Jimat Pandemi


Pembelajaran daring seperti yang saat ini marak dilakukan sebenarnya bukan hal baru lagi. Dulu sebelum era #BelajarDariRumah seperti yang diterapkan lembaga-lembaga belajar formal sekarang ini, belajar daring biasanya diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang membuka kelas jauh. Diakui atau tidak, lembaga dan model pembelajaran jarak jauh tersebut dulu masih dipandang sebelah mata. Hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah tidak punya banyak waktu untuk berangkat ke kampus karena beban kerja yang ditanggung, juga orang-orang yang lebih membutuhkan legal formal tanda telah mengikuti sebuah program pembelajaran (baca sertifikat atau ijazah). Juga lembaga-lembaga yang sangat membutuhkan peserta untuk mengisi kuota mahasiswa.

Seiring perkembangan waktu, lembaga-lembaga kursus dan pelatihan juga menyelenggarakan pelatihan daring. Kursus atau pelatihan daring yang marak saya temui antara lain pelatihan menulis dan bisnis. Komunitas-komunitas tertentu juga melakukannya untuk membagikan pengetahuan dan keterampilan pada anggotanya. Bisa berupa teks, maupun dalam bentuk video tutorial. Hampir jarang yang menyelenggarakan pembelajaran dengan live video secara realtime. Belakangan ketika platform instagram dan facebook punya fasilitas siaran langsung baru kemudian banyak orang menggunakannya untuk kebutuhan menyiarkan diskusi-diskusi secara daring.

Namun begitu, belajar daring tetap saja, bukan merupakan pilihan yang diambil oleh lembaga-lembaga pendidikan formal. Dan citranya tetap dipandang sebelah mata. Tetapi semuanya berubah sejak negara api menyerang kehadiran C-19. Ia bahkan menjadi panedmi yang mengglobal dan berdampak pada hampir semua aspek kehidupan kita dari mulai aspek kesehatan, sosial, budaya, ekonomi, politik, pendidikan bahkan sampai pada aspek agama. Pandemi C-19 ini menuntut dan menciptakan banyak perubahan.

C-19 menuntut kita secara fisik untuk berjarak. Hal ini jelas sangat jauh dengan tipikal masyarakat kita yang kolektif dan komunal, suka kumpul-kumpul, kongkow dan bersosialisasi. Apa-apa yang kita kerjakan lebih banyak kita lakukan bersama. Kongkow, bersilaturahim, jual-beli di pasar tradisional, jamaah, bahkan belajar di sekolah atau kampus. Loby-loby dan negosiasi bisnis, juga politik kita lakukan dengan kongkow asyik.

Maka untuk menyiasati hal itu kita berduyun-duyun hijrah ke ruang-ruang daring. Segala aktifitas bersama kita alihkan dari ruang fisik menuju ruang daring. Segala yang lama-konvensional, dialihkan dalam ruang-ruang daring. Sekolah, kuliah, seminar dan ceramah semua dilakukan dengan cara daring. Transaksi-transaksi jual-beli dan kerja juga daring (meski sebelum pandemi ini, lapak-lapak jual beli daring telah masif digunakan). Seperti terjadi sebuah rekayasa global yang sedang berlangsung dan menggiring kita masuk sepenuhnya ke dalam peradaban digital-virtual. Abad daring.

Saat kuliah daring ini berlangsung, muncul (agar lebih menyenangkan, anggap saja) kelucuan-kelucuan. Pada beberapa video unggahan warganet yang viral tentang pelaksaan kuliah daring seperti ini bisa kita temukan kendala-kendala yang hadir justru menjadi hal yang lucu. Ada yang baru pembukaan kuliah, daya ponsel pintarnya sudah lemah. Kemudian heboh. Ada yang kuliah pagi, ternyata belum sempat mandi atau cuci muka. Sedang yang paling banyak ditemui, koneksi yang putus nyambung-putus nyambung karena keterbatasan sinyal.

Kendala-kendala semacam itu oleh warganet kita justru dijadikan konten yang lucu dan menghibur. Bukankah mendapati konten-konten lucu yang dibuat oleh warganet kita itu menjadi keasyikan tersendiri? Salah satu hal yang saya suka adalah melihat betapa warganet kita itu kreatif. Mereka bisa mengolah kendala, kegagalan, atau ketragisan, menjadi sebuah hal yang lucu. Bukankah ini daya hidup yang luar biasa? Di tengah masalah (dan barangkali derita) kita masih bisa (men)tertawa(kan banyak hal). Ketika muncul meme-meme maupun video-video lucu dari sebuah peristiwa yang sedang viral, kadang saya bertanya dalam hati, betapa cerdasnya mereka yang membuat meme-meme dan video-video itu?

Lain lagi dengan apa yang dirasakan teman saya. Ia tinggal di perbatasan. Saat pandemi ini menuntut kita lebih banyak #DiRumahAja dengan sekolah dan kerja dari rumah, teman saya punya empat anak. Yang terakhir masih usia dua setengah tahun. Yang pertama sudah di tingkat SMP, yang kedua dan ketiga masih di tingkat SD.

Suatu ketika, teman saya mengeluh. Pusing, katanya. "Semua-mua jadi serba daring. Sekolah pada daring. Mana HP Cuma satu, buat kerja lagi. Pusing aku!" keluhnya. Saya terperanjat.

"Lha, terus gimana sekolahnya?"

"Bodo amat! Yang penting kerja dulu biar dapur tetep ngebul." Teman saya itu kerjanya jualan makanan secara daring. Saya alihkan topik pembicaraan. 

Tak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini menjadi kunci. Banyak hal yang bertumpu padanya.

Seorang teman yang lain bercerita, waktunya jadi lebih banyak menemani anaknya untuk belajar. Pasalnya, dalam pelaksanaan sekolah daring yang diikuti anaknya, beban tugas yang diberikan jadi lebih banyak. Tiap mata pelajaran dan tiap hari selalu memberikan tugas. Berbeda saat pelaksanaan belajar di sekolah sebelum sekolah daring ini berlangsung.

"Bagus dong, kan jadi banyak waktu menemani si kecil belajar."

"Apanya? Orang yang garap tugasnya aku. " Jawabnya.

Hampir senada dengan keluhan teman saya yang jadi guru. Katanya, sekolah daring ini menjadi kurang optimal, sebab rata-rata pekerjaan rumah yang diberikan tidak dikerjakan siswa yang bersangkutan. Melainkan dikerjakan orang tuanya. "Kalau orang tuanya mau membimbing dan mengajari sih tidak apa-apa. Tapi kalau asal orang tuanya yang mengerjakan pekerjaan rumahnya ya kasian anaknya. Nilainya bagus tapi dia gak ngerti." Keluh teman saya.

Ya, pandemi ini membawa banyak sekali perubahan. Dan wajar jika dalam perubahan-perubahan itu terjadi kendala-kendala yang dihadapi. Apalagi jika kita tidak siap menghadapi perubahan tersebut. keluhan-keluhan semacam itu menjadi hal yang wajar dalam situasi seperti ini. Itu baru dari orang tua dan guru yang harus terlibat dalam sekolah daring. Belum lagi dari babang ojol yang pendapatannya menurun drastis bahkan sampai perusahaannya menghentikan armadanya untuk beroperasi. Pegawai-pegawai atau buruh pabrik yang dirumahkan karena perusahaan atau pabrik tempatnya bekerja terpaksa mengurangi jumlah karyawan bahkan sampai gulung tikar.

Kehadiran pandemi ini memang menjadi sebuah cambukan keras bagi kita. Barangkali selama ini kita memang terlalu disibukkan dengan perkara-perkara di luar diri kita. Segala aktivitas lebih banyak kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik. Sedang kebutuhan-kebutuhan ruhaniah kita jarang tercukupi. Bahkan lebih banyak terlupakan karena kesibukan pemenuhan kebutuhan fisik dan luar diri kita. Sehingga ketika pandemi ini hadir, kita dipaksa untuk mengurangi kegiatan di luar (rumah). Kita dipaksa untuk di rumah saja. Seolah memaksa kita untuk kembali ke rumah, kembali menekuri diri kita, mengakrabi diri kita.

Sampai pada satu titik, dengan berbagai pencapaian kita dalam kehidupan ini dari mulai ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemajuan-kemajuan lain yang begitu dahsyatnya, ternyata kita dibuat kalang kabut oleh makhluk sekecil ini.

Ketika dunia ilmu pengetahuan dan teknologi di luar sana sudah bergerak mencapai cita-cita keabadian manusia lewat temuan-temuannya di bidang robotika, kecerdasan buatan, cangkok organ dan berbagai temuan rekayasa bioteknologi lainnya, mendadak kita harus berhenti sejenak dan menyaksikan betapa banyak korban berjatuhan karena pandemi ini.

Saya jadi teringat pada salah seorang sahabat saya. Dulu ketika saya baru jadi mahasiswa baru, ia sedang menyusun skripsi. Kami bersahabat cukup baik (setidaknya itu pendapat saya). Ia sahabat baik saudara saya. Kami tinggal bersama dalam satu rumah kontrakan.

Sebagai mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi islam negeri, ia cukup fasih mengaji. Baik itu membaca alquran maupun kitab-kitab gundul. Tetapi menurut saya ia jauh lebih fasih ketika maki dan misuhi saya. Mulutnya sangat tajam dan getir.

"Goblok! Kon nyolong kates ae ra bakat! Bakatmu iku opo? Urip ae ra bakat!" Makinya dari bawah. Sedang di atas pohon pepaya saya masih kesulitan untuk memetik buah yang nggandul itu. Ketika kami pulang dari kampusnya, di pematang sawah ia melihat pepaya yang menggantung. Kecerdasannya tanggap. Dan saya yang peralat.

Selain fasih, ia juga cerdas. Koleksinya kitab-kitab dari yang bahasa indonesia, arab dan inggris. Rata-rata tema yang dikoleksi adalah linguistik, sastra, budaya dan filfasad filsafat. Sebelum ia melakukan seminar proposal skripsinya, ia mengajak saya ngopi. Ia mempresentsikan garis besar skripsi yang ia susun. Menyampaikan pendapat-pendapatnya dan mengajak saya diskusi (barangkali lebih tepat saya sebut memberi saya kesempatan untuk bertanya). Apa skripsi yang ia susun saat itu? Jimat! Skripsinya tentang wifiq (jimat) dalam khazanah sastra arab.

Ndas saya cenut-cenut. Saya yang awam, saat itu tetap tak bisa menerima dan mempertanyakan bagaimana keilmiahan sebuah jimat? Ia bicara panjang lebar tentang teori astronomi, kesemestaan dan lain sebagainya. Ndas saya tetap cenut-cenut dan saya masih bertanya bagaimana sudut pandang ilmiah terhadap tranformasi energi yang ada dalam jimat? Cenut-cenut lagi.

Sampai pada titik kami sama terdiam. Setelah lama senyap, ia tiba-tiba melempar pertanyaan, "Kenopo wong mikir?"

Ndas saya masih cenut-cenut. Tanpa memberi kesempatan, ia menukas, “Mergo do wedi mati!" Ia meringkus barang-barang lalu mengajak saya pulang.

Saya tercenung. Ketika dunia ilmu pegetahuan telah mencapai kemajuan yang begitu dahsyat. Kita sudah tak asing dengan diskursus yang mencoba untuk mencapai imortality, keabadian manusia. Nyatanya pada saat yang sama kita justru menyaksikan betapa banyak korban berjatuhan. Menjadi semacam paradoks. Haruskah saya menemui sahabat saya dan sekali lagi mendengar penjelasannya tentang keilmiahan dan betapa futuristiknya teknologi jimat?

You Might Also Like

0 komentar