DIALOG YANG TAK KUNJUNG USAI

Suasana ngopi di Cemeng Coffee Ruko Bendungan Sutami No. 51 Kav. H
Tempat kami biasa nongkrong kadang juga sampai menginap
Suatu malam saya pernah ngobrol dengan dua orang sahabat saya. Yang satu belajar sastra dan yang satu lagi belajar sejarah. Keduanya adalah mahasiswa yang kritis. Sahabat saya yang pertama sekarang suka menyebut dirinya petani jalur kiri. Sehari-hari ia bertani di kebun di kampung tercintanya, mengajar di pesantren dan menulis. Sahabat saya yang kedua sekarang menjadi aktivis buruh. Bergabung dengan organ buruh yang sudah lumayan tua di jawa timur. Dan mempersiapkan studi lanjutnya.

Malam itu obrolan kami sampai pada kasak-kusuk nusantara tercinta. Pasalnya kini masyarakat kita sedang asyik-masyuk dalam nina bobo segala sesuatu yang harus cepat, mudah, ringan dan menyenangkan. Alhasil generasi yang terbentuk pun menjadi generasi yang rapuh, rentan dan rawan porak-poranda digilas laju zaman.

Obrolan terus merangsek pada soal dedek-dedek gemes kita yang kian hari kian memprihatinkan. Bagaimana tidak, ketika melihat kondisi di sekitar kita, hampir semua orang--termasuk saya, sepertinya--selalu dipermainkan oleh pasar mode, trend, lifestyle dsb. Bahkan mereka seolah tak punya nalar-kuasa untuk menentukan kehidupannya sendiri.

Mulai dari pakaian, cara berpakaian, cara berjalan, bersikap, sampai jalan pikiran semuanya habis dikendalikan pasar mode. Dan, luar biasanya, mereka sama sekali tidak menyadarinya. Justru mereka menikmati dan berlomba mengejarnya.

Itu bisa kita lihat dari aktifitas keseharian kita-kita orang jaman sekarang. Anak-anak diasuh oleh televisi dan gadget yang selalu membombardir mata, telinga dan pikiran dengan update style kekinian. Iklan-iklan produk kapital yang terus menjual segalanya.

Usai dibuai iklan yang aduhai lantas minta duit ke orangtua. Beli ini-itu, update ini-itu. Kalau tidak ada yang ngasih duit, cari kerja-kerja untuk bisa mengikuti perkembangan zaman. Alih-alih mengikuti perkembangan zaman, padahal cuma pengen dibilang kekinian, gak kuper, dengan segala aksesoris terbaru, terpopuler dan terkeren.

Tidak berhenti sampai disitu. Orangtua yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pendidikan seorang anak lebih disibukkan oleh urusan ekonomi yang terus mimpes dan menghimpit. Bukan tambah sejahtera, malah meradang menjera.

Sekian waktu dalam sehari dihabiskan di tempat kerja untuk memburu koin-koin rupiah demi harapan meningkatkan derajat kehidupan yang layak--yang lebih banyak diukur dengan pencapaian material-finansial. Tapi nyatanya, kian waktu justru mereka diinjak-injak dan dipermainkan. Peningkatan pendapatan sama juga bohong, sebab pengeluaran jauh lebih besar berlipat-lipat.

Tidak ada waktu untuk mengawal pendidikan sang anak. Semuanya habis tercurah untuk koin rupiah. Mestinya bukan soal biaya, tapi bagaimana dan untuk apa anak-anak itu dididik? Pasalnya pendidikan kita ternyata tak lebih dari sekedar mesin produksi kuasa yang sangat efektif untuk mengendalikan manusia. Pendidikan yang dilakukan bukan untuk memerdekakan, namun justru menundukkan!

Ketika biaya pendidikan melonjak begitu mahal tidak ada hal lain selain tunduk dan bayar. Ketika gaji dan pendapatan tak sebanding dengan kebutuhan, tidak ada jalan lain, selain tunduk dan kerja-kerja-kerja.

Seolah tidak pernah tumbuh suatu kesadaran, bahwa kita sedang dan terus dimiskinkan, dibodohkan, ditundukkan, dipermainkan.

"Fyuh!" Obrolan menjadi begitu sesak.

Sebelum booming berita guru malang orangtua murid mentang-mentang, obrolan kami menyasar soal revolusi.

Kita dihancurkan dengan nina bobo kemalasan dan kelembekan, bukan ditindas dengan tekanan-tekanan sepatu lars dan popor senjata. Kemalasan dan kelembekan itu justru racun yang lebih mematikan. Setidaknya korbannya tidak akan sadar telah menenggak racun sebelum ajal sampai di kerongkongan.

Dan selama kemalasan dan kelembekan --yang bahkan sejak dalam pikiran--itu terus meraja, maka tidak akan pernah terjadi revolusi.

Kita butuh tekanan yang lebih kuat. Kita butur tamparan keras untuk menyadarkan diri betapa bodohnya kita selama ini dikencingi dan makan kentut ilusi.

Kita butuh orang-orang dalam (ke)kuasa(an) yang lebih represif untuk menyadarkan kita dan membangkitkan syaraf-syaraf lema(h/s) kita.

"Jika tidak, maka kita akan terkulai dan mati lemas dijerat kemalasan dan kelembekan."

"Tidak bisa! Itu justru mengingkari upaya pembangunan yang selama ini diusahakan setelah kemerdekaan dan reformasi yang kita capai," sergah sahabat saya keberatan.

"Pondasi kehidupan yang sudah dibangun lewat kemerdekaan dan dinding-dinding reformasi akan rusak jika kita kembali mengambil bentuk represif totalitarian dalam sendi kenegaraan kita," lanjutnya.

"Lalu apa? Sedang kita sudah dikalang ketidaksadaran atas kehidupan kita."

"Kita akan lakukan upaya penyadaran."

"Lewat apa? Sedang pendidikan yang diselenggarakan si tuan dan diberhalakan orang-orang nyatanya cuma untuk membodohi, membungkam, menindas dan menundukkan? Sampai kapan?!"

Karena suasana begitu tegang dan memuncak saya tak sengaja menampel tangan sahabat saya yang mengapit sebatang rokok. Baranya semburat bertebaran.

"Huaa.. Setaan!" Teriak sahabat saya sambil mengibas-ngibaskan sarungnya. Seharusnya dialog malam itu bisa berlanjut lebih panjang seandainya sahabat saya tidak segera menyeret pulang.

"Kowe-kowe tus arep nyapo, he? Dari pada nganggur, lebih baik sekarang kita cepat pulang dan turu mapan. Besok ikut ke tegal, bantu aku menanam lombok!" Tukasnya kemudian menyeret kami berdua pulang. Ah, sialaan.

Jl. Kartini 93 Babat Lamongan

06 Agustus 2016

You Might Also Like

2 komentar