Genocide


Di sudut warung yang cukup sepi dari biasanya, hanya ada kami bertiga di ruangan ini, dua orang kawan yang begitu bergairah dengan pubg-nya dan saya yang suntuk dengan tulisan yang hampir rampung. Di sela itu, masuk sebuah notifikasi pesan WAG. Ketika saya buka, pesan itu membagikan sebuah status dari laman facebook. Isinya, bencana kemanusiaan yang menyakiti hati dan bahkan merampas sebagian kesadaran.

Di seberang sana, saudara-saudara kita di Wamena terlunta menunggu giliran untuk diterbangkan Hercules ke tempat yang lebih baik.

Di seberang sana, saudara-saudara kita meregang nyawa. Media merilis 32 korban meninggal dalam peristiwa itu. Satu korban berinisial SM adalah seorang dokter. Ia sendiri bahkan sejak awal mengambil nisiatif untuk mengabdikan diri di wilayah pedalaman sana. Tapi apa yang terjadi, ia menjadi korban.

Kabar itu seolah menguap begitu saja. Di sekeliling kita bergaung deru dan dentum aksi massa yang menuntut kebodohan DPR dengan segala upaya pembunuhannya terhadap kebenaran.

Terbersit dalam benak, “inikah yang ditutupi?” Sekian aksi yang terjadi adalah ikan kecil yang diumpankan agar si gendut dapat leluasa benang sambil minum susu?

Rasanya hampir putus asa untuk menyadari ini semua. Berapa kali kita harus memecah kepala kita sendri dengan godam untuk mengeluarkan otak dan menghancurkannya. Berkali-kali kita harus membunh diri kita dengan menyaksikan pembunuhan terhadap kebenaran dan saudara-saudara kita tanpa bisa berbuat apa-apa.

Betapa tak menyakitkan hati ketika dalam sebuah percakapan yang dilirih-lirihkan suaranya, kita mendengar bahwa upaya pembunuhan kebenaran dengan sistem terstruktur itu adalah sebuah pelajaran atas ketegasan memperkarakan satu dari sekian raksasa mafia di negeri ini?

Jika upaya itu tak dilakukan, taruhannya bukan hanya sebidang tanah kecil atau sepulau penuh emas, tetapi separuh wilayah negeri ini akan dirusak habis-habisan.

Apa yang lebih menyakitkan dari mengetahui itu semua, tetapi upaya yang kita lakukan untuk mengubahnya selalu membentur kenyataan?

Barangkali inilah Genocide terbesar kedua yang pernah terjadi selama hidup saya. Pada Genoside kedua ini, bukan hanya manusia yang dibunuh, tetapi kebenaran dan akal sehat itu sendiri yang dikorbankan.

#BersatulahBangsaku. Di atas semua kepentingan yang menjarah dan merampas, kebenaran dan kebangsaan kita harus ditegakkan. #SelamanyaBhinekaTunggalIka.

You Might Also Like

0 komentar