KOPI DAN ROKOK

 


Setelah seharian tak menyeruput kopi, akhirnya saya bisa menikmatinya malam ini, menjang lelap. Ia mengantar saya ke peraduan. Begitulah. Seringkali ketika hendak tidur saya justru mencari kopi untuk mengantar lelap saya. Utamanya kalau memang saya sudah merasa sangat lelah. Lelah yang menyenangkan. Misalnya setelah latihan-latihan teater yang menguras banyak energi baik fisik maupun non fisik. Atau setelah menjalani aktifitas yang begitu padat. Juga seperti sekarang ini, setelah usai bekerja dan tubuh rasanya amat sangat perlu untuk beristirahat. Pada saat-saat seperti itulah keinginan saya untuk ditemani segelas kopi menjadi semakin kuat.


Kadang kala, ketika sudah amat sangat lelah, saya bahkan tak sempat mencecap kopi yang ada di samping saya. Dan konyolnya, pada saat seperti itu bahkan saya tetap mencari kopi. Meski saya tahu, besar kemungkinan saya tak akan sampai mencecap rasanya. Hanya dengan ia temani saja, rasanya sudah melegakan dan tidur saya terasa lelap. Seperti tak ada lagi yang ganjalan atau keinginan yang harus dipenuhi. Dengan begitu saya bisa beristirahat dengan tenang.


Ya, menikmati segelas kopi dan sebatang rokok menjelang tidur menjadi salah satu kebiasaan saya. Entah sejak kapan kebiasaan itu mulai terjadi tak bisa saya ingat pasti. Yang bisa saya ingat, kadang saking lelahnya juga, saya tertidur dengan rokok yang masih membara disela-sela jari saya. Beberapa kali rokok itu jatuh dan melubangi pakaian saya. Tak jarang teman-teman saya melihat pakaian saya berlubang, bukan karena percik bara rokok, tetapi karena rokok itu sendiri yang jatuh, menempel dan melubangi pakaian saya. Membentuk lubang yang menganga sebesar puntung rokok bahkan lebih.


Tentang kebiasaan ngopi, sejauh yang bisa saya ingat itu sudah saya lakukan sejak saya kecil. Bahkan sebelum saya mengenal bangku sekolah, saya terlebih dahulu mengenal bangku warung kopi. Keluarga saya memang keluarga penikmat kopi. Ya, kopi-kopi ala keluarga di kampung. Bukan kopi-kopi nusantara seperti yang disajikan di café-café saat kamu ngadate sama gebetan.


Semua anggota keluarga saya adalah penikmat kopi. Mulai dari almarhum kakek saya, semoga beliau bahagia di alam sana. Nenek, bapak dan ibu saya. Semua penikmat kopi. Setidaknya mereka minum kopi tiga kali sehari. Pagi hari setelah sarapan dan sebelum mulai bekerja di sawah. Siang hari usai pulang dari sawah dan makan siang. Terakhir malam hari usai makan malam. Kerap mereka bilang, “Pusing (sakit kepala) kalau seharian tak minum kopi sekali pun.”


Selain itu, bagi mereka dan juga saya, minum kopi bisa membuat badan lebih segar dan bergairah untuk melakukan aktifitas. Tak malas atau lesu. Beberapa tahun kemudian ketika saya baca majalah yang diterbitkan santri-santri Langitan, Kakilangit namanya kalau tak salah, menurut artikel di majalah itu mengkonsumsi kopi sebelum beraktifitas ternyata baik untuk para penikmat kopi karena bisa memacu adrenalin. Sebaliknya hal itu tak disarankan bagi orang yang bukan penikmat kopi. Karena justru bisa membuatnya drop. Nderodok, mungkin.


Bahkan, seingat saya, ketika duduk di bangku setingkat sekolah dasar kami membawa bekal minuman dalam botol. Ada yang berbentuk robot atau telepon genggam yang besar. Biasanya teman laki-laki yang memakai botol ini. Sedang teman perempuan mereka membawa botol yang berbentuk boneka. Isi botol mereka rata-rata teh hangat, air gula, atau sekedar air putih. Tetapi, botol saya terisi kopi.


Saat kecil, usai shalat subuh seringkali saya ikut bapak ke warung kopi. Di sana sudah berderet bapak-bapak dan kakek-kakek yang menikmati kopi sebelum berkatifitas. Selain membagi kopinya untuk saya nikmati, bapak juga memberikan gorengan, roti atau jajanan dan kudapan yang disediakan. Subhanallah bapak, I love you. Sehat dan bahagia selalu ya, Pak.


Karena kebiasaan itulah, keluarga saya mengkhawatirkan saya ketika pertama kali mondok. Setamat saya di bangku sekolah dasar saya melanjutkan sekolah di lain kecamatan. Sekolah yang terbilang cukup favorit saat itu. Namanya Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Babat. Salah satu sekolah percontohan di jawa timur kalau tak salah. Dan selama saya studi di sekolah itu saya tinggal di Pondok Pesantren Asy-Syafiiyah Babat. Tepatnya di jalan Kartin nomer 93, Babat. Tak jauh dari kantor kelurahan dan pasar Babat.


Apa yang dikhawatirkan oleh keluarga saya adalah, bagaimana dengan kebiasaan saya ngopi? Sampai-sampai, ketika awal kali tinggal di pondok itu, orang tua saya membekali saya dengan termos kecil untuk menyimpan kopi. Subhanallah. Ada lucunya. Ada harunya. Lucunya kenapa harus dikhawatirkan?  Dan lagi, mondok kok bekalnya termos kopi? Konyol juga kan. Tetapi yang bikin saya terharu ketika mengingatnya adalah betapa orangtua kita begitu menyayangi kita. Bahkan kadang sampai kita gagal paham atau salah memahami bentuk kasih sayang dan perhatian mereka.


Semoga mereka berlimpah anugerah dari yang maha kuasa. Selalu dijaga dalam lindungannya dan diberikan kebahagiaan yang tiada habis-habis. Apalagi yang bisa kita lakukan untuk mereka selain hanya ingin membuat mereka bahagia. Semoga tuhan mengabulkan. Ah sudah, ini akan terlalu sentimentil. Mengingat mereka selalu membuat saya ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan menghambur dalam pelukan mereka. Fyuh!


Pada titik ini, ketika menulis catatan ini, saya baru sadar bahwa kopi bagi saya bukan hanya tentang mengecap rasanya, tradisi atau apalah. Tapi lebih dari itu, ternyata kopi memiliki pertautan yang begitu intim bagi saya, yaitu tentang kasih sayang yang dialirkan oleh orang tua saya dan saya cecap dalam gelas-gelas kopi yang hangat. Sehangat kasih sayang mereka yang terus memberikan perlindungan, semangat, cinta dan kasih sayang untuk saya. Ya, ini adalah kesadaran baru yang saya peroleh ketika menuliskan catatan ini malam ini.


Rasanya cukup dulu malam ini. Soal pengalaman lain dengan kopi saya tuliskan lagi nanti. Sepertinya saya harus beristirahat. Malam ini saya ditemani sebungkus Dji Sam Soe, segelas kopi dan semesta kerinduan pada keluarga saya.

You Might Also Like

0 komentar