Sore
tadi, sekitar pukul tiga sore, saya nyekar ke makam umum di kampung halaman
saya. Atas pesan orang tua, saya disuruh mengajak serta Azar, keponaakan saya
yang masih duduk di bangku TK Nol Besar, untuk ikut nyekar bersama.
Di
kampung kecil tercinta ini, tradisi menyambut Ramadlan biasa dilakukan dengan Megengan.
Megengan merupakan rangkaian ritual yang dilakukan untuk menyambut datangnya
Ramadlan dan dua hari raya; Idul Fitri dan Idul Adha. Megenganjatuh sehari
menjelang ramadan dan hari raya. Masyarakat di kampung saya―juga
rata-rata kampung lain di daerah sini―memulainya dengan nyekar
ke makam leluhur dan keluarga. Baik yang dimakamkan di pemakaman kampung kami,
maupun jika ada keluarga yang dimakamkan di pemakaman kampung lain.
Di
sepanjang jalan di kampung saya, selepas Dhuhur tadi sudah mulai terlihat
orang-orang hilir mudik, rata-rata mereka bersiap untuk nyekar. Ada yang masih
membeli bungkusan kembang untuk ditabur di atas pesarean, ada yang sudah
berangkat, ada pula yang sudah kembali.
Orang-orang
yang sudah bersiap sejak siang biasanya tidak hanya nyekar ke pemakaman di
kampung kami. Mereka sedianya juga akan nyekar ke makam keluarga yang ada di
kampung lain. Oleh karenanya mereka berangkat lebih awal.
Menjelang
sore, jalanan di kampung makin ramai. Kebanyakan mereka hilir mudik ke makam.
Sampai di makam, suasana telah ramai. Ada yang sudah duduk-duduk menghadap pesarean
dengan lantunan bacaan yasin dan tahlilnya. Ada pula yang tengah asyik dengan
gelengan kepala dan goyang magis yang ritmis mengikuti bacaan-bacaan mereka.
Ada pula yang sedang merapikan kanan-kiri pesarean. Ada yang membawa sabit
untuk memotong rumput liar. Ada yang bawa cangkul, untuk merapikan gundukan
tanahnya. Ada juga yang sedang menanam pohon kamboja di tepi pesarean keluarganya.
Pada
momen-momen seperti ini saya sering bertemu dengan tetangga atau kerabat yang
sudah sudah tidak tinggal di kampung ini―ada yang menikah dan
tinggal di kampung lain, ada yang merantu dan menetap di kota-kota. Mereka yang
sudah tinggal di kampung lain atau di kota besar, kembali pulang untuk nyekar
ke makam keluarga.
Melihat
pemakaman yang ramai lalu lalang orang-orang bertandang membuatku merasa entahlah..
Aku menangkap suasana yang tenang-mendamaikan. Rasanya kerasan berlama-lama di
sana. Menyapa dan mendoakan keluarga yang telah dulu berangkat menuju-Nya serta
mengambil hikmah dari tiap peristiwa yang masih berkait satu sama lain.
Komposisi suasana yang pas. Seolah, pesarean ini mendadak ramai dikunjungi
orang-orang. Langit yang teduh mengunig di kejauhan barat menambah suasana
hangat bersahabat.
Ada
satu hal yang hampir luput aku ceritakan. Saat nyekar ke pesarean tadi, aku
melihat sekarang banyak perempuan yang ikut nyekar. Barangkali ini baru terjadi
tiga tahun terakhir ini. Sebelumnya tidak pernah aku lihat kaum hawa ikut
nyekar ke pesarean. Berbeda dengan saat ini, laki-laki perempuan, tua muda,
bisa aku jumpai di pesarean. Labih asyik seperti ini menurutku.
Hal
ini barangkali-tidak lepas dari peran orang-orang kampung kami yang menikah
dengan orang-orang dari luar, juga orang-orang yang kembali dari perantauan
untuk nyekar. Mereka membawa anak-sistri mereka untuk turut nyekar dengan
kerinduan yang sangat kepada leluhur dan sanak keluarga yang telah tiada. Momen
nyekar bisa menjadi momen nostalgia yang mengungkap banyak kenangan seseorang.
***
Usai
kita nyekar di pemakaman, saatnya untuk pulang. Aku antar Azar pulang ke
rumahnya. Sampai di halaman rumahnya Mbak Dliyah, Kakak perempuanku―sekaligus
ibunya Azar―minta tolong padaku untuk mengantarnya 'Telek' ke
rumah Mbak Munikah yang rumahnya tepat di samping rumahku―Tolong
kata 'Telek' di sana vocal E nya dibaca seperti baca 'Emansipasi'.
Nah,'Telek'
adalah sebuah tradisi ketika terjadi musibah kematian, atau peringatan hari
kematian misalnya 7, 40, 100, dan 1000 hari maka tetangga sekitar―setahuku
perempuan, sedang yang laki-laki akan bantu-bantu persiapan pemakaman sampai
tahlilan―akan menjenguk dengan membawa beberapa bekal logistik,
biasanya beras, gula, dsb. untuk membantu tetangga yang sedang tertimpa musibah
atau menggelar peringatan hari kematian. Kebetulan Mbak Munikah sedang
menggelar hajatan peringatan hari meninggal Kakaknya yang sudah ke 1000 hari.
Usai
nyekar, sore hari menjelang Maghrib orang-orang biasanya sudah menyiapkan 'Ambeng',
suatu hidangan yang dipersiapkan untuk disuguhkan pada ritual atau acara
tertentu. Biasanya berisi nasi, lauk-pauk, bubur, apem, dsb sesuai hajat. Tak
ketinggalan ‘Selawatnya’, uang untuk
shadaqoh.
Ketika
adzan Maghrib berkumandang, orang-orang telah siap dengan ‘Ambeng’ masing-masing
untuk dibawa ke Mushollah. Ba'da Shalat Maghrib, kami duduk melingkar
menghadapi ‘Ambeng’ yang kami bawa. Dipimpin
seorang Imam kami berdo'a bersama kemudian menyantap ‘Ambeng’ tersebut.
Setelah
selesai, kami pulang ke rumah masing-masing membawa ‘Ambeng‘
yang tersisa.
Biasanya kami memakan sebagian kecil dan
membawanya pulang untuk keluarga di rumah. Menunggu
masuk waktu Shalat Isya' kemudian Tarawih bersama di Masjid Jami' Nurul Huda,
Masjid kampung kami tercinta.
Rabu
17 Juni 2015-Jumat 19 juni 2015
0 komentar