Mikir apa? Ngomong apa?


"Soal Al-Maidah ayat 51 itu gimana, sih, Mas?" Tanya teman saya. Malam itu saya sedang berkemas untuk perjalanan pendakian yang akan saya lakukan. Saya punya agenda rutin tiap bulan untuk mendaki ke puncak gunung Arjuna.

"Kenapa?" Tanya saya singkat sambil mengemasi barang-barang.

"Ya, kan, sekarang lagi booming perkara itu, Mas. Jadi semacam polemik di PILGUB DKI." Jawab teman saya.

"Terus kamu pengen ikutan bahas perkara itu?" Saya bertanya lagi.

"Bertele-tele, Sampyan, Mas. Kalau bisa jawab, ya jawab saja. Kalau tidak, ya bilang saja. Saya tidak akan mencela Sampeyan." Tukas teman saya tak enak. Ia menggilas rokok yang masih separuh di atas asbak.

"Mad, hutangku kemarin berapa?" Tanya saya tanpa menoleh. Teman saya yang telah beranjak tiba-tiba menghentikan langkah. Ia terlihat mengerutkan dahi.

"225.000, Mas." Jawabnya pendek.

"Itu," saya memberi isyarat dengan anggukan kepala dan pandangan yang jatuh pada jaket polar saya, "Coba cari dompetku di saku jaket."

Mad berjalan mengambil jaket yang saya gantung di balik pintu kamar, kemudian duduk di hadapan saya. Ia membuka saku jaket yang tertutup resleting.

"Ketemu?" Tanya saya. Ia masih mencari. Membolak balik jaket saya.

"Selama kamu reaktif, kamu akan sulit berpikir jernih, Mad." Celetuk saya.

"Maksudnya, Mas?" Mad berheti mencari dompet saya. Lehernya mengulur menyondongkan kepalanya ke depan.

"Pulang dari warungnya Mak Lis tadi kan kamu yang memasukkan dompetku ke tas pinggangku." Jawab saya mengingatkan.

"Oiya. Jiamput!" Umpat Mad. Ia melemparkan jaket saya.

"Menafsir Al-Qur'an bukan perkara mudah. Aku bukan orang yang punya kemampuan untuk menafsir Al-Qur'an. Kalau kamu benar-benar ingin mempelajarinya, belajarlah pada guru yang memahaminya." Terang saya sambil menggulung beberapa kaos. Mad tiba-tiba jenak menyimak.

"Kamu sendiri tau, ada asbabun nuzul, sebab-sebab turunnya suatu ayat Al-Qur'an. Ia turun berdasar konteks peristiwa yang terjadi. Dalam ilmu hadits ada asbabul wurut. Keduanya tak bisa dilepaskan dari latar belakang kehadirannya.

Kenapa kamu baru mau bertanya dan mencari tau saat seperti ini? Sebelumnya apa yang kamu cari tau?

Saat seperti ini, ketika pertarungan kepentingan begitu kuat terjadi, selalu masyarakat bawah yang dipecah. Sebab, semuanya punya kepentingan untuk mendapat dukungan. Sementara satu, bahkan bisa jadi semuanya, punya kepentingan supaya saingannya ditinggalkan. Maka dalam situasi semacam ini kita rawan diadu domba. Jika sudah ada yang menghalalkan segala cara, maka masyarakat bawahlah korbannya.

Yang seharusnya kita lakukan adalah menjadi pemilih yang cerdas."

"Tapi kan tidak semua orang cerdas, Mas," Potong Mad, "Lha wong orang-orang itu tidak semuanya bisa mengikuti berita. Buat makan hari ini saja kadang masih bingung nyari di mana." Mad melanjutkan. Ia mengambil lagi puntung rokok yang telah ia gilas di atas asbak, memijat dan meluruskan rokok yang bengkok itu.

"Menjaga kejernihan pikiran dengan ketenangan itu penting, Mad. Jangan mudah apalagi gegabah menyikapi persoalan. Aku lebih melihat pada masyarakat yang sedang menyikapi persoalan. Begitulah atmosfir massa, psikologi massa, mudah dipantik dan dibakar. Kalau kamu tak mau hangus terbakar, bersikaplah wajar." Tambah saya.

"Tapi sekarang kita dihadapkan pada pilihan, Mas. Kan mendesak." Mad menyangkal.

"Tuhan menyayangi kita, Mad. Makanya ia mengingatkan pada kita untuk kembali belajar dan terus belajar. Kalau kita sudah benar-benar mempelajarinya, kita tidak akan bingung menyikapi persoalan ini." Peringat saya. Mad menunduk. Asap putih mengepul dari mulutnya.

"Aku pinjam motormu, ya?" Tanya saya.

"Lho sampeyan berangkat sekarang?" Mad bertanya.

"Iya. Ini agenda rutinku. Kamu cobalah belajar istiqomah. Tak kurang, tak lebih." Pungkas saya.




Malang,11 Oktober 2016 
Pukul 15.42 WIB

You Might Also Like

0 komentar