Kacamata

Foto dari Freepik


Saya baru memakai kaca mata ketika sudah kuliah di malang. Mungkin sekira tahun 2011-an. Seingat saya, awal kali kuliah dulu saya belum mengenakan kacamata.

Jauh sebelum itu sebenarnya saya sudah merasakan ketidak-normalan pengelihatan kedua mata saya. Saat masih duduk di bangku Tsanawiyah bapak saya memeriksakan mata saya ke salah seorang mantri yang ada di dekat rumah. Mantri itu pula yang dulu menyunat kulup saya.

Malam itu, ketika pemeriksaan, pak mantri mempersilahkan saya duduk di sebuah kursi menghadap sebuah poster yang berisikan huruf dan angka dengan berbaga ukuran. Ia menunjuk sebuah huruf atau angka dan menyuruh saya melihatnya dengan seksama kemudian mengajukan perrtanyaan, “Jelas?” tanyanta.

Pada beberapa huruf atau angka yang ia tunjuk saya pengelihatan saya tak jelas, kabur. Kemudian pak mantri mengambil sebuah kacamata yang aneh menurut saya. Kacamata itu hanya berupa frame yang lensanya bisa dilepas dan diganti sesuai ukuran yang diperlukan.

Setelah saya pakai kacamata aneh itu, pak mantri beberapa kali mengganti lensanya. Kiri-kanan. Dan sampailah pada diagnosanya, pengelihatan saya minus. Saya tak ingat lagi apa resep yang diberikan pak mantri. Sejauh yang bisa saya ingat setelah itu saya tetap tidak mengenakan kacamata. Tetapi saya mengonsumsi wortel mentah.

Saat Tsanawiyah saya sudah tidak tinggal di rumah. Melainkan di asrama sebuah pesantren di Babat. Letaknya tepat berada di jalan Kartini nomer 93, tepat di jantung kota Babat. Dar pesantren itu, cukup berjalan sedikit ke arah timur akan sampai di kelurahan babat yang berada di sebelah timur perempatan, berhadapan dengan sebuah gereja. Di sebelah utara kelurahan itu berdiri sebuah SD negeri. Sedang ke arah barat dari pesantren sebuah pasar tradisional berdiri. Pasar babat yang legendaris, mempertemukan Tuban, Bojonegoro dan Jombang. Di pasar itulah saya biasa membeli wortel.

Selain saya ada satu lagi kawan yang juga mengonsumsi wortel seperti yang saya lakukan bahkan boleh dibilang ia yang lebih konsisten dari saya untuk belanja dan mengunyah wortel. Saat itu ia sudah duduk di bangku Aliyah. Tubuhnya tinggi dengan perawakan yang tegap. Cita-citanya ingin menjadi seorang tentara.

Saya tak tahu sebab apa yang membuat kawan saya itu mengalami hal yang sama dengan saya, pengelihatan mata yang minus. Saya sendiri mengira kebiasaan buruk saya sebelum meninggalkan rumah untuk tinggal di pesantren punya andil yang cukup besar pada persoalan pengelihatan saya. Di rumah saya kerap menonton televisi dari jarak yang cukup dekat. Itu membuat orang tua dan keluarga saya kerap jengkel dan selalu memperingatkan agar saya tak terlalu dekat saat menonton televisi.

Kebiasaan itu lumayan berkurang saat saya tinggal di pesantren. Di pesantren hanya ada satu televisi. Itu pun jauh ketika saya sudah masuk baru ada. Televisi itu diletakkan di dapur. Biasanya televisi iu hanya diputar malam hari menjelang tidur atau saat akhir pekan untuk para santri. Di waktu lain, televisi itu lebih sering digunakan menonton berita oleh para ustadz atau untuk para khadam di dapur pesantren.

Tetapi ada kebiasaan lain di pesantren yang menurut saya juga berpengaruh besar terhadap pengelihatan saya yang minus, membaca dalam kegelapan. Di pesantren inilah saya mulai mengenal buku sebagai bahan bacaan yang asik. Minat saya dalam membaca dipengaruhi oleh banyak teman yang juga punya minat tinggi dalam membaca. Bahkan tak jarang beberapa kawan membawa pulang buku-buku dari perpustakaan sekolah mereka. Selain itu, tinggal di dalam kamar yang sebagian dindingnya dijadikan rak buku pesantren mau tak mau membuat saya akrab dengan buku.

Satu lagi, kakak saya. Di pesantren itu saya tinggal satu kamar dengannya. Dalam banyak hal ia menjadi salah satu sosok yang berperan besar dalam pembentukan diri saya. Tentu saja yang positif. Negatifnya saya belanja sendiri.

Kakak saya aktif dalam sebuah organisasi pelajar bahkan sejak ia masih menimba ilmu di pesantren. Di pesantren tempatnya beajar pula ia aktif terlibat dalam kegiatan Bahtsul Masail. Ia punya kecerdasan organik khas orang-orang pesantren. Ia yang kerap memotivasi, contoh, tantangan dan pelajaran dalam hidup saya. Kisah-kisah inspiratif tentang ulama atau kiai yang ia sampaikan secara langsung pada saya atau saat ia mengajar diniyah membuat kami santri-santrinya selalu termotivasi dan berdaya hidup.

Bahkan masih lekat dalam benak saya ketika saya kerap memintanya untuk membacakan kitab sebagai pengantar tidur saya. Caranya membaca kitab dan menerangkan isi kitab seperti dalam ngaji pasan membuat saya merasa nyaman.

Dari lingkungan semacam itulah minat baca saya tumbuh. Dari lingkungan itu pula saya diperkenalkan dengan penyair celurit emas, KH. D. Zawawi Imron, KH. Mustofa Bisri, Taufiq Ismail, Abdul Hadi WM hingga Hamsad Rangkuti.

Ketika asik dengan buku yang saya baca saya kerap tak mempedulikan waktu. Seringkali ketika lampu pesantren sudah dipadamkan, saya tetap membaca. Kerap pula saya menikmati buku bacaan saya di lantai dua yang bahkan dindingnya belum selesai dibangun. Beratap langit, bintang dan daun mangga yang menjulur melambai, saya menikmati buku-buku bacaan.

Ketika saya harus pindah pesantren karena saya harus melanjutkan jenjang Aliyah di tempat lain, kebiasaan itu terus terbawameski harus saya akui, intensitas saya dalam membaca terus menuruh betahun-tahun terakhir.

Di pesantren baru yang letaknya di jalan Veteran, Lamongan, minat saya dalam membaca tumbuh makin kuat. Saya bisa membaca dimana saja dan kapan saja. Sampai saya punya kebiasaan untuk membaca di toilet. Karena jumlah toilet yang banyak saya tak khawatir antrian santri lain menunggu. Saat itu saya merasa begitu merdeka saat mengkhatamkan bacaan saya di sana. Di Toilet tak ada hal lain yang saya pikirkan, sehingga saya bisa berkonsentrasi penuh pada apa yang saya baca. Tetapi belakangan saya merasa malu, mengapa ilmu yang selama ini saya hormati, justru saya akses dari toilet. Maka saya menyudahinya beberapa tahun belakang ini.

Selain di toilet, saya juga kerap membaca di teras masjid pesantren, teras asrama, teras rumah Gus saya, bahkan di taman, trotoar dan stasiun. Di kusri tunggu Stasiun Kereta Api Lamongan saya mengkhatamkan memoar Donna William, seorang perempuan yang memiliki autisme dalam dirinya. Ia berhasil berdamai dengan autisme-nya dan bahkan menulis dan menjadi sandaran bagi keluarga autis yang berkonsultasi.

Ketika Aliyah itulah saya merasakan pengelihatan mata saya makin minus. Saya yang duduk di kursi belakang ketika pelajaran berlangsung, tidak dapat membaca apa yang dituliskan oleh guru-guru saya. Untuk mencatatnya, saya harus melihat catatan teman sebangku saya terlebih dahulu. Di kelas satu Aliyah saya biasa melongok catatan Aris, teman sebangku saya. Di kelas dua ada Robby yang jadi teman sebangku. Hanya di kelas tiga saya bisa mencatat dari apa yang saya lihat di papan tulis karena jarak bangku saya dan papan tulis tdak terlalu jauh. Jika terpaksa sekali, baru saya nyontek.

Saya tak ingat pasti apa yang membuat saya tak mau mengenakan kacamata saat itu. Sampai awal kuliah pun saya belum mengenakan kacamata. Akibatnya selain telat mencatat hal-hal penting dari papan tulis, saya juga telat bahkan alpa menyapa teman-teman saya yang berpapasan dalam perjalanan. Karena itu kerap pula saya dituduh sombong. “Bukan sombong, mukamu ngeblur!” jawab saya sekenanya.

Saya bukan orang baik, dalam banyak hal. Menyegerakan pengerjaan sesuatu adalah salah satunya. Termasuk memakai kacamata. Sampai ada orang yang berbaik hati meminjamkan kacamatanya yang sudah tak dipakai. Tidak tanggung-tanggung, dua buah kacamata ia berikan kepada saya. Ia memang orang yang yang sangat baik. Amat sangat baik. Ia tidak hanya memberikan kacamatanya kepada saya tetapi sekian pengetahuan dan keilmuan ia curahkan pada saya dan sekian banyak lagi anak-anak beruntung lainnya. Ia mengajari dan membimbing kami layaknya mengasuh anak. Penuh perhatian dan dedikasi. Kadang sampai saya dan teman-teman saya berpikir, “Ada orang sebaik itu?”

Setelah beberapa waktu saya pakai kacamata pemberian itu, saya kemudian mengajak diri saya beranjak ke sebuah pusat perbelanjaan. Lapak kacamata bertebaran. Di lantai dua saya memilih kacamata yang sesuai dengan kebutuhan pengelihatan mata saya. Tak mahal, hanya 25.000 rupiah. Saya tak memesannya di optik mata. Di optik itu saya hanya memeriksakan berapa minus mata saya.

“Begini kan lebih terjangkau.” Ujar kakak saya. Dia juga salah satu orang baik yang saya temui ketka hidup di Malang. Setali tiga uang dengan orang yang telah memberikan “kacamata”-nya untuk saya gunakan dalam melihat. Sampai sekarang kami selalu membeli kacamata dengan cara itu.

Tentang kacamata itu, saya pernah mencoba memakai kacamata yang frame-nya berwarna merah menyala. Sangat menyala. Bagi teman-teman yang mengenal saya, kacamata itu sangat mencuri perhatian. “Alay-menye-menye” ledek teman-teman. Saya tak peduli. Sampai frame kacamata merah itu patah baru saya ganti. Selanjutnya saya hanya beli frame kacamata biasa, yang tak mencuri perhatian lagi.

Saya ganti lagi setelah frame kacamata yang biasa itu juga patah. Usai pentas dalam ujian akhir sebuah matakuliah konsentrasi drama, saya benar-benar merasa lelah. Tak sempat melepas kacamata, saya langsung tertidur. Ketika bangun saya dapati frame kacamata saya sudah patah. Tepat pada bagian atas yang menjepit lensa kacamata saya.

Saya tak lantas mengganti frame kacamata saya. Frame yang patah itu masih bisa menjepit lensa. Untuk beberap lama saya tetap memakai kacamata yang framenya pincang itu. Sampai menjelang ramadhan, ketika pulang kampung saya memutuskan untuk memeriksakan kondisi mata saya ke sebuah optik. Hasilnya, minus pengelihatan mata saya bertambah menjadi 2.5 dan 2.15.

Akhirnya saya pesan sepasang lensa di optik itu. Lensa yang saya pesan adalah lensa mika yang lebih enteng dan tahan gores. Saya lupa kapan tepatnya. Setidaknya ada sekira dua atau tiga tahun yag lalu. Sampai sekarang, lensa yang saya beli seharga seratus ribu itu masih awet. Hanya saja frame yang saya belilagi-lagi di lapak seharga tigapuluh ribuan yang sudah aus. Salah satu bagian frame-nya juga ada yang leleh gara-gara kebiasaan saya meletakkan puntung rokok sembarangan. Juga minus pengelihatan mata saya yang sepertinya benar-benar bertambah.

Sudah beberapa lama saya punya keinginan untuk mengganti kacamata lama saya dengan yang baru. Tapi nyatanya sampai berhari-hari, berbulan-bulan, keinginan itu tak bisa saya lakukan. Saya bukan tipe orang yang mudah berganti. Bukan tipe orang yang mudah akrab dengan hal-lah baru, pilihan baru. Termasuk dengan perasaan baru. Eh~


You Might Also Like

2 komentar

  1. Ehhh... Andai aku tahu buku apa aja yang dibaca, pasti sangat inspiratif kak...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aaa bisa aja smpyn cak. Wkwk.
      Masih inget gak ya?
      Kalo masih inget, moga2 bisa bikin catatan buku cak. Wkwk

      Delete