Game of Thrones

Saya bersyukur, meski terlambat, akhirnya menonton serial ini. Mungkin baru tiga minggu ini saya menontonnya secara marathon dari season satu sampai season empat. Ketika pada episode kesepuluh di season empat itu saya baru sadar, ternyata episode ini bukan episode terakhir.

Ketika bertemu beberapa teman, saya bertanya, Ini sampai season berapa?” ternyata serial yang saya tonton baru separuh season. Sempat saya mengumpat dalam hati, Bangsaad! Ternyata baru separuh season! Lantas saya menyadari, bahwa akan ada season-season berikutnya dari serial yang mengesankan ini untuk menemani hari-hari saya.

Sebenarnya serial itu sudah lama saya tahu, tapi sa tak begitu memperhatikan. Sekedar tahu. Beberapa kali ketika saya merasa butuh hiburan, saya memutarnya. Tapi ternyata saya tak bisa menontonnya dengan jenak.

Entahlah. Untuk beberapa waktu yang lama saya seperti kehilangan fokus untuk menonton film. Minat dan gairah memang ada. Tetapi daya tonton saya jongkok, anjlog! Sempat saya merasa kesal dengan apa yang saya alami. Tak jarang ketika mencoba nonton film, baru beberapa menit awal perhatian saya sudah teralihkan pada hal-hal lain. Lalu saya putuskan untuk menyudahi film-film yang gagal mendapat perhatian saya.

Padahal menonton film menjadi salah satu hiburan bagi saya. Ya, hanya sebatas hiburan. Karena nyatanya saya tak punya jadwal rutin untuk menonton, tak punya film, sutradara, atau aktor dan aktris favorit yang harus saya bela mati-matian seperti ketika saya menghadapi begal yang siap merampas harta dan nyawa saya.

Sejak kecil saya memang suka menonton film. Ayolah, anak kecil mana yang tidak suka nonton film? Ini bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Sejak usia sekolah dasar saya kerap memperhatikan ulasan-ulasan tentang film terbaru yang seringkali menutup prorgam berita di televise. Seingat saya, dulu saya juga suka melototin Cinema-Cinema, program review film yang disiarkan stasiun tv swasta era tahun 90-an.

Saat usia SMP saya jauh dari televisi karena harus tinggal di asrama. Saat itulah itu saya mulai berkenalan dengan koran yang disediakan warung kopi langganan saya. Saya kerap membaca berita dan ulasan film dan dunia entertaint.

Koran itu punya hari tertentu untuk rubrik tertentu pula. Misalkan minggu untuk rubrik budaya yang menyajikan cerpen, puisi, dan esai budaya. Di lain hari ada rubrik buku yang menyajikan resensi dan informasi-informasi berkaitan dengan dunia perbukuan. Di lain hari lagi ada rubrik yang mengulas dunia entertain seperti film dan selebritasnya. Ada juga hari dan rubrik khusus mengulas game kalau tak salah.

Sampai pada satu titik, entah apa yang terjadi pada diri saya, hingga tak bisa menonton dengan jenak seperti beberapa waktu terakhir yang saya alami. Itu terjadi cukup lama. Mungkin hampir setengah tahun. Batin saya meronta. Aku pengen, "nontooon!” Tapi saat menghadapi film yang sedang saya putar, saya justru tak bisa menikmatinya. Sunggh siskaee siksaan skalee! Bayangkan kamu sedang sakit dan harus minum obat yang biasa kamu konsumsi untuk mengobatinya. Tapi justru penyakitmu makin parah. Bukankah itu bencana?!

Maka saya sangat bersyukur ketika beberapa minggu lalu tiba-tiba saya tak sadarkan diri dan terhipnotis oleh serial yang sedang saya tonton, Game of Thrones! Saya juga tidak tahu—mungkin lebih tepatnya tidak sadar—bagaimana itu bisa terjadi. Tapi saya sangat bersyukur akhirnya saya bisa menikmati serial yang saya tonton. Bahkan saya menontonnya secara marathon tiap pulang kerja atau tiap selesai kuliah daring yang cukup membosankan.

Mulanya saya hanya merasa hanyut begitu saja dalam serial itu. Apalagi di scene-scene awal saya sudah disuguhi dengan adegan ranjang yang tentu saja bikin saya deg-degan—apa harus saya hentikan saja tontonan ini? Ini adalah maksiat. Tapi tidak, saya masih punya pilihan untuk skip saja adengan-adengan seperti itu. Ya, meskipun pada akhirnya tidak saya lakukan dan saya nikmati saja tiap scene yang disajikan. Huft!

Dari serial yang saya tonton itu akhirnya saya sadar, begitulah manusia; selalu punya dua sisi, baik dan buruk, benar dan salah. Semuanya berpasangan, kecuali jomblo. Huwek! Kita selalu punya potensi untuk menjadi salah atau benar, baik atau buruk. Benar bagi kita belum tentu benar bagi orang lain. Begitu pun sebaliknya. Masing-masing punya prinsip dan motivasi yang bisa jadi berbeda satu sama lain. Perbedaan motif itulah yang akan menjadi konflik ketika keduanya bertemu pada satu peristiwa dan situasi yang membuatnya harus berhadap-hadapan tanpa memberi banyak pilihan lain kecuali melakukan apa yang harus dilakukan berdasar pada masing-masing motif tadi. Persis seperti dalam pelajaran dramaturgi.

Masing-masing karakter dalam serial itu menjadi karakter yang kompleks. Seperti pola round character. Karatkter yang berkembang atau mengalami perubahan-perubahan sikap dan prinsip dalam perjalanan hidupnya. Suatu ketika si A menurut kita berbuat benar dan ksatria dalam satu episode, tetapi sebaliknya dalam episode lain.

Satu hal yang mengesalkan dalam serial ini, ternyata karakter yang mulanya saya kira ditempatkan pada posisi tokoh utama dan protaginis, nyatanya pada episode-episode selanjutnya juga bisa menjadi antagonis. Agak menyebalkan memang. Tapi tak apa, seperti yang sebelumnya saya bilang, begitulah kita, kadang benar-kadang salah. Dan lagi, meminjam idiom dalam dunia pulitik, yang abadi hanya kepentingan. Camken itu sodara!

Dan lebih kurang ajarnya serial ini seperti memberikan porsi yang setara antar karakter dan antar bagian cerita. Serial ini mengisahkan tujuh kerajaan yang yang dipimpin satu kerajaan utama dalam satu konsorsium atau entah apa tepatnya menyebut ikatan mereka yang pada titik tertentu juga saling berebut kuasa untuk memimpin semua kerajaan.

Intrik-intrik dan strategi menjadi tema kuat yang disajikan dalam serial ini. Masing-masing kerajaan bersaing untuk mnduduki tahta tertinggi Seven Kingdom—sebutan untuk lembaga atau konsorsium yang memimpin atau menguasai ketujuh kerajaan. Dan dari itu semua, saya belajar satu hal bahwa betapa pun mereka berseberangan dengan pihak lain, bertarung kepentingan, tetapi mereka masih bisa berdialog dan berdialektika. Diksi-diksi dan ungkapan yang mereka gunakan untuk bicara baik dengan kawan maupun lawan seringkali metaforis. Dan saya sangat menyukainya.

Saya tak sabar ingin menonton episode selanjutnya. Tapi, bersamaan dengan itu pula, saya merasa tak ingin serial ini berakhir. Betapa konyolnya. Sudah tahu serial ini sudah berakhir tapi masih berharap. Seperti kisah cintamu yang sudah kandas, tapi kamu berharap masih akan ada episode-episode selanjutnya, ya?

Hah, sudah, capek! Kapan-kapan mungkin saya bikin tulisan lagi tentang kesan saya nonton Game of Thrones. Ini kesan pribadi saya. Semoga selanjutnya lebih banyak lagi film atau serial bagus yang bisa saya tonton.


(Tulisan entah kapan, baru bisa post. Fyuuh!)

You Might Also Like

0 komentar