Kolak Kacang Hijau

Jika ada menu masakan yang membuatmu ingin pulang dan selalu berada di dekat keluarga, bagiku Kolak Kacang Hijau adalah salah satunya.

Tiap memasuki bulan suci ramadan, ibu atau nenek kerap menghidangkan Kolak Kacang Hijau untuk mengantar kami sekeluarga menikmati takjil.

Dulu saya berbuka bersama, bapak, ibu, kakek, nenek, kakak perempuan dan keponakan saya. Ketika kakak perempuan saya menikah lagi dan tinggal di rumah berbeda juga kakek yang telah berpulang (semoga kakek bahagia dan mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya), maka tinggal saya, bapak, ibu dan nenek.

Sejak kecil ibu atau nenek memang suka menghidangkan kolak kacang hijau untuk takjil kami. Bahkan saya sempat berpikir bahwa kolak kacang hijau itu seperti menu wajib dalam buka puasa kami.

Kami sekeluarga biasa berbuka puasa di rumah bagian belakang. Di sisi kanan pintu ruangan itu ada lemari tua peninggalan kakek yang digunakan untuk menyimpan perkakas dapur, piring, sendok, mangkuk-mangkuk dan lain-lain. Di depannya sebuah meja kecil yang dulu saya pakai untuk meja belajar, kini menjadi tempat menaruh Kendi, tempat menyimpan air minum dari gerabah. Di sebelah kanannya terdapat rak dapur tempat kami menaruh piring dan peralatan makan setelah dicuci dan hendak dipakai lagi.

Di depannya, tempat mencuci piring kotor yang telah kami gunakan. Tepat bersanding dengan Genuk (bejana atau wadah besar terbuat dari gerabah, sekarang banyak yang terbuat dari bahan plastik) plastik warna merah tempat menyimpan air untuk mencuci piring, tangan, atau bahan makanan yang akan kami olah.

Beberapa meter ke bagian belakang ada kamar mandi dan toilet. Beberapa meter dari situ, agak ke depan, ada kompor gas dua lubang yang biasa dipakai ibu atau nenek untuk memasak.

Di belakang kompor itu sebuah pintu yang menghubungkan rumah kami dengan pekarangan belakang rumah berdiri. Di sebelahnya ada tumpukan kayu bakar dan Pawon, tungku tradisional dengan dua lubang perapian, yang kadang tetap dipakai untuk memasak ketika tiba-tiba gas LPG kami habis.

Di sebelah kiri pawon itu berdiri genuk air minum, di atasnya ada rak untuk menyimpan perabot dapur juga, seperti panci dan dandang-dandang dengan ukuran yang lebih besar.

Di depannya ditempatkan sebuah balai-balai kecil yang biasa dipakai untuk membuat sambal. Balai-balai yang lebih lebar ditempatkan di sebelah kiri puntu. Tempat bapak dan ibu duduk melepas lelah sepulang dari sawah. Biasa juga kami gunakan untuk duduk-duduk, bercerita, sambil menemani ibu atau nenek yang sibuk di dapur.

Di sebelah kirinya, meja tempat ibu menaruh termos kopi beserta toples kopi dan gula. Kami sekeluarga memang penikmat kopi. Bahkan sejak kecil, sejauh saya bisa mengingat, saya kerap ikut bapak ke warung untuk menikmati kopi dan gorengan atau jajanan yang tersedia.

Biasanya pagi hari usai salat subuh atau sebelum berangkat ke sawah bapak dan lelaki di kampung saya selalu menyempatkan diri mampir ke warung kopi. Atau siang hari sebelum berangkat ke sawah juga banyak yang mampir ke warung kopi. Ketika malam menjelang usai pegal seharian bekerja di sawah, lelaki kampung saya juga biasa pergi ke warung kopi di kampung kami. Di sana mereka bercerita dan membicarakan apa saja. Apa saja.

Kebiasaan menikmati kopi itu sampai sekarang melekat pada diri saya. Jika sehari saja tak menyeruput kopi, rasanya kepala pusing, kata orang tua kami. Itu pula yang bisa saya rasakan.

Lucunya, ketika saya masih MI (Madrasah Ibtida'iyah - setingkat SD) saya dan teman-teman selalu membawa bekal minuman dalam sebuah botol dengan berbagai bentuk. Anak laki-laki dengan botol berbentuk handphone lawas atau robot-robotan, sedang anak-anak perempuan dengan botol berbentuk boneka. Isinya rata-rata teh manis hangat. Tapi saya mengisi botol minuman saya dengan kopi.

Peristiwa, suasana dan ingatan kita tentang masa anak-anak memang selalu terasa indah dan membuat kita seringkali merasa ingin mengulangnya. Menikmatinya lagi meski hanya sekali. Kenangan indah itu selalu tertanam dalam ingtan kita. Keluarga dan teman-teman kita di masa itu selalu membuat kita kangen.

Kemarin malam ketika saya sampai di rumah, usai makan malam ibu tiba-tiba meminta nenek untuk membuatkan saya Kolak Kacang Hijau. Perasaan saya langsung menyeruak. Ingatan saat kami menikmati takjil bersama di bulan ramadan serta-merta hadir berkelindan.

Siang ini, ketika saya menuju dapur, usai ibu makan siang ia bertanya, "Gak mindo?"

"Mboten, icip kolek e mbok mawon." Jawab saya selagi mengambil mangkuk di rak dapur. Saya biasa memanggil nenek dengan sebutan Mbok, menirukan ibu saya.

Orang-orang di kampung saya biasa menyebut sarapan dengan Kerobok, Mindo untuk makan siang, dan Mangan untuk makan malam.

Saya lebih memilih kolak kacang hijau buatan nenek untuk mengisi makan siang saya.

Ibu menyarankan saya menambahkan ketan pada kolak kacang hijau itu. Kebetulan pagi tadi ada Wewehan Procot dari salah satu tetangga kami. Weweh adalah tradisi berkirim atau berbagi makanan dari seseorang yang sedang punya hajat kepada para tetangga. Bisa tetangga dekat bahkan bisa juga sekampung.

Dan Procot adalah kudapan yang terbuat dari ketan yang diolah dengan campuran parutan kelapa kemudian dibungkus selebar tiga jari pipih dan memanjang dengan daun pisang. Rasanya gurih dan asin. Procot biasanya dibuat dalam rangka hajat kehamilan atau persalinan seseorang dengan harapan kelahiran buah hatinya akan diberi kelancaran seperti kata Procot itu sendiri. Lahir procot!

Paduan yang sedap bila Procot itu dicampur dengan Kolak Kacang Hijau yang manis buatan nenek.

Sungguh, kebersahajaan, keramah-rukunan dan sekian kenangan-kenangan indah tentang kampung halaman inilah yang selalu membuat saya berat untuk meninggalkannya. Membuat tumpukan rindu yang selalu menggunung ketika berada jauh dari rumah.

Meski saat ini kemarau menjerang, sawang dan pekarangan kering kerontang, ingatan dan perasaan saya basah digenangi kebahagiaan berkumpul bersama mereka.

Sehat selalu ya, Pak, Buk dan Nenek. Serta orang-orang di kampung halaman.

Kemarau ini bisa mengeringkan sawah, sumur dan bendungan, tapi tidak nurani kita.

You Might Also Like

0 komentar