Berbahagialah; Ateng menikah!


Di hari yang bahagia ini perjuangan saudara kami dalam ngempet keperjakaannya akhirnya paripurna. Setelah perjuangannya bertahun-tahun berdamai dengan mantan, akhirnya ia bisa move on dengan sebaik-baiknya. Ia melangsungkan akad nikah. Selamat berbuka, Mas.

Buat teman-teman di Malang, siapa yang tak kenal sosoknya yang sangat unik; pendek, buntet, botak dan nyengiran. Di malang, sosoknya lebih dikenal dengan nama Ateng, dari pada nama Nasihin yang sudah tercatat dalam akta kelahiran dan kartu keluarganya.

Mas Ateng, begitu sapaanya, sejak memamah bangku sekolah menengah atas telah menginjak-injak bumi malang. Sejak itu pula, ia terjun bebas ke dunia Titer. Mulai dari teater Kalam MAN1 Malang sampai SSB Al-Karomi di jurusan bahasa arab UM.

Buat teman-teman di Al-Karomi, sosok Ateng menjadi sangat penting. Kesungguhannya menikmati proses berteater dan mengayomi adik-adiknya sangat berkesan. Setidaknya itu yang bisa saya lihat dari interaksi bersama mereka. Soal bagaimana pahit-getir perih perjuangannya, tentu teman-teman Al-Karomi lebih tahu dan lebih fasih menuturkan.

Tapi dihadapan Ateng, saya melihat lika-liku perjuangannya menjadi sangat asik. Ateng orang yang optimis dan terbuka. Dengan begitu ia menghadapi setiap tantangan dengan tangguh. Belum lagi Ateng adalah orang dengan tipe Stel Kendo, Woles, dan lebih memilih tidak makan dari pada tidak ketawa.

Kesungguhannya dalam menikmati proses berteater mengantarnya sampai menenteng juara kedua PEKSIMINAL (Pekan Seni Mahasiswa Regional). Bahkan sampai mengantarkan si tengil Ateng untuk bertemu dengan perawan yang luar biasa dahsyat dan membahana (karena mau saja dinikahi Ateng. Dasar Ateng).

"Ngobrol rodok suwene ndek Galeri Indonesia Kaya, San," Katanya. Ateng dengan jumawa dan kemakik menjelaskan pertemuannya dengan perawan naas yang dinikahinya.

"Kenal teko ndi mas?"

"Festival monolog e putu Wijaya. Arek e panitia aku peserta." Dadanya makin membusung. (Jasik, megelno!)

Dasar seniman. Ateng punya komitmen pada dunia kesenian dan kebudayaan. Ya, meski tak pintar-pintar amatlah. Apalagi sekarang ia berdamping dengan istri barunya yang punya komitmen yang sama.

Ketika di Malang selain menjadi ketua sanggar dan berproses dengan teman-teman sanggarnya, ia juga melatih beberapa ekskul Titer di beberapa sekolah dan turut membidani lahirnya Teater Tumbuh. Ateng juga salah seorang yang getol nguri-uri sosok Mbah Hazim Amir, tonggak teater malang. Sampai menyelenggarakan haul beliau dan meninggalkan monumen di Dewan Kesenian Malang dengan meresmikan pendopo DKM dengan nama pendopo Hazim Amir.

Sampai hari ini pula Ateng menjadi salah satu penasehat di Lensa Teater. Bahkan ketika ia telah pulang kampung ke Nangah Pinoh, ia mendirikan sebuah warung yang memfasilitasi proses literasi disana. Dengan jumawa pula ia menamai warungnya dengan nama Warung Literasi.

***

Ateng-Ateng. Siapa sangka akhirnya menikah juga. Tapi beginilah hidup. Kadang memang terasa tak adil.

***

Ada satu kisah menarik yang dituturkan sahabatnya, Mas Abut.

Pagi itu matahari terbit seperti biasa, namun di ORMAWA (Organisasi Mahasiswa) Sastra pemandangan tidak seperti biasa. Kuliah libur dan mahasiswa enggan lembur. Waktu itu digunakan sahabat saya, Ateng, untuk pergi berkunjung ke neneknya di Probolinggo.

"Te nandi, Teng?" sapa seorang kakak senior.

"Te nang Probolinggo, Mas," jawab Ateng sekaligus pamitan dengan peralatan lengkap; helm, motor, tas, dan syal pantai yang panjang.

"Ti-ati, Teng," sahut sebuah suara dari area WS, Warung Sari, sebuah warung yang ganteng dengan berbagai suguhan multidisiplin dari berbagai kalangan, Mahasiswa, dosen, seniman, dll..
"Oyi, Mas.. Bereeees," jawab Ateng lantang. Tak lama setelah itu Ateng berangkat. Kami dapati dia sudah tak terlihat di tikungan pujasera.

Selang sore hari Ateng datang. Namun, ada pemandangan yang berbeda setelah Ateng turun dari motor dan melepas sepatu tepat di depan pintu sanggar.

Ketika sampai pintu sanggar, Ateng langsung duduk dan melepas jaket. Saat melepas jaket ternyata lehernya luka-luka.

"Kenapa, Teng?"

"Kejiret Syal, Mas." Jawab Ateng.

"Lha kok bisa?"

"Tadi pas di lampu merah, Syalku kejiret rantai, Mas. Pas motornya jalan, leherku kecekik." Terang Ateng yang Syalnya terjerat rantai motor. Sontak jamaah gempar dengan tawa dan serapah yang bertubi-tubi. Ateng diam. Mukanya penuh keringat berkilau. Melas.

Begitulah Ateng.

***

Selamat menempuh hidup baru, Mas. Semoga selalu diberkahi. Langgeng berumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah dan dikaruniai putra-putri solih-soliha.

Lho tak dungakno, Mas. Seperti katamu semalam, bahwa doaku pasti dikabulkan, sebab aku selalu terdzolimi (olehmu). Lain kali bilang terus terang saja, Mas, kalau lagi tegang. Jangan sungkan. Dan jangan pura-pura sensi lantas chatmu megelno terus dan ngajak gelut terus.

Bahagia selalu!

(Dipublikasikan pertamakali di blog lensateater.com)

You Might Also Like

0 komentar