Darul Mustaghitsin, Asy-Syafi'iyah, Mbak Avifah Ve dan Mbah Hazim Amir

Kang Wafi memberikan buku kumpulan puisi "Sajak-sajak Kelabu" karya Mbah Hazim Amir
Akhir Ramadlan kemarin, ketika silaturahmi ke Pesantren Darul Mustaghitsin Lamongan saya bertemu Mas Syaifullah--kami lebih akrab memanggilnya Ustadz Cipung. Kurang lebih sejak tahun 2003 atau 2004 Mas Cipung tinggal di pesantren.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul, Mas Cipung bertanya, "Eh, San, sampeyan duwe chanel seng iso dijaluki sumbangan buku ta?"

"Damel nopo, Mas?" Saya balik bertanya.

"Iku lo, ben arek-arek gak kuper, ben moco," jawabnya singkat. Ternyata Mas Cipung bermaksud untuk mengisi perbendaharaan kepustakaan pesantren.

"Kalau gitu diagendakan saja, Mas. Saya usahakan menghubungi beberapa teman."

Pulang dari pesantren saya coba menelusuri beberapa nomer telepon teman-teman saya. Beberapa sudah saya tandai sebagai TO (target operasi). Kemudian saya perhitungkan, sekiranya apa yang bisa saya lakukan untuk bisa membantu. Duh, kalau diingat-ingat, bahkan saya belum mendarmakan bakti untuk pesantren yang sudah memberikan banyak hal pada diri saya.

Hari kedua Syawal kemarin saya bersama kakak dan keluarga kecil bahagianya sowan ke pesantren Asy-Syafi'iyah, Babat. Kami bertemu dengan Mas A'ab--duh, Mas A'ab yang dulu masih esde sekarang sudah gede dan makin aduhai-- dan Pak Rosyad, ayah mas A'ab, menantu Mbah Yai Kurkhi Fadlil yang kini melanjutkan perjuangan beliau mengasuh santri-santri sungguh-sungguh bijak. Dalam cengkerama siang itu suasana menjadi begitu sejuk dengan tuturan-tuturan dari beliau. Kalimat-kalimat yang disampaikan begitu halus. Apalagi dengan kehalusan yang mak nyes itu, strategi dakwah dan pengembangan pesantren maupun MWC NU Babat yang kini beliau gawangi justru berhasil dilakukan.

Saya tidak banyak bicara, kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang beliau tujukan kepada saya. Kakak yang asyik ngobrol, mengurai benang yang pernah dirajut bersama. Saya terkesima dengan strategi dan kelincahan gerakan yang mereka lakukan. Sampai pada pertanyaan beliau yang mak klek, "Lha, isek nules-nules?" Tanya beliau dengan dialek khas babat.

"Tasek belajar-belajar," jawab saya terbata.

"Yoo kene ki dikirimi karya-karyane, deleh neng perpus." Lanjut beliau.

Mak plak! Rasanya seperti dihantam bongkahan es. Dingin sih, tapi sakit juga.

"Njeh, insyaallah." Jawab saya dalam do'a.

Jadilah saya celingukan. Karya apa yang akan saya selipkan disana, sedang menulis pun saya masih belajar. Apalagi, tulisan saya hanya berisi sambatan kalau tidak guyonan.

Ah, tapi bukan itu, minimal saya harus belajar melakukan sesuatu untuk almamater saya. Meski kecil dan barangkali belum membahagiakan, setidaknya saya tidak menolak atau mengabaikan.

Sampai di rumah saya hubungi beberapa teman untuk ikut serta membantu pengadaan kepustakaan di pesantren itu. Ketika sampai di Malang, saya coba menghubungi penerbit Diva Press, saya coba menyampaikan maksud berkaitan dengan pengadaan kepustakaan pesantren. Alhamdulillah penerbit Diva Press lewat Mbak Avifah Ve menyambut baik dan mendonasikan buku. Semoga saling membawa manfaat.

Syawal belum berakhir, suasana lebaran dengan silaturahmi bermaaf-maafan masih terus dilakukan. Minggu kemarin saya janjian dengan Najib untuk silaturahmi ke rumah Bang Ber, guru yang sampai hari ini masih setia dengan laku among. Rasanya sulit untuk diceritakan. Sebab hikmah yang lahir tidak habis mengalir.

Sambil menunggu kedatangan Najib untuk berangkat bersama, Wafi, sahabat saya mengirim pesan singkat lewat WA, "Kang posisi dimana?"

"Di Tridi Kang. Mau silaturahmi ke Bang Ber." Jawab saya. Sahabat-sahabat biasa menyebut kontrakan saya dengan nama Tridi karena letaknya di blok 3D.

"Milu." Jawabya singkat. Tak lama kemudian Wafi datang. Setelah gobrol beberapa saat sambil menunggu kedatangan Najib, Wafi mebuka tas kecilnya.

"Opo, Kang?" Tanya saya.

"Buku, pesenan sampeyan." Jawabnya. 

Wafi mengeluarkan buku Sajak-Sajak Kelabu, kumpulan puisi Mbah Hazim Amir, sesepuh dan pendahulu teater di Malang yang melahirkan generasi teater-teater di Malang. Saya mengenal beliau lewat cerita-cerita yang disampaikan para guru. Baik cerita proses berkesenian beliau, maupun kehidupan spiritualitas beliau.

"Wah, jos! Matur suwun sanget, Kang."

Beberapa waktu sebelumnya saya bercerita tentang upaya kepustakaan pesantren di Lamongan. Kemudian dengan baik hati, atas nama Teater Tumbuh Wafi memberikan buku itu untuk didonasikan ke kepustakaan pesantren.

Terimakasih banyak sahabat-sahabat yang sedia membantu. Semoga membawa manfaat. Sahabat-sahabat yang berkenan juga masih terbuka pintu untuk turut membantu, semoga diberikan kekuatan.


PadePyokan Amalatok
24 juli 2016

You Might Also Like

0 komentar