Senin Pagi


Hari ini aku bangun pagi. 03:20 WIB. Hal yang jarang sekali aku lakukan, kecuali terpaksa. Sepagi ini hawa terasa begitu dingin merayapi selimut dan ngilu menembus tulang. Apalagi musim kemarau seperti ini, Malang serasa dijeram dingin yang menusuk.

Di hadapanku sebuah kaligrafi lafadz tercetak dalam media semacam hambal kecil, mungkin seukuran 100x70 cm, terpajang di dinding bercat kuning pastel. Di bawahnya, sebuah whiteboard dengan coretan yang sudah tak jelas mengahadapku dengan tegas. Di bawahnya lagi, seekor anak manusia terkapar dalam bungkusan sleeping bag abu-abu miliknya.

Di luar sana yang aku dengar hanya deru mesin-mesin motor, mobil, truck, kereta dan speaker dari stasiun yang bersahutan dengan lantunan ayat-ayat suci dari speaker masjid dan musallah menjelang subuh.

Aga datang malam tadi. Sekira pukul sepuluh malam ia mambangunkanku. Sayang sekali, ia gagal. Kantuk lebih menguasaiku. Obat yang aku konsumsi lebih mujarab membenamkanku dalam selimut daripada sentuhan bahkan koyak yang ia lakukan. Aku mengkonsumsi sebuah obat untuk meredakan alergi yang terus menumpang hidup dalam tubuhku. Celakanya, obat itu bisa membuatku kantuk berat. Tak kenal waktu dan tempat.

Setelah bangun pagi ini, Aga sudah terkapar di depanku. Kulihat gawai, "Ayo ngopi, Mas." Pukul sembilan malam pesan itu masuk dari Aga. Sayang, aku baru melihat pesan itu saat dia sudah terkapar.

"Mas," tiba-tiba ia terbangun.

"Eh, Dul," balasku singkat kemudian kami ngobrol sebentar dengan kesadaran yang masih bergelut dengan kantuk.

Setelah gagal membangunkanku, ia keluar menemui keponakannya, ungkapnya. Pukul satu dini hari ia baru kembali dan meringkuk dalam sleeping bag miliknya.

"Jam berapa, Mas?"

"Jam empat.. .."

"Masih lama," potongnya, kemudian beringsut dalam kantong tidurnya.

BGSD !!

Hari ini, pagi ini, pukul enam pagi kami sudah harus berada di Aula utama sebuah universitas untuk mengikuti kegiatan penyambutan mahasiswa baru.

You Might Also Like

0 komentar