TIKUS


Sebenarnya sudah lama aku ingin bercerita tentang tikus di kampung ku. Tapi karena satu dan lain hal, aku belum bisa menceritakannya. Tiap hari rasanya tubuhku terus bekerja. Hingga tak ada jeda untuk memberikan sedikit waktu pada pikiranku untuk berkembara dan berbagi kisah yang ia temui.

Kini, malam ini, ketika aku rasa bisa berdamai dengan pikiranku, segera ingin aku sampaikan kisah ini.

Kisah ini bermula ketika aku pulang kampung. Setelah sekian lama aku tinggal di kota lain untuk mencari peruntungan dengan membuka warung kecil-kecilan. Aku sebut warung kecil-kecilan karena memang tempat yang aku sewa untuk mendirikan warung hanya sebatas halaman sebuah toko elektronik yang tutup pukul tujuh malam. Di halaman toko elektronik itulah aku membuka warung pukul delapan malam.

Untungnya, lokasi toko elektronik itu tidak berada tepat di samping jalan raya. Selain harga sewanya melangit, aku juga tak terlalu suka dengan bising kendaraan.

Warung ku terletak di tepi jalan. Tapi bukan jalan raya. Setelah jalan raya Basuki Rahmad, ada pertigaan. Dari pertigaan itu masuk ke dalam. Ada pertigaan lagi. Dari pertigaan ke dua, belok kanan. Empat bangunan toko setelah pertigaan kedua tadi adalah  lokasi warung ku berada.

Tempatnya lumayan strategis. Dekat dengan kos-kosan mahasiswa, rumah warga dan kampus. Tak terlampau bising seperti di tepi jalan raya yang desing mesin kendaraannya bisa memekakkan telinga.

Sejak pukul delapan malam sampai pukul tiga dini hari aku buka warung ku. Dengan gerobak dorong, aku bawa semua perlengkapan warung. Pukul enam sore gerobak telah siap. Usai shalat isya' aku mendorong gerobak ku berangkat ke halaman toko elektronik.

Pelanggan yang datang lumayan banyak. Rata-rata mahasiswa. Di awal pembukaan warung, aku menggratiskan kopi yang mereka pesan selama tiga hari berturut-turut sebagai promosi. Aku juga menyuruh mereka mengajak teman-temannya untuk ngopi di warung ku.

Sebagai orang asing yang tak kenal siapapun di kota itu, melakukan promo dengan menggratiskan minuman kepada pelanggan ternyata bisa menjadi cara yang ampuh.

Saat tiga hari promo gratis itu, warung ku dipenuhi oleh pelanggan yang rata-rata mahasiswa. Mereka datang berkelompok-kelompok. Ada yang datang dengan pacarnya. Biasanya mereka mencari tempat duduk di pojokan. Ada juga yang datang berdua. Setelah memesan minuman mereka seperti tengah merundingkan sesuatu. Membahas sesuatu yang tak usai-usai. Entah apa yang mereka bicarakan. Kadang mereka yang seperti mereka itu membawa setumpuk buku. Diletakkan di samping mereka duduk atau diatasnya meja. Dan mereka hanyut dalam obrolan hingga pagi menjelang.

Aku cukup senang dengan ramainya pelanggan yang datang. Tapi aku tekan dalam hati: bahwa ini hanya permulaan. Bisa jadi setelah tiga hari, pelanggan yang datang tak lebih dari dua orang yang pacaran hingga larut malam. Bisa saja terjadi. Karena mereka datang tiga hari ini untuk memanfaatkan ngopi gratis yang aku sediakan.

Aku belum bisa memastikan. Sebab warung baru berjalan beberapa hari. Dan, sudah menjadi tradisi yang umum bagi siapa saja yang membuka usaha, bahwa masa tiga bulan pertama adalah masa-masa penuh ujian. Kalau bisa melewati tiga bulan pertama itu, minimal kita bisa melihat bagaimana ritme usaha kita.

Maka setelah tiga bulan ini, aku bisa sedikit lega. Karena warung yang aku usahakan ini tak terlampau sepi. Memang naik-turun. Tapi masih dalam batas wajar. Bisa aku bilang wajar karena pengeluaran dan pemasukan ku masih bisa seimbang. Meski tak banyak yang bisa aku simpan, setidaknya cukup untuk biaya-biaya yang aku perlukan.

Dan setelah tiga bulan pertama ini terlewati, aku memutuskan untuk pulang kampung. Pertama, aku ingin mengunjungi orang tua ku. Selama ini hanya kabar lewat SMS yang bisa aku terima dari mereka. Itu pun aku harus menghubungi adikku terlebih dahulu. Maklum, orang tuaku terlalu sepuh untuk akrab dengan teknologi yang makin canggih.

Kedua, rasanya aku perlu mengajak satu orang untuk membantuku di warung. Dan, aku berencana untuk mencarinya di kampung halamanku.

Jadilah aku pulang kampung. Sengaja aku pilih waktu akhir pekan. Saat-saat seperti itu, mahasiswa kebidanan suka berjalan-jalan. Mereka pergi ke pantai atau gunung atau ke acara-acara di luar kampus yang mereka adakan saat akhir pekan. Kecuali mereka yang memang tidak punya acara, tak punya pacar atau bahkan tak punya banyak uang, mereka akan mendekam di kos-kosan.  Maka akhir pekan menjadi pilihan waktu yang tepat.

Aku berangkat sekitar pukul delapan pagi. Butuh empat jam perjalanan untuk sampai di kota ku. Dari terminal aku naik ojek untuk sampai kampung halamanku. Setelah sepuluh menit duduk diatas motor, sampai juga di depan rumah.

Pukul setengah satu siang. Saat seperti itu, biasanya bapak masih di rumah. Bapak pulang dari sawah ketika speaker masjid sudah mengumandangkan qiro'ah sebelum adzan Dzuhur. Sampai di rumah bapak melepas lelah. Memutar letevisi atau sekedar ngobrol dengan Mbah atau ibu.

Mereka mandi bergantian sebelum shalat dzhuhur. Di rumah hanya ada satu kamar mandi dan satu toilet. Itu baru-baru ini saja. Dulu, sampai aku kelas tiga SMA, aku masih harus pergi ke belakang rumah untuk buang air besar di jamban, tepat di bawah pohon randu. Sekarang, bapak sudah membangun toilet di samping kamar mandi.

(bersambung. Sampai waktu yang aku tak tahu)


You Might Also Like

0 komentar