Menulis Feature Perjalanan


Buat apa menuliskan kisah perjalanan? Apa pentingnya?

Ada satu tugas menulis feature yang harus saya kerjakan. Tema yang diminta adalah feature perjalanan. Alamak! Sudah lama saya tak jalan-jalan, lama pula tak menulis. Giliran dapat tugas malah disuruh menulis feature perjalanan. Tapi tak apalah. Santuy aja. Ini bukan ujian atau adzab. Ini cuma tugas yang harus dikerjakan.

Saya tak tahu harus menulis apa. Bahkan sampai catatan ini saya buat, saya masih belum tahu akan menulis apa. Saya hanya berusaha mengumpulkan apa yang tersisa dan barangkali bisa diramu-padukan menjadi jawaban atas tugas yang tengah menunggu untuk saya selesaikan.

Bicara soal perjalanan, saya termasuk orang yang suka jalan-jalan. Setidaknya dulu. Sebelum negara api menyerang. Lewat jalan-jalan itu saya biasa sekadar menghabiskan waktu, melihat-lihat, mengamati dan menikmati suasana yang tergelar di sekitar.

Nah, sekarang saya mulai melihat sesuatu yang barangkali bisa saya ceritakan. Baiklah, akan saya coba gali lagi.

Selain perjalanan dengan kendaraan umum, saya juga kerap melakukan perjalanan kaki. Jalan kaki. Karena memang saya dulu belum punya kendaraan sendiri. Jadilah saya berkeliling kota dengan berjalan kaki. Ketika lelah, istirahat. Kemudian lanjutkan perjalanan lagi.

Ketika saya masih duduk di bangku SMA, saya juga kerap melakukan perjalanan naik kereta api dari Lamongan ke Surabaya. Sayangnya, saya hampir tak bisa memastikan kapan kali pertama saya naik kereta dan dalam rangka apa saya lakukan perjalanan itu. Tapi setidaknya saya ingat peristiwa aneh yang saya alami saat itu.

Kalau tak salah (sekali lagi kalau tak salah) kali pertama saya melakukan perjalanan kereta adalah ketika saya bersama teman-teman komunitas teater SMA saya melakukan perjalanan ke Surabaya. Nama komunitas itu Ganas't. Saya anggota Ganas't angkatan 906.

Tempat yang kami tuju adalah Tugu Pahlawan. Di sana, kami melakukan eksplorasi, olah tubuh dan lain-lain. Usai melakukan eksplorasi di Tugu Pahlawan, kami bergeser ke Ampel. Nah, di Ampel ini saya mengalami peristiwa yang kalau diingat-ingat bikin saya pengin misuh! "Kenapa tak saya iyakan saja tawaran orang aneh ituuu??" Kira-kira begitu.

Jadi, siang itu, usai shalat di masjid Ampel, ketika hendak memakai alas kaki di pintu keluar masjid, ada seorang asing yang duduk di sana. Serta-merta ia bertanya tanpa basa-basi. "Itu teman kamu?" Matanya memberi isyarat menunjuk pada salah seorang teman perempuan saya.

"Kamu suka? Kalau kamu mau, saya bisa bikin dia suka kamu. Kamu pakai saja minyak ini." Bangsad orang ini! Blak-blakan sekali.

"Dasar orang aneh." Pikir saya waktu itu. Ngapain saya pakai begituan buat melet teman saya sendiri? Saya sudah berteman dengannya cukup dekat. Berbagi banyak hal. Tapi kalau saya ingat-ingat sekarang, kenapa tak saya iyakan saja tawaran orang aneh itu?

Teman saya itu terbilang cantik dan menarik di sekolah kami. Bodynya juga aduhai. Sekarang dia sudah kawin dan beranak-pinak. Sesekali kami masih berganti sapa lewat media sosial. Bertukar kabar. Kadang bertukar umpat dan maki. Melontarkan kekonyolan-kekonyolan.

Ya, kadang, dalam hati, saya juga merasa iba padanya. Kasihan. Pada akhirnya ia tak bisa hidup bersama saya. Aes! Tapi begitulah hidup. Tidak semua yang kita inginkan bisa terwujud. Saya harap dia bisa menerima kenyataan itu dengan lapang. Dan melanjutkan hidup yang bahagia meski tidak bersama saya.

Kira-kira begitulah sependek ingatan saya tentang kali pertama melakukan perjalanan naik kereta.

Sampai di sini, apa tulisan ini sudah seperti tulisan yang dimaksud dengan feature perjalanan? Jikapun tidak, saya tetap akan melanjutkannya. Tapi nanti, ya. Di bagian kedua.

Senin, 29 Juni 2020
23:59 WIB
Di Pos Ronda

You Might Also Like

0 komentar