Se-jenak saja; sekelumit uneg-uneg tentang PMII dan NU

Setelah membaca catatan sahabat saya yang membincang PMII dan NU, terbersitlah uneg-uneg dalam diri saya.

Yang pernah saya dengar tentang ultimatum kembalinya PMII ke NU salah satunya adalah untuk menata jenjang kaderisasi di NU sendiri. Kalau sampai hari ini kita punya pemahaman (dan kesepakatan) yang sama bahwa IPNU adalah organisasi pengkaderan yang bergerak pada jenjang kaderisasi pelajar dan PMII adalah organisasi pengkaderan yang bergerak pada jenjang kaderisasi mahasiswa, maka NU pun berpemahaman demikian (insyaallah). Oleh karena itu NU ingin (mereka menyebutnya) menyelaraskan dua organ itu dalam jalur kaderisasi yang berjenjang dalam satu payung, yaitu NU. Toh, selama ini secara kultur PMII masih seirama dengan NU.

Jika yang kita bicarakan adalah penataan, (pembenahan atau apa pun kita menyebutnya) NU baik secara struktural termasuk struktur kaderisasi, maka NU perlu menghadirkan satu lemabaga yang bergerak di jenjang mahasiswa, sebagai jenjang lanjutan dari IPNU yang mewakili jenjang pelajar. Dan sebagai Organisasi yang otonom, NU berhak melakukan itu. Kecuali dengan semena-mena karena kebutuhan itu kemudian NU memberikan ultimatum pada PMII untuk kembali padanya. Karena bagaimanapun PMII telah mendeklarasikan independensinya dari NU, sampai terakhir kali dideklarasikan Interdependensi, dan karena itu maka PMII telah menjadi otonom, berdikari dari NU.

Jika selama ini yang dianggap tolak ukur keterikatan PMII dengan NU adalah karena ke-seirama-an gerakan kulturalnya, bagi saya hal itu tidak seharusnya menjadi persoalan. Artinya, PMII dan NU punya pemahaman yang sama (insyaallah) terhadap kehidupan yang terjadi di Indonesia. Karena itu PMII dan NU memilih pola (gerakan) kultural yang seirama. Tapi bukan berati kesamaan pola tersebut kemudian mengharuskan bersatunya dua organisasi besar ini. Demikian juga dengan PMII maupun NU, keduanya juga tidak seharusnya (jika tidak boleh dikatan 'Tidak Boleh') mengklaim pola (gerakan) kultural yang dilakukannya sebagai miliknya yang tak boleh dilakukan oleh organisasi lain. Naif sekali jika NU berpemikiran bahwa hanya NU yang berhak melakukan pola (gerakan) kultural yang demikian. Sebab NU tidak bisa mengekang pemikiran seseorang atau sekelompok orang, selama pemikiran itu baik. Jika kemudian pemikiran orang, sekelompok orang, atau organisasi lain itu menghasilkan perilaku yang seirama dengan NU, bukan berati ia atau mereka meniru NU. Juga bukan berarti ia atau mereka harus menjadi (atau masuk) ke dalam NU. Setiap orang atau organisasi punya hak dan kesempatan untuk mengambil jalan perjuangannya sendiri. Jika dalam kenyataannya terjadi kesamaan jalan perjuangan justru harus saling mendukung, bukan saling mengungkung.

Pun demikian dengan konsep Ahlu sunnah wal jama'ah. Kita tahu bahwa kedua organisasi tersebut sama memilih Ahlu sunnah wal jama'ah sebagai landasan praktik keislaman. Keduanya sama berhak memilih Ahlu sunnah wal jama'ah sebagai landasan, yang tidak boleh dilakukan oleh kedua organ tersebut adalah mengintervensi satu sama lain untuk tidak memilihnya hanya karena alasan klaim sebagai pemilik tunggal konsep tersebut (Ahlu sunnah wal jama'ah). Jika pada kenyataannya PMII menggunakan konsep Ahlu sunnah wal jama'ah yang sama dengan yang digunakan oleh NU atau bahkan dilahirkan oleh NU berati PMII sepakat, sepemahaman dan membenarkan konsep tersebut. Tetapi lagi-lagi NU tidak boleh serta-merta mengultimatum PMII untuk masuk kembali menjadi bagian darinya hanya karena kesamaan konsep Ahlu sunnah wal jamaah yang dipraktikkan. Karena suatu kebenaran dan kebaikan berhak dimpilih oleh siapapun yang meyakininya sebagai suatu kebenaran dan kebaikan. Manusia atau organisasi manapun tidak boleh mengklaim kebenaran dan kebaikan hanya miliknya dan tidak boleh dimiliki oleh orang maupun organisasi lain.

Nah, jika persoalannya adalah pandangan liar, liberal dan sebagainya yang disteretipkan pada PMII, bagi saya ini adalah peringatan yang penting untuk direnungkan. Memang tidak menutup kemungkinan berhamburannya wacana pemikiran yang diolah oleh PMII menjadikannya penuh warna atau sebalikya men jadi coreng-moreng penuh mudlorot yang disebut noda. Perlu kita renungkan kembali motif gerakan kita. Sebab motif itulah yang akan membedakan suatu organisasi secara esensial. Beberapa organisasi bisa saja melakukan gerakan yang sama dalam menyikapi suatu persoalan yang tergelar. Tetapi apakah motif setiap organisasi itu selalu sama? Belum tentu. Maka motif menjadi titik penting dalam sebuah organisasi. Dan menurut saya, PMII punya motif spiritual-transendental yang mendasari gerakannya. Jika saat ini PMII disebut liar, liberal dan sebagainya, maka kita perlu merenungkan kembali, apakah kita masih berpegang pada motif Spiritual-Transendental? Jika ternyata selama ini kita lepas lupa pada motif itu, maka kita harus segera kembali padanya (itu jika memang kita sepemahan dan sepakat tentang motif itu).

Demikian uneg-uneg yang saya rasakan. Jika ternyata banyak tumpang tindih dan silang sengkarut yang perlu diluruskan dalam uneg-uneg di atas saya mohon maaf, dan kiranya sudilah pembaca meluruskannya agar tidak menjadi uneg-uneg yang mandeg-membelenggu. Semoga kita selalu dilindungiNya dalam lingkaran cahaya kebenaran dan kejernihanNya. Amien..

6 Juni pukul 13:08·

You Might Also Like

0 komentar