Melankolia

Foto : Red Wallpaper
Sore ini mendung berarak. Sejak siang langit terlihat mulai redup. Merambat pukul tiga sore ini, mendung makin gelap mendaulat.

Cahaya yang redup, sore yang kian runduk. Suasana jadi begitu tenteram dan melankolik. Sedikit sentimentil.

Aku menikmati momen-momen seperti ini. Seakan ada waktu yang lebih panjang dan dalam untuk bicara dengan diri sendiri. Berdialog tentang apa saja dengannya. Perkara-perkara yang menuntut segera diselesaikan, hal-hal yang tertunda di belakang, dan apa saja yang hendak kurengkuh di hari menjelang.

Semuanya menguar, melayang satu persatu di sekelilingku. Layaknya planet, satelit dan batu-batu angkasa yang berputar mengelilingi orbitnya. Bagai langit gelap yang ditaburi bintang-bintang. Indah bukan?

Di antara bantal, selimut, meja, laptop dan tumpukan berkas-berkas pemikiran ini suara-suara mesin yang menggerakkan kehidupan (?) terdengar seperti simponi orkresta yang anggun dan megah.

Entahlah. Ketenangan seperti ini begitu kunikmati. Momen seperti ini bagiku tak bisa dengan mudah kucipta. Aku hanya bisa menunggu dan bersiap, bila saja ia tiba-tiba hadir.

Seringkali aku hanya terjebak dalam pusaran-pusaran pikiran yang maik jauh kukejar, makin sasar aku. Makin panjang jalan yang terbentang.

Pikiran-pikiran itu bukan aku. Ia adalah ratusan pucuk senjata yang ditodongkan ke tengkorak kepalaku. Ia adalah ratusan popor senjata yang meninggalkan jejak darah dan ruam di pelipis, pipi, dan sekujur tubuhku. Ia, adalah lars yang menginjak batang kesadaranku.

Aku tak mau terperangkap olehnya. Tak mau dikendalikan olehnya. Sebaliknya, harus kugembalakan ia agar menjadi rupa yang berguna, sabda yang berdaya.

Dan, dari itu semua. Ketika coba kupeluk diriku sendiri, kurasakan ada lubang yang curam, nganga yang begitu dalam. Jauh di dalam dada itu, kekosongan mendaulat. Sepi. Senyap. Sunyi. Hingga hening menguasai sekeliling.

Kulepaskan pelukan itu, kuambil jarak dan kulihat lekat-lekat; Muka bopeng dengan dada yang berlubang menyeruak.

Segera kuambil langkah dan merengkuhnya dalam dekap yang erat. Seolah tak rela kulihat duka dan papa yang menimpanya.

"Semuanya akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja," kuulang-ulang bisikku lirih. Begitu lirih di telinganya. Bahkan mungkin telingaku sendiri tak pernah bisa mendengarnya.

Seolah-olah timbul tenggelam diempas angin yang dingin dan kering suara itu sayup-sayup kudengar di hatiku sendiri. Bukan. Bukan di hatiku sendiri, melainkan suara itu keluar dari hatiku. Dari getar urat-uratnya yang cemas.

_________________
20 Agustus 2019

You Might Also Like

0 komentar