WHO AM I; untuk sahabat-sahabat di Lawang


Dilahirkan pada tahun 1954 di Victoria Peak, Hong Kong, dengan nama Chan Kong Sang (yang artinya "dilahirkan di Hong Kong") anak dari Charles dan Lee-Lee Chan, pengungsi dari masa Perang Saudara Cina. Nama julukannya adalah Pao Pao ( Tionghoa:炮炮, yang secara literal berarti "peluru meriam") karena dia selalu berguling-guling ketika masih bayi. Orang tuanya bekerja pada Kedutaan Perancis untuk Hong Kong, sehingga otomatis ia menghabiskan masa kecilnya di lingkungan kediaman kedutaan di daerah distrik Victoria Peak.

Chan bersekolah di Nah-Hwa Primary School di daratan Hong Kong, namun sayang, dia tidak lulus sehingga orang tuanya mengeluarkannya dari sekolah. Pada tahun 1960, ayahnya beremigrasi ke Canberra, Australia dan bekerja sebagai kepala juru masak untuk kedutaan Amerika, dan Chan disekolahkan ke Chinese Drama Academy, sebuah Sekolah Opera Peking yang dimiliki dan dijalankan oleh Master Yu Jim Yuen.

Siapa dia? Kamu pasti menebak-nebak siapa gerangan? Kalau kamu penggemar aktor laga kebangsaan tiongkok yang penuh aksi akrobatik ini, niscaya kamu tak akan melewatkan tiap film yang dibintanginya.

Ya, Sang Peluru Meriam itu adalah Jackie Chan. Pada 17 Januari 1998 lalu, empat bulan sebelum rezim Soeharto digulingkan, Jackie merilis filmnya yang berjudul "Who Am I".

Kalau kamu tumbuh dan bahagia pada tahun 90an, kamu pasti nonton film itu. Hampir kebanyakan saluran televisi saat itu menayangkan film-film laga mandarin.

Dalam film itu, Chan berperan sebagai anggota pasukan elit multinasional yang sedang mengemban misi di daerah afrika selatan.

Di tengah operasi penyergapan sebuah konvoi dan penculikan beberapa ilmuwan, timnya mengalami sebuah kecelakaan. Chan tak sadarkan diri sampai suatu ketika ia terbangun dengan pikiran linglung di sebuah desa yang dihuni penduduk lokal suku asli arfika selatan. Ketika suku asli menanyakan namanya Chan menjawab dengan bingung, "Who Am I?". Sebab itu kemudian penduduk setempat memanggilnya dengan nama "Who Am I".

Di Malang ketika itu sedang memanas isu penggulingan Sang Jendral yang punya senyum begitu mahal. Untuk senyumnya, bangsa ini harus menebus dengan sekian nyawa! Hampir seluruh mahasiswa ditanah air berdiskusi, berkonsolidasi menyusun stratgei penggulingan Jendral, kecuali yang tidak.

Sang Jendral jatuh. Berulangkali ia diadili, tapi selalu berkilah sakit-sakitan.

Masih ingatkah kamu tentang peristiwa itu? Untuk perkara ini, tak perlu ada pertanyaan kamu hidup di era apa? Mau zaman batu sampai zaman Jonru, paling tidak kamu sebagai mahasiswa sedikit banyak harus membaca peristiwa itu.

Jangan tanya kenapa mesti mahasiswa! Pertanyaan itu hanya akan membuat klompen Pak Karno nempel di pipi kanan-kirimu.

Membaca sejarah itu penting. Setidak-tidaknya membaca sejarah perjalan panjang bangsa ini akan membuatmu tahu bagaimana perjuangan bangsamu. Bahwa darah itu merah, jendral!

Bahkan untuk urusan itu, Bung Besar telah mewanti: JAS MERAH; Jangan Sampai Melupakan Sejarah.

Sejarah akan menuntunmu menziarahi apa saja peristiwa yang terjadi dalam perjalanan bangsa ini. Kemudian ziarahmu akan dibimbing pada gerbang mengapa dan bagaimana? 

Pada titik itulah kamu harus mencari. Melakukan pembacaan ulang. Menimbang, mempertanyakan hingga menemukan dasar motif sebuah peristiwa.

Jangan tanya lagi kenapa harus! Kamu itu mahasiswa. Jangan bikin klompen Pak Karno benar-benar bersarang di pipi kanan-kirimu.

Masih ingat dengan adagium, "Tidak ada sesuatu yang berangkat dari kekosongan"? Maka tidak ada suatu gerak(an) tanpa motif dan tujuan.

Kalau kamu belajar drama, kamu akan akrab dengan naskah drama. Dalam naskah itu ada cerita. Cerita dibangun dari dua kekuatan motif tokoh yang berlawanan hingga menciptakan sebuah konflik dalam peristiwa.

Maka untuk mementaskan sebuah naskah drama dalam teater, mula-mula kamu harus berkenalan dengan latar peristiwa itu. Kemudian tokoh dan karakternya. Melakukan kajian dan observasi mengenai kondisi fisiologis, psikologis, ideologis dan sosiologisnya.

Berkenalan dan berakrab-sepakat dengan tokoh cerita menjadi hal yang harus. Sebab pertunjukan teater menggunakan media manusia (sebagai yang utama dan mula-mula), tubuh dan jiwa pemerannya untuk menyampaikan pesan kepada penonton lewat rasa yang disampaikan oleh pemerannya.

Nah, dari dan dalam proses itu kamu akan belajar sadar peran dan sadar panggung. Siapa dirimu, apa peranmu dan dimana posisimu. Dalam hal keseharian kita menybutnya jati diri. 

Ketika jati diri (baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari sebuah institusi organisasi) dapat dipahami dan diwujudkan dalam panggung mikro maupun makro, rasanya kecil kemungkinan akan muncul nada yang mengeluhkan kebingungannya dalam suatu gerakan.

Nah, sebelum panggung opera pergerakan kita digelar, mari menekuri siapa jati diri kita.

Selamat berproses!

Lamongan, 03 September 2016
23:07 WIB

You Might Also Like

0 komentar