Perjalanan Pulang


15/01/2016 #Kamar Tercinta

Alhamdulillah, setelah beberapa jam perjalanan dari Malang menuju Lamongan, sore kemarin (14/0116) kami sampai di Lamongan.Memasuki kabupaten Lamongan dari arah Gersik kami serombongan, Bang Ber, Mbah Rohim, Ilham dan Ulil, disambut gapura selamat datang. Melewati kecamatan Deket, aku tunjukkan pada rombongan makam Mbah Hisyamudin bin Raden Rahmad (Sunan Ampel), saudara Sunan Drajat yang beda ibu. Makamnya terletak di kecamatan Deket. Kalau dari arah timur (Gresik) makamnya terletak di sebelah kiri jalan sebelum pertigaan lampu merah. Dipayungi pepohonan besar di sekelilingnya menjadikan suasana pemakaman itu begitu rindang.
Dulu ketika masih tinggal dan belajar di Pondok Pesantren Darul Mustaghitsin, kami berangkat ziarah dan tawasul ke makam beliau dengan berjalan kaki. Kurang lebih pukul 12 tengah malam kami berangkat. Usai bertawasul kami berjalan kaki lagi untuk pulang ke pondok. Di tengah perjalanan kami mampir ke sebuah warung untuk makan sahur.
Pesantren Darul Mustaghitsin memang belum lama berdiri. Kurang lebih sekitar tahun 1998an-2000an. Yai Ud, panggilan akrab Kyai kami, KH. Mas'ud Al-Mudjnar, memilih tempat yang dulunya wingit, seram dan hampir jarang dijamah orang karena kondisinya yang wingit. Tempat itu dulu kerap dijadikan tempat untuk pembuangan mahluk-mahluk halus. Tapi oleh Yai Ud, tempat itu digunakan untuk ngaji, dan jamaah istighotsah. Beliau mendapat sanad istighotsah tersebut dari guru beliau, Mbah Yai Ustman Al-Ishaqi, Sawah Pulo Surabaya. Mbah Yai Ustman Al-Ishaqi adalah mursyid thoriqoh Qodiriyah wa naqsabandiyah. Beliau adalah ayahanda KH. Ahmad Asrori, Kedidinding Lor Surabaya.
Yai Ud sengaja memili tempat tersebut sebab di tempat itulah sedianya mbah Hisyamudin hendak mendirikan pesantren. Namun Allah berkehendak lain. Sebelum cita-cita beliau terkabul, Allah SWT telah memanggil Mbah Hisyamudin keharibaannya. Dengan maksud melanjutkan perjuangan Mbah Hisyamudin, maka Yai Ud kemudian mendirikan jamaah istighotsah di tempat itu.
Awal mula pendiriannya, jamaah yang ikut terbatas dari kalangan keluarga dan orang-orang dekat. Lambat laun, jamaah berkembang dan dibuka secara umum untuk siapa saja yang hendak ikut. Seiring dengan perkembangan itu, Yai Ud perlahan membangun Masjid An-Nur sebagai pusat kegiatan. Kemudian berlanjut pada pembangunan asrama santri.
Pada peringatan ulang tahun pesantren yang ke-17 beberapa waktu lalu, dalam mauidlohnya usai pembacaan manaqib, Yai Ud yang baru saja bertemu dengan Mbah Hisyamudin menyampaikan salam ucapan terimakasih dari beliaukepada warga sekitar dan jamaah yang hadir dan meramaikan pesantren Darul Mustaghitsin.
Setelah melewati makam Mbah Hisyamudin, perjalanan kami berlanjut ke barat. Sampai di daerah Lamongan Indah, orang-orang biasa menyebutnya Ndapur LI, di atas trotoar di sebelah kiri jalan raya berjejer ibu-ibu penjual Nasi Boran. Sambil menunjuk salah satu, aku sampaikan bahwa Nasi Boran adalah salah satu makanan khas Lamongan.
Mengetahui itu, Bang Ber serta merta begitu tertarik untuk mengajak kami mencicipi Nasi Boran yang beberapa kali sempat aku ceritakan pada beliau. Dan barangkali akan lebih tepat jika Nasi Boranlah yang menjadi icon kuliner lamongan. Sebab, selain Nasi Boran; soto ayam lamongan, pecel lele, dan tahu campur sudah bisa kita jumpai dibanyak kota lain. Tapi jika ingin mencicipi Nasi Boran, maka tidak ada tempat atau kota lain yang menyediakannya kecuali Lamongan. Hanya di lamongan kita dapat menjumpainya.
Usai mencicipi kuliner khas lamongan tersebut, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke kampung halamanku. Sebelum berangkat Bang Ber bermaksud untuk membeli Rokok karena stok rokok beliau hampir habis. Selain itu juga untuk persediaan ongkos parkir mobil. Beliau melihat toko di seberang jalan dan mengajakku untuk mampir sebentar. Tapi segera aku cegah beliau ke toko itu dan aku sarankan untuk beli rokok di warung di belakang kami. Dari tempat kami berdiri warung itu memang tidak terlihat, sebab letaknya berada di sisi barat (kanan) tempat kami berdiri. Terhalang jalan dan petak warung makan. Dari pada menyebrang jalan raya yang begitu ramai, lebih baik ke warung itu saja, saranku.
Akhirnya kami melangkahkan kaki menuju warung yang aku maksud. Tak berapa jauh dari warung tersebut, ada sebuah suara yang berteriak menyapa kami. Setelah semakin dekat, akhirnya dapat aku lihat wajah yang berurai senyum ceria itu adalah tiga sahabat dari Malang. Salah satunya Ahmad Takhfif. Sahabat rayon Ibnu Aqil yang juga aktif di Teater Sebelas (telas).
Kami bertemu dan berkenalan pertama kalinya di Malang. Kemudian setelah kami tinggal satu rumah kontrakan di Jl. Joyosuko Metro No. 41. Rumah kontrakan itu dijadikan base camp Hamam Konsulat Malang. Hamam adalah sebuar organisasi Himpunan Alumni Mambaus Sholihin. Sebuah pesantren besar di Suci, Manyar, Gresik, Jawa Timur. Tahun pertama sebagai mahasiswa baru aku menunpang tinggal di sana. Dan kebetulan tahun itu adalah tahun pertama adanya base camp Hamam konsulat malang.
Sebelum menumpang tinggal di base camp Hamam tersebut, aku menumpang tinggal di sekretariat rayon Ibnu Aqil. Kebetulan saudara sepupuku adalah anggota rayon Ibnu Aqil, namanya Muhammad Mas'ud. Dia juga sekaligus alumni Mamba'us Sholihin. Selama PKPT (OSPEK) tahun 2009, aku tinggal di rayon ibnu aqil. Baru kemudian pindah ke base camp Hamam.
[ #Bersambung. Aku ziarah dulu ke pesarean e embah ba'da shalat Ashar. Setelah itu kita lanjutkan catatan perjalanannya :D ]

You Might Also Like

0 komentar