Kang Cilok

https://food.detik.com/info-kuliner/d-4793686/laris-penjual-cilok-cantik-ini-habiskan-30-kilogram-tepung-setiap-hari


Beberapa minggu terakhir saya sering beli cilok di daerah comboran. Tepatnya depan pintu masuk pasar yang berada di belakang kios loakan onderdil motor. Biasanya saya beli seporsi lima ribu rupiah. Ketika Kang Ciloknya menawarkan saus, saya hanya menjawabnya, "Pedas, ya, Mas."

Sejak kecil saya memang lebih menyukai makanan yang pedas. Sampai-sampai tetangga saya selalu memperingatkan agar tak mengambil sambal terlalu banyak ketika beli bakso yang selalu lewat di depan rumah kami. Selain itu, sejak saya kecil hingga saya duduk di bangku SMA, saya kerap kali masuk rumah sakit. Kadang hanya periksa dan rawat jalan di rumah. Tapi tak jarang pula harus opname di rumah sakit. Bahkan seingat saya, dulu sekira tiga bulan sekali saya selalu rutin ke rumah sakit. Ya, karena saya sakit. Saya punya riwayat typus dalam diri saya. Semua itu karena paduan yang lengkap antara suka makanan pedas, kopi, dan pola makan yang tidak teratur. Saya sulit sekali untuk makan saat itu.

Tapi semuanya berubah ketika saya mulai kuliah dan tinggal di Malang. Terakhir kali saya sakit perut sampai harus meninggalkan aktivitas yang sedang berlangsung dan beristirahat selama tiga hari. Makan kadang bubur, kadang hanya lontong tanpa lauk. Setelah itu, sampai sekarang sepanjang ingatan saya, hampir saya tak pernah mengalami sakit perut hingga vonis dokter yang menyatakan saya sakit typus. Paling banter Cuma mules dan mencret satu dua hari. Setelah itu, selesai sudah derita yang (terasa) lama.

Anehnya, setidaknya bagi saya, sejak saya tinggal di Malang saya justru lebih tidak teratur lagi soal makan. Kadang sehari sekali, kadang dua kali. Dan seringkali ketika makan saya lebih memilih menu makanan yang pedas. Ngopi juga masih istiqamah. Bahkan bisa sampai sehari pindah tiga warung kopi. Tapi saya justru tak mengalami sakit seperti saat saya kecil dulu. Sampai di sini kadang saya berpikir memang tubuh tak boleh terlalu dimanja. Makin ia dilatih, makin ia kuat. Saya selalu menyukuri hal ini dan terus berdoa agar tubuh saya baik-baik saja. Kamu harus kuat, ya. Masih banyak cobaan yang harus kita lewati bersama.

Maka, ketika menikmati cilok, saya juga minta sambal yang banyak. Tapi untuk Kang Cilok yang satu ini kadang saya merasa agak kesal. Ketika tiba waktu saya untuk menikmati sebungkus cilok sambil menghadapi laptop kesayangan saya ini, ternyata sambalnya kurang pedas. Di situ kadang saya merasa gusar. Huft!

Pengalaman saya beli cilok di Kang Cilok yang satu ini juga bikin saya terhenyak. Suatu minggu siang, ketika tiba-tiba saya mendengar bisikan-bisikan dalam diri saya yang tiap detik makin kuat, Cilok, cilok, cilok. Cilok pedas pasti enak! saya tak bisa menyangkal begitu saja. Bukankah tidak ada manusia yang mampu membohongi dirinya sendiri? Saya bergegas tancap gas. Dan di depan pintu masuk pasar itulah saya melihat cilok bertumpuk-tumpuk yang telah menunggu mulut saya melumatnya. Saya pesan seporsi cilok pedas. Selesai membungkusnya, dengan sedikit ragu Kang Cilok itu hendak menyerahkan bersama satu pertanyaan, "Pake kresek?"

Tepat pada saat itu saya terhenyak.

"Ha? Iya, Mas," jawab saya tak kalah gagap. Batin saya berkecamuk. "Orang ini niat jualan gak sih? Masa pake nanya pake kresek atau enggak? Trus saya bawanya gimana, Bambaaang?"

Dalam perjalanan pulang setelah beli sebungkus cilok itu pikiran saya masih berkejaran. Soal kresek dan plastik yang seharusnya kita batasi penggunaannya. Di lingkungan tempat kita tinggal, penggunaan kantong plastik begitu massif. Apapun yang belanjaannya, bungkusnya kantong plastik atau kresek. begitu banyak kantong plastik berkeliaran di sekitar kita dan setelah sampai rumah, kantong plastik itu tak lama kemudian bersarang di tempat sampah. Dibawa tukang kebersihan lingkungan ke tempat pembuangan akhir dan bertemu dengan kantong plastik dan sampah plastik lain yang bertumpuk, menggunung.

Sebagian besar dari kita memang telah menerima informasi tentang bahaya sampah plastik. Banyak bahaya dan kerusakan yang bisa ditimbulkan dari sampah plastik yang tak terkendali. Tapi seberapa besar andil kita dalam kesadaran dan pengendalian jumlah sampah plastik yang kita hasilkan?

Pada titik itulah saya kembali terhenyak. Sialan, sekali beli cilok di Kang Cilok yang itu saya terhenyak dua kali. Samapi di rumah, saya putuskan untuk tak lagi minta kantong plastik kalau saya beli cilok. Sebungkus cilok seharga lima ribu rupiah masih muat dalam tas kecil saya.


__ Sorry ya gaes, tadi pas nyari gambar buat ilustrasi malah nemu foto si dedek. Bikin gagal fokus. 😅

You Might Also Like

0 komentar