FULL DAY SCHOOL

Saya, Alvin El-Mumtas, Ahmad Zarkasih dan Ahmad Alifudin Islamy. Foto itu diambil sebelum berangkat ke kecamatan. Ketika baru menulis beberapa paragraf dalam tulisan ini, tiga krucil itu datang dengan segala cuit dan rengekan. Mereka merayu minta diantar melihat gerak jalan, lomba agustusan di kecamatan.

Orang tua-orang tua mereka adalah orang yang kenyang melahap full day school di pesantren. Semoga kelak mereka akan turut melanjutkan perjuangan-perjuangan di masa depan
Membaca sikap Mas Ali Antoni dalam status facebooknya beberapa waktu lalu tentang konsep full day school yang dinyatakan pak mentri, membuat saya tergelitik.

Mas Ali Antoni tidak ambil pusing terhadap pernyataan Pak Mentri. Beliu lebih peduli terhadap si anak. Persoalan fuul day school itu, kalau si anak senang ya lanjut, kalau tidak ya pindah. Kurang lebih begitu sikapnya. Baginya si anak jauh lebih penting. Sebab si anaklah yang belajar.

Saya jadi ingat, suatu malam usai silaturahim syawalan ke rumah Pak De yang masih setia mengajari dan memberi semangat kami untuk terus belajar meulis--diam-diam saya mengagumimu Pak De--saya bertemu dengan Mas Reza. Kami berjabat tangan dan saling bermaafan. Kemudian malam yang remang
di taman depan UKM itu mengantarkan kami pada obrolan yang asyik-masyuk.

Melipir dari perjalanan proses berkesenian yang berani dan liar hingga spirit percik-percik spiritual yang di kemudian hari baru bisa dipahami setelah proses yang lumayan panjang. Sampai obrolan kami pada satu kecemasan terhadap masa depan kami, anak-anak kami kelak.

Sekolah yang sedianya diharapkan dapat membantu orang tua mendidik buah hati mereka nyatanya banyak memberikan kekecewaan. Mulai dari biaya pendidikan yang melambungnya seringkali menembus batas masuk akal. Penyelenggaraan proses pendidikan justru banyak yeng keluar dari nilai-nilai dan esensi pendidikan itu sendiri.

Memang dan sudah seharusnya orang tua tidak hanya berpangku tangan dalam proses penyelenggaraan pendidikan anak-anak kita. Pendampingan dari orang tua menjadi penting bahkan wajib untuk mengawal proses pendidikan anak-anak kita, proses penanamal nilai-nilai yang seharusnya dimiliki dan dijaga setiap manusia.

Bukankah justru mendidik anak, menyampaikan keilmuan, pengetahuan dan usaha-usaha menjadikan anak-anak menjadi manusia yang baik pertama-tama adalah kewajiban bagi tiap orang tua. Barulah ketika orang tua merasa sudah tak memiliki kemampuan yang memadai untuk melaksanakannya, maka orang tua wajib memfasilitasi anak-anaknya untuk belajar.

Keberadaan sekolah dan lembaga belajar sekali-kali hanya membantu orang tua untuk melaksanakan kewajibannya memberikan pendidikan bagi anak-anaknya.

Sayangnya, kian hari seolah pemahaman kita terbalik. Banyak yang menuding guru harus bertanggungjawab. Sekolah harus bertanggungjawab atas kemerosotan moral anak-anak kita. Sekolah harus bertanggungjawab atas segala kenakalan anak-anak kita. Pemerintah wajib bertanggungjawab! Seolah-olah kita lupa, bahwa tanggungjawab itu pertama-tama terletak dipundak masing-masing orang tua.

Kabar para pendidik yang diperkarakan orang tua murid karena dianggap melampaui batas kewenangan mereka dalam mendidik menjadi granat yang meledak begitu dahsyat dalam akal dan nurani kita. Benar atau salahkah perbuatan itu, jangan-jangan tuhan sengaja membuka aib itu untuk menampar diri kita; sudahkah kita berusaha memenuhi tanggaungjawab sebagai orang tua yang mengampu amanah?

Padahal Tuhan sendiri tak suka mengumbar aib.

Sebagai guru, Mas Reza dibuat tersentuh oleh anak didiknya. Ketika mengajar sebuah kelas, meski bukan kelas regular, Mas Reza mendapat perhatian--penghormatan--selayaknya guru. Perhatian itu diberikan satu orang murid yang selalu mengondisikan kelas dan teman-temannya untuk lebih hikmad mengikuti pelajaran sebelum kedatangan Mas Reza. Menghubungi dan menanyakan kabar bila Mas Reza sekira datang lebih lebih lambat dari biasanya.

Lama sebelum Idul Fitri menyempurnakan puasa kita bulan lalu--semoga--sang murid mengirimkan pesan permohonan maaf dan doa. Dari sekian anak, baru seorang murid itulah yang melakukannya dan membuat Mas Reza benar-benar merasakan sebuah perhatian seorang murid, anak yang sungguh-sumgguh mau belajar. Membuatnya merasa ingin lebih bertanggungjawab dan bersungguh dalam mendidik.

Ternyata sang murid telah kenyang melahap konsep full day school di pesantren.

Di rumah, buah hatinya juga membuatnya berkali-kali terperangah. Tiap pagi, buah hati yang begitu imut itu selalu merengek dan tak mau lepas dari dekapan sang ayah. Sekian cara dilakukan untuk membujuk agar si kecil tak merengak dan berkenan ditinggalkan. Apa kemudian yang membuatnya tersenyum haru? Si kecil akan luluh dan melepas kepergian sang ayah jika sang ayah berpamitan hendak mengajar.

Jangankan Mas Reza yang terkait dan terikat secara lahir batin dengan buah hatinya, mendengar kisahnya saja saya tersenyum haru.

Sebagai orang tua muda, Mas Reza tidak hanya selalu berusaha mendidik buah hatinya. Justru sebagai manusia, ia sendiri belajar banyak dari si kecil.

Suatu kali, ketika sedang bercengkrama dengan buah hatinya, si kecil meraih sebuah mainan.

"Apa namanya?" Mas Reza bertanya pada si kecil. "Bis.. Bis.. Apa?" Lanjut Mas Reza.

Anak kecil memang belajar dengan menirukan hal-hal yang terjadi di sekitar mereka. Lalu dengan kalimat yang belum fasih layaknya anak-anak sebayanya si kecil menjawab, "Bismillahirrahmanirrahiim.."

Jawaban si kecil itu membuat hati Mas Reza benar-benar basah. Lagi-lagi Tuhan memberinya pelajaran lewat si kecil buah hatinya.

Kecemasan-kecemasan yang selama ini mengejar dan membayang harus segera ditepis. Diganti dengan kemantapan hati bahwa dengan niatan dan upaya yang sungguh-sungguh dalam proses belajar dan berkehidupan ini, Tuhan akan mejawab do'a kita.

Mas Reza belajar memenuhi tanggungjawabnya sebagai orang tua dan pendidik yang memanggul amanah. Ia mulai mengurangi aktifitasnya di luar rumah dan memilih untuk menghabiskan waktunya bersama buah hati dan belahan jiwanya.

Akhir-akhir ini banyak orang yang berceramah tentang konsep full day school dan pendidikan karakter.

Bagi saya jauh sebelum Pak Mentri dan banyak orang menyinggung dan mendukung konsep full day school, di pesantren konsep itu sudah diterapkan sebagai upaya membangun manusia baik secara lahir maupun batin. Bahkan jauh sebelum bangsa ini menegaskan kemerdekaannya, pesantren telah membangun manusia-manusianya.

Terimakasih para guru dan sahabat.
Tinaro, Lamongan, 09 Agustus 2016

You Might Also Like

2 komentar