Kabar


Tiga hari lalu, salah seorang sahabat saya berkunjung. Rasanya sangat kangen. Padahal usai idul fitri lalu kami bertemu. Dalam kunjungannya itu kami ngobrol singkat. Saling bercerita. Dan nostalgia pesantren menghinggapi kami. Kemudian ia mengabarkan bahwa bersama beberapa sahabat dan koleganya ia akan menerbitkan buku tentang pesantren. Beberapa nama penulis ia sebutkan. Buku itu sedianya akan dilaunching bertepatan dengan hari santri 22 oktober mendatang. Semoga diberi kelancaran dan membawa manfaat pada siapa saja.

Usai pertemuan itu, pikiran saya berkitar lagi menziarahi puing ingatan. Segala yang bertaut dengan pesantren seolah hadir dalam fragmen imajinasi. Berkelindan silih berganti.

Menjelang istirahat, seperti biasa gawai selalu mengundang menggoda. Ketika saya lihat pemberitahuan di facebook, ada sebuah kenangan yang coba diperlihatkan, sebuah satus panjang yang pernah saya tulis berkaitan dengan wacana full day schooll setahun silam. Saya tergerak untuk mengirimkannya pada sahabay saya.

Pagi tadi, tulisan status panjang yang saya kirimkan itu ditanggapi dengan baik. Kemudian ia bertanya tentang tulisan saya yang lain yang berkaitan dengan pesantren. Setelah saya cari ternyata memang belum ada. Hanya tulisan nostalgia atau sedikit berkaitan menyentuh pesantren. Itu makin mengingatkan saya, bahwa sampai sekarang rasanya belum ada bakti saya untuk sekadar cukup disebut terimakasih pada lembaga yang sangat mulia itu. Duh.

Tak menemukan tulisan saya tentang pesantren, justru saya menemukan kiriman status facebook seorang sahabat yang membagikan ucapkan selamat dari seorng murid pada gurunya, presiden penyair malioboro yang kini tengah berulang tahun.

Begitu saja saya tergerak ingin menyiram-menyemai hormat saya pada sang presiden. Saya cari tulisan-tulisan tentangnya. Kemudian saya berhenti pada satu tulisan salah satu muridnya, pengasuh Jamaah Maiyah. Ia tak panjang berkisah, namun dalam menyelam. Meninggalkan tapak-tapak jejak kunci spiritualitas gurunya. Menghentak sekaligus membelai. Menyentak sekaligus menyiul.

Tak lama, saya kembali jatuh pada istirah. Hampir empat hari ini badan saya didera lelah dan sedikit payah.

Bangun dari istirah, saya temukan cerita dari seorang guru bercahaya. Beliau panutan manusia. Cahaya yang teduh dalam berpetuah. Selalu menebarkan cinta dengan cahaya.

Setiap keluar rumah dan berjalan-jalan pagi, seperti anjuran dokter, beliau disambut para tetangga dengan senyum begitu ramah. Hingga beliau singgah dan bercengkerama, menikmati kopi. Begitu pulang dan sampai di rumah, beliau disambut sepasang suami istri, santri almarhum istri tercinta beliau. Mereka membawa tumpeng buatan mereka dan menghadiahkan pada sang guru tercinta atas ulang tahun beliau. Sungguh peristiwa begitu puitik bagi saya.

Sahabat yang datang membawa kabar baik sekaligus peringatan bahwa darma bakti haruslah dilakukan, kemudian sahabat yang menyentuh ingatan dan mengantar pada pusaran kedalaman penghargaan murid-murid pada guru-gurunya. Guru-guru yang telah dan tengah membimbing dengan cahaya menuju cahaya. Semoga mereka semua selalu dalam naungan cahaya Yang Maha Cahaya. Hingga bisa selalu membiaskan cahaya untuk menerangi jalan kita.

Kebahagiaan ini menyehatkan. Terimakasih.

You Might Also Like

0 komentar