencana untuk membuat satu tulisan yang dikerjakan bersama. Entah bagaimana jadinya nanti. Sekarang masing-masing dari kami mencoba untuk mencari angle yang asyik untuk tulisan kami. Kebetulan tempat SKP-nya di pondok pesantren Al-Islahiyah Singosari, dekat dengan makam Mbah Tohir. Barangkali nanti kami bisa mampir kesana. Sebenarnya akan lebih baik kalau Gus Sani bisa ikut ke Mbah Tohir. Tapi sayangnya Gus Sani sedang ke Madura. Do’akan saja semoga semuanya berjalan lancar.
Mungkin sampai disini dulu yang bisa aku ceritakan.. Gantian.. Kirim cerita yaa..
Sungkem (Wedi disabdo) |
Ini kenang-kenangan cerita silaturahim ke Ndalem Kasepuhan Nyai Roro Nying. Nama sebenarnya Kartika Ayu Lestari. Tapi dia biasa memperkenalkan diri dengan nama, "Nying." Lengkap dengan gaya childis abege kesemutan ala dedek gemesh. Tapi itu dulu. Sekarang mungkin lebih mirip Mamud, alias Mama Muda. Haha..
Selain nama "Nying", kami punya sapaan akrab, "Ngek." Itu diambil dari kata_gakusahlah_haha..
Aku mengenalnya sejak dia masih SMA. Saat itu aku sedang kuliah di kisaran semester tiga. Sekarang dia sudah semester sepuluh. Mateng banget! Wkwk..
Nying itu salah seorang sahabat yang baik. Beneran baik, dalam arti tulus berteman. Kian waktu dia makin dewasa. Aku bisa melihatnya karena kami sudah kenal beberapa tahun lamanya. Mulai dia SMA sampai hampir lulus kuliah. Syemangat, ngek! Kamu bisa! Wkwk..
Nying juga seorang vocalis. Suaranya mantav vrooh! Genre lagu yang lebih sering dia nyanyikan pop-jazz. Ayahnya seorang guru seni budaya. Kumisnya tebel. Ups! Maap pak.
Cak Sinchan, Suhu kami di Sanggar Seni dan Budaya, memperkenalkannya saat kami sedang latihan musik untuk sebuah pertunjukan. Malam itu kami langsung mencoba berkolaborasi. Dan, "Kalian gak profesional ya," adalah tamparan perih yang dia hadiahkan dengan riang ke muka kami. Sejak malam itu kami sering bertemu. Latihan bersama, pentas bersama, main bersama dan mereka pacaran. Hahaha. Begitulah.
Nying adalah sahabat. Sahabat yang baik. Maka tidak baik melewatkan silaturahim ke Ndalem Kasepuhannya. Wkwkwk..
Sebutan itu muncul begitu saja ketika aku mengajak Mbak Dilla, teman kami juga, untuk silaturahim ke rumah Nying. Beberapa waktu sebelumnya salah seorang sahabat mengajak untuk ikut serta sowan ke Ndalem Poro Yai di malang. Terinspirasi dari kalimat itulah, akhirnya muncul sebutan Ndalem Kasepuhan Nyai Roro Nying.
Padahal, sesaat sebelumnya aku memanggilnya dengan sebutan "Ustadzah Oke". Itu karena beberapa bulan yang lalu kami sempat foto selfi. Dan ketika aku perhatikan, Nying mirip dengan Ustadzah Oki Setiana Dewi yang lagi hits di hujat netizen. Jadilah aku panggil dia Ustadzah. Tapi sebab itu marahnya na'udzubillah. Gak mau banget dipanggil usadzah. Padahal kalo dilihat dari foto itu, uh, syar'ii banget. Ayu. Lengkap dengan hijab gede dan gamis landung-nya. Wkwkwk..
Karena Nying tidak mau aku panggil ustadzah, ganti aku panggil Neng. Nggondoknya juga masyaallah. Malah dia minta dipanggil Nyai. Dasar dia memang type cewek yang Out of the Box. Maksudku, selalu visioner, futuristik, lompatan pemikirannya ciamik. Tak tertebak. Jangan su'udzon. Out of the Box bukan diartikan dengan badan longgar lo ya. Sedikit sih. Tapi tetep cantik kok ngek! (Plis, jangan acak-acak blog-ku, ngek. Acak-acak aja atiku. Jiah!)
Siang itu aku berangkat kurang lebih pukul 11.30 WIB bersama Mbak Dilla yang sudah janjian dan nyamperin ke kontrakan, Gus Sani, Mahfudz dan Bidin. Sebelum berangkat, aku minta tolong Mbak Dilla lewat pesan singkat untuk mencegah Nying supaya tidak usah repot menyiapkan 6 sampai 10 menu jamuan makan. Cukup 3 menu saja, pesanku.
Sampai di rumahnya, pintu tertutup dengan suasana yang sepi. Untung saja itu terjadi siang hari, jadi suasananya tidak terlampau mencekam, mengingat siapa yang kami kunjungi itu.
Setelah tiga kali ketukan tipis di pintu rumahnya serta-merta muncul suara perempuan yang tak terlihat wujudnya. Masyaallah. Dia masih di balik pintu ternyata.
Pintu dibuka, kemudian terlihatlah seorang gadis berparas cerah dengan senyum yang mekar merekah. Wajahnya seolah bercahaya. Rambutnya tergerai jatuh sepunggung. Kibasan rambutnya membelah udara, menampar kesadaran kami. Sialan, ini bukan adegan ftv. Fak!
Kami disambut dengan ceria. Aku raih tangannya, aku seret ia ke medan laga_sudah-sudah. Ngayalnya besok aja. Gak selesai-selesai nanti ceritanya.
Setelah pintu dibuka, aku jabat tangannya, aku minta maaf padanya. Berurutan teman-teman yang lain juga melakukannya. Sebelum usai mereka berjabat tangan dan bermaaf-maafan, aku potong, aku persilahkan mereka semua untuk masuk ke dalam dan menikmati hidangan yang telah disiapkan. Khas tuan rumah yang menjamu tamunya. Hahaha..
Jadilah agenda pertama sebelum basa-basi kami benar-benar basi adalah sarapan di Ndalem Kasepuhan Nyai Roro Nying. Wkwkwk..
"Gak usah repot-repot, Ngek," Kelakarku sambil sibuk meraih piring dan sendok. "Menune opo ae, Ngek?" Lanjutku sambil mengambil nasi dan clingukan melihat lauk.
Yang tersaji sepiring dadar telur kuning keemasan yang sudah diiris segitiga. Semangkuk besar kuah yang entah isinya apa.
"Westalah, ndang icipono." Sahutnya dengan senyum yang tak kunjung bisa dia hentikan.
"Iku semacam sayur pedes," katanya. Matanya memberi isyarat ke arah semangkuk kuah berwarna coklat. Secoklat menu semur acara kuliner di tivi.
"Waah, mantab!" Sergahku. Kebetulan kami sama-sama suka kuliner pedas.
"Ini buatanmu sendiri?"
"Yaa, mamilah." Jawabnya dengan tawa yang makin kenyal terpental. "Tau sendiri kaan. Tapi ini dadarnya aku yang bikin. Kalau keasinan, anggep aja aku wes kebelet rabi." Tepat pada kalimat itu tawanya muncrat. Tak lagi bisa ia tahan.
Sabar, Ngek. Tuhan menciptakan segala sesuatu itu berpasangan. Siang-malam, gelap-terang, laki-perempuan, baik-buruk. Semua berpasangan. Kecuali jomblo. Wkwkwk..
Sambil menikmati sarapan, kami berbincang kesana-kemari. Tidak ada yang benar-benar penting dan serius kami bahas. Hanya kekonyolan dan kebodohan-kebodohan kecil yang pernah menimpa kami. Tapi justru dari situlah aku merasakan ketulusan sebuah persahabatan. Ah, cukup. Yang peting kami masih bisa sarapan. Eh, maksudku, kami masih bisa saling menjaga. Semoga Ia yang Maha juga senantiasa menjaga kami dalam lingkaran keterjagaannya. Amin.
Usai menandaskan sarapan yang bahagia. Kami menikmati rokok yang selalu, selalu dan selalu setia. Kami bahas rencana untuk mengadiri sidang skripsi adek kami, Firza. Sebab sidangnya bersamaan dengan agenda sowan ke Ndalem Poro Yai di malang yang sedianya dijadwalkan pukul satu siang. Dan keputusannya, tidak mungkin kami melewatkan sidang adek kami yang satu ini. Setelah itu baru kami menyusul untuk ikut agenda sowan.
Keputusan sudah diambil. Tinggal eksekusi. Jam sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB. Tapi Nying tidak bisa keluar rumah tanpa dandan. Minimal bercermin. Fak!
Dia menarik Mbak Dilla ke kamarnya, mengunci pintu dari dalam dan entah apa yang mereka lakukan berdua, mereka menyebutnya b-e-r-d-a-n-d-a-n.
Kami, segepok pemuda harapan bangsa tak bisa tinggal diam. Tidak boleh ada waktu yang terbuang sia-sia. Kami lanjutkan menghisap batang-demi batang kenangan dan meniupkan masa depan yang putih tinggi menerjang awang-awang. (Faaak!)
Sekian masa mereka bergulat dengan keringat dan perih. Jiah. Tanpa kami tahu apa yang lakukan di dalam kamar. Begitu heboh suara yang kami dengar dari luar. Aku ketuk pintu kamarnya dengan maksud agar mereka segera menyudahi perbuatan yang mereka tutup-tutup(i pintu itu).
Tiba-tiba di luar rumah terdengar motor datang. Seorang laki-laki dengan perawakan tinggi besar terlihat mendorong kemudian memarkir motornya tepat didepan pintu rumah Nying. Ia berjaket (kulit kalau tidak salah) berhelem. Dan membelakangi kami.
Sontak saja kami matikan roko yang masih panjang terjerang. Asem. Itu pasti Papinya Nying. Ia tidak merokok dan tidak suka orang merokok. Mendadak rungan kami senyap. Suara Nying dan Mbak dilla lenyap.
Sejurus kemudian laki-laki itu berbalik. Laki-laki paruh baya dengan kumis tebal dibawah batang hidungnya. Emh. Bapak e Nying teko. Diikuti mami dibelakngnya.
Kami berdiri. Dengan sikap ramah kami menyambut dan berjabat tangan. Aku cium tangannya. Brurutan mahfudz, Gus Sani dan Bidin juga menjabat tangannya.
Papi-mami masuk ke dalam. Asbak dari Lepek (piring kecil tempat tatakan gelas atau cangkir) kami singkirkan. Sebelum semuanya berakhir dengan penyesalan, Gus Sani mengambil toples jajan. Membuka dan mengambil beberapa isinya.
"Gae sangu." Katanya dengan muka innocent.
Tak mau kalah, aku berikan tas kecilku, "Aku pisan, Gus." Dan isi setoples jajan itu segera berpindah ke dalam tas. Tandas tak bersisa.
Belum cukup. Gus Sani mengambil beberapa gelas minuman yang disuguhkan di meja. Mbak Dilla yang baru saja keluar dari kamar beserta Nying melihat apa yang dilakukan Gus Sani.
"Ini lo besar, Gus," katanya sambil mengulurkan tas yang ia bawa. Dan, minuman gelas di meja itupun tandas.
Tak menunggu lama, kami kemudian berpamitan. Segera keluar. Menggelar rencana yang sudah kami pertimbangkan. Ke kampus, menghadiri sidang adek kami.
Bergerak. Serentak. Melewati aspal jalanan kota malang yang kian panas menjerang. Sebelum aku sampai di kampus, aku hentikan laju. Aku buka hape dan mengirim pesan, dimana Nying dan Mbak Dilla berada?
Tak lama, pesanku dijawab, "Aku OTW Gasek, Mas. Aku gak bawa STNK. Tadi mau masuk UM gak bisa." jawabnya.
"Waduh. Mosok aku neng kamus dewe. Gak ono seng kenal," batinku.
"Yawes aku milu sowan neng Gasek ae Mbak." Pesanku pada Mbak Dilla.
Maap adek, ternyata kita belum bisa lepas dari kekonyolan dan kebodohan kebodohan kecil seperti ini. Kita nikmati saja ya. Selamat sudah sidang skripsi. Semoga semakin sukses menggapai cita-cita.
Dengan jemari yang kemeng ngetik di kypad hape soak.
Subuh dini hari 04.51
#3D/13/07/2016
Gus Sani dengan buku Aku & LIGA yang berhasil ia terbitkan dengan mengompori sahabat-sahabatnya |
Sudah sekian lama saya merasa sulit sekali untuk membaca. Waktu saya habis untuk semacam aktifitas kerja nganggur yang menyita banyak sekali waktu, tenaga dan pikiran.
Siang hari dengan berbagai aktifitas fisik, waktu dan tenaga jelas amblas. Ketika malam menjelang, kadang saya mengidamkan suatu malam yang sunyi, lengang, kemudian saya bisa menandaskannya untuk melahap berapa bacaan.
Tapi nyatanya malam-malam yang datang harus saya timang dengan memeras pikiran yang sudah kering kerontang untuk kerja nganggur esok hari yang harus terus dihidupkan.
Ada rasa syukur memang ketika bisa mendayagunakan apa yang kita punya dengan optimal. Tapi jika disuatu saat terasa ada sesuatu yang kurang dari diri kita, awalnya mungkin terasa aneh. Tak nyaman. Lambat laun bisa jadi sakit.
Maka di sela-sela kesibukan nganggur itu, kadang kita harus mengambil celah untuk mencukupi kebutuhan diri kita yang mungkin sudah lama terlupa. Agar kita tidak terjungkal di lubang ketimpangan. Agar kita bisa menjaga diri dalam keseimbangan.
Tapi kalau saya melihat orang di foto di atas, saya misuh dalam hati. Fuk!
Dia hidup dengan sekian aktifitas yang begitu padat. Tenaga yang tak habis-habis. Selalu mobile. Dan ini lagi yang bikin kessal, terus menulis dan membaca.
*Buku itu, salah satu karyanya bersama sahabat-sahabatnya yang berhasil dia kompori. Settan kamu, Gus!
12/07/2016 #reneocoffe
Aku masih begini saja. Sial. Ini bukan konsistensi. Tapi degradasi. Stagnan tanpa progres adalah sebuah kanker yang lestari.
Aku selalu iri jika kau mulai mengoceh tentang banyak hal. Tentang berbagai tantangan yang antri kau taklukkan di depan.
Hey, bagaimana rencana pameranmu? Berapa karya yang sudah kau kumpulkan? Kalau kau tidak keberatan aku akan tinggal di rumahmu dan menulis setiap hal yang berkaitan dengan pameranmu. Gila. Itu ide yang terbersit begitu saja saat aku menulis bagian ini.
Sudahlah. Barangkali aku harus memamah sekian kali malam-malam yang terus saja datang. Membunuh sepi dan sunyi yang kian ganjil menjeruji.
Hah! Berapa kali lagi aku harus mengumpat. Baris itu adalah tulisanku yang begitu sentimentil. Fuck!
Oya. Kau belum menyebutkan namamu. Aku Sabda Hening. Sebutkan namamu dan mulailah bercerita. Biar hidup yang kering dan redup jadi pecah dan bergairah.
Malang dini hari
8 Mei 2016 02.14.19
Aku selalu iri jika kau mulai mengoceh tentang banyak hal. Tentang berbagai tantangan yang antri kau taklukkan di depan.
Hey, bagaimana rencana pameranmu? Berapa karya yang sudah kau kumpulkan? Kalau kau tidak keberatan aku akan tinggal di rumahmu dan menulis setiap hal yang berkaitan dengan pameranmu. Gila. Itu ide yang terbersit begitu saja saat aku menulis bagian ini.
Sudahlah. Barangkali aku harus memamah sekian kali malam-malam yang terus saja datang. Membunuh sepi dan sunyi yang kian ganjil menjeruji.
Hah! Berapa kali lagi aku harus mengumpat. Baris itu adalah tulisanku yang begitu sentimentil. Fuck!
Oya. Kau belum menyebutkan namamu. Aku Sabda Hening. Sebutkan namamu dan mulailah bercerita. Biar hidup yang kering dan redup jadi pecah dan bergairah.
Malang dini hari
8 Mei 2016 02.14.19