SAWUNGGALING ADALAH SEBUAH PENGHARGAAN

Dok. Lensa Teater
Oleh-oleh usai menikmati Pagelaran Ludruk Lerok Anyar 20/08/2016


Malam tadi, sabtu (20/08/2016), usai menandaskan secangkir kopi susu yang selalu memberikan inspirasi, kami bersepuluh segera bergerak bersama menembus jalanan kota Malang yang makin macet menuju gedung Gajayana Jl. Nusakambangan No. 19 Malang.

Gedung Gajayana digegerkan oleh sebuah peristiwa pertarungan yang terjadi antara Sawunggaling, seorang tokoh legendaris dari Surabaya melawan kekuatan besar imperialisme belanda. Kisah itu disajikan dalam pagelaran Ludruk bertajuk "Sawunggaling" oleh Ludruk Lerok Anyar.

Tiba di depan gedung kami langsung disambut pedatnya kendaraan yang sudah diparkir rapi. Di loby gedung, meja berderet yang disusun membentuk huruf L itu padat dikerumuni pengunjung untuk mengisi daftar hadir. Sebagian yang telah mengisi buku tamu segera berfoto ria di sisi kiri meja dengan backgroun banner pertunjukan. Tamu yang masuk ke tempat pertunjukan malam itu disambut senyum ramah beberapa perempuan manis dengan kebaya yang mereka pakai.

Suasana di dalam gedung pertunjukan malam itu tak kalah ramai dengan jalan kota malang yang kian padat. Ketika masuk ke ruang utama gedung pertunjukan itu, mengalun tembang-tembang menyambut kehadiran penonton.

Kursi yang tersedia benar-benar penuh. Bahkan banyak penonton yang harus menikmati pertunjukan itu di lantai dua.

Pertunjukan yang berlangsung mulai pukul 19.30 hingga pukul 22.49 itu dibuka dengan pertunjukan tari dengan judul "Keponthal-ponthal". Tarian yang dibawakan oleh sanggar Patmakartayasa mengingatkan penonton akan pentingnya sikap tidak silau terhadap kegahan dan kemewahan hidup. Agar menyikapi hidup dengan titi-tumoto. Segala yang dilaksanakan dalam hidup harus ditata dengan baik.

Usai tari yang dibawakan beberapa anak muda tersebut, giliran Ibu Ida Ayu Wahyuni, kepala DISBUDPAR Malang untuk memberi sekpur sirih. Dalam sambutannya tersebut beliau menutup dengan kalimat, "Seni tradisi tdk boleh mati di bumi nusantara ini." Segera tepuk tangan dari semua yang hadir bergemuruh malam itu.

Aacara terus berlanjut. Pada sesi ini, panitia mengundang Mas Didik Nini Thowok yang malam itu didapuk sebagai bintang tamu untuk naik ke atas panggung. Panitia penyelenggara memberikan kenang-kenangan berupa Batik Tulis Bre Tumapel.

Dalam bincang singkat usai pertunjukan, Cak Marsam menyampaikan bahwa ketika ia bertemu dengan Mas Didik beberapa waktu yang lalu, Mas Didik menyampaikan keinginannya untuk suatu saat bisa bermain bersama dengan teman-teman seniman Ludruk Malang.

Maka ketika Pak Yongki berinisiatif menghubunginya untuk ikut terlibat dalam pertunjukan ludruk malam tadi, Mas Didik menyambut dengan hangat tawaran tersebut.

Bahkan dalam kesempatan malam itu, Mas Didik tak hanya bermain dan menerima penghargaan dari panitia penyelenggara. Lebih dari itu, Mas Didik bahkan ternyata membawa sebuah bingkisan. Ia memanggil seorang perempuan yang kemudian naik ke atas panggung.

Di atas panggung, Mas Didik memperkenalkan sosok perempuan yang tengah ia hadapi. Perempuan itu adalah putri Mbah Kadam. Sosok maestro seniman Malang yang telah lima belas kali melakukan pementasan di istana kepresidenan. Beliau adalah salah satu seniman yang begitu dicintai Bung Besar, Soekarno.

Mas Didik memberikan kenang-kenangan berupa foto Mbah Kadam sebagai bentuk terimakasih dan penghargaannya pada sang maestro.

Malam itu Mas Didik dan Ludruk Lerok Anyar mengingatkan kita akan sebuah penghargaan pada mereka yang begitu tulus dan berdedikasi dalam dunia kesenian. Penghargaan yang tidak akan bisa menggantikan nilai perjuangan mereka, seniman-seniman yang tulus dan gigih berkarya. Setidaknya penghargaan kecil tersebut dapat mengobati dan mewakili rasa syukur atas perjuangan para seniman-seniman sepuh itu.

Maka tak terlalu berlebihan ketika terbersit kalimat, "Sawunggaling adalah sebuah penghargaan". Setidaknya, pernyataan seperti itulah yang bisa kita tarik dari pagelaran Ludruk semalam. Juga dari tuturan Cak Marsam Hidayat, sutradara di balik pagelaran Ludruk yang dipentaskan oleh Ludruk Lerok Anyar.

Usai pagelaran berlangsung, Cak Marsam menyampaikan bahwa pagelaran tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan seniman dan budayawan Malang saat idul fitri bulan lalu.

Dalam pertemuan yang dikoordinir Pak Yongki Irawan tersebut mereka memberikan bingkisan kepada seniman-seniman sepuh.

"Setelah melihat Mak Yar tadi, yang jadi mbahnya Sawonggaling itu, ternyata tertarik, tergugah. Lho nek ngono, seperti Mak Yar ini perlu ditampilkan, supaya dilihat anak-anak muda sekarang. Buktine jek enak ngene. Akhirnya punya ide wes yang penting ayo ludrukan. Tujuannya cuma kepingin apa, Mak Yar tadi lo, ini bisa ditampilkan. Cuma itu idenya." Tuturnya menjelaskan.

Memang dalam pertunjukan yang berlangsung hingga pukul sebelas malam itu Mak Yar terlihat begitu energik. Di balik tubuhnya yang sudah sepuh itu, staminanya masih terjaga dengan baik hingga pertunjukan usai.

Lewat tokoh yang diperankan oleh Mak Yar pula, Cak Marsam mencoba menyampaikan berbagai kritik sosial dari masyarakat kecil yang serba kekurangan dalam adegan rumah tangga keluarga Sawunggaling.

Persoalan yang seolah terasa sepele; uang belanja! Siapa yang tak berurusan dengan uang belanja? Ternyata dari hal yang terlihat sepele itu, berpengaruh besar terhadap perjalanan satu hari sebuah keluarga.

Berangkat dari uang belanja itu, perbincanga bisa berlanjut menyasar berbagai persoalan; keramaian pasar, ketersediaan barang, kenaikan harga, hingga kehidupan perekonomian rumah tangga yang tak kunjung meningkat taraf hidupnya.

Dan tetap dengan gaya jenaka, Mak Yar mengocok perut dan kepalan para penonton yang hadir. Kritikan yang dilontarkan disampaikan dengan jenaka, alhasil tak membuat penonton yang hadir sepaneng. Justru mereka dapat mentertawakan kekonyolan-kekonyolan yang tumpang tindih dengan ketimpangan-ketimpangan realitas.

Begitulah kehidupan masyarakat bawah, sesusah apapun mereka harus dapat mentertawakannya sebagai sebuah ironi yang mau tak mau harus dilakoni. Syukur-syukur kalau bisa dilampaui.

Lewat adegan semacam itulah Cak Marsam mencoba membawa aktualitas Ludruk ke atas panggung. Ia mencoba mendekatkan kembali ludruk sebagai media hiburan juga pendidikan ke tengah-tengah masyarakat.

Namun sayang, pagelaran yang berkembang dari rencana semula yang hanya lima belas menit menjadi satu jam penuh tersebut tersasa kecolongan pada beberapa sisi.

Sebut saja bloking pemain yang berulang kali terjadi miss di atas panggung. Proses penggarapan yang tidak terlampau panjang karena memang bagi Cak Marsam pertunjukan itu mementaskan ulang pertunjukan yang pernah ia gelar di Taman Krida Budaya pada 2013 silam nyatanya tak mampu tergarap dengan dtail.

Cak Marsam juga mengeluhkan joki-joki cerdas dalam latihan yang justru menjadi nilai tawar pertunjukan malam itu terlewat dan tak tersampaikan kepada penonton.

Keterbatasan teknik lainnya adalah penggunaan sarana pencahayaan. Dalam pertunjukan itu hanya tiga lampu yang terus menyala di atas panggung untuk memberikan pencahayaan pada properti yang terpasang. Satu lampu Par LED terpasang pada tripot di sebelah kiri panggung. Lampu itu juga kelihatanya belum memakai teknologi khusus yang biasa dipakai dalam pertunjukan teater yang bisa mengatur tinggi rendah pergantian intensitas cahaya. Alhasil, cahaya yang berganti dari satu warna ke warna lain seringkali terasa kasar.

Keterbatasan yang menyertai pertunjukan itu tidak hanya berhenti pada teknis pertunjukan. Bahkan pada sisi menejerial pun penyelenggara menghadapi kendala yang tak main-main; dana!

Ketika MC menyambut penonton dengan cerita singkat tentang pertunjukan yang akan di gelar, ia sempat menyampaikan bahwa sampai detik itu ketika pertunjukan akan dimulai, dana yang terkumpul hanya sejumlah 7 juta rupiah. Sedang total pengeluaran yang harus dibayar oleh penyelenggara sebesar 12 juta rupiah.

Kemudian dengan baik hati, Mas Didik mencoba membantu pendanaan dengan melelang sampur merahnya yang telah ia tanda tangani.

Sebelum pertunjukan dimulai pun akhirnya terjadi proses lelang. Di buka dengan harga satu juta rupiah. Penawaran terus naik menjadi 2 juta di tangan Ibu Ananda. Mas Tejo dari Jaringan Kemanusiaan menawar 3 juta. Penawaran ditutup pada angka 5 juta rupiah di tangan Gus Anton.

Selain memasukkan unsur-unsur kritik sosial dalam pentasnya, Cak Marsam juga kerap menggandeng pemain-pemain muda sebagai bintang tamu untuk menarik minat kalangan muda.

"Tapi tidak menutup kemungkinan karena Lerok Anyar juga kepingin menarik simpati anak-anak muda, yang tampil itu selalu saya kasih, sering anak-anak mahasiswa UM itu sering saya jadikan peran utama. Jadi prinsipnya gini, kalau seng jadi lakon itu nek wedok kudu ayu, nek lang kudu nggantheng." Pungkasnya dalam obralan singkat bersama beberapa wartawan usai pertunjukan berlangsung.

*) Dipublikasikan pertama kali di lensateater.blogspot.com

You Might Also Like

0 komentar