Saat saya masih SMP, saya lebih banyak membaca koran saban sore
atau malam di warung kopi. Kecuali hari minggu, saya bisa ke warung kopi sejak
pagi.
Akses terhadap buku bacaan bisa dibilang minim saat itu. Maka koran menjadi media yang sangat berperan besar dalam pembentukan minat saya terhadap aktifitas membaca.
Bagian yang sering saya baca adalah berita, tentu saja. Baik politik, kriminal, pendidikan, dan lain sebagainya. Ketika mencoba mengingat, ternyata saya juga suka membaca kolom berita internasional saat itu. Saya juga suka menunggu kolom budaya di akhir pekan yang menyajikan puisi, cerpen, resensi, esai dan kolom-kolom budaya lainnya. Feature juga saya suka.
Saya justru tak banyak melirik bagian bisnis. Mungkin karena hal itu terlalu asing buat anak SMP seperti saya. Tapi kadang–kadang saya masih melirik bagian ekonomi secara luas. Satu lagi bagian yang jarang saya lirik, Olahraga. Kecuali atlit atau tokoh yang di sorot cantik sih.
Akses terhadap buku bacaan bisa dibilang minim saat itu. Maka koran menjadi media yang sangat berperan besar dalam pembentukan minat saya terhadap aktifitas membaca.
Bagian yang sering saya baca adalah berita, tentu saja. Baik politik, kriminal, pendidikan, dan lain sebagainya. Ketika mencoba mengingat, ternyata saya juga suka membaca kolom berita internasional saat itu. Saya juga suka menunggu kolom budaya di akhir pekan yang menyajikan puisi, cerpen, resensi, esai dan kolom-kolom budaya lainnya. Feature juga saya suka.
Saya justru tak banyak melirik bagian bisnis. Mungkin karena hal itu terlalu asing buat anak SMP seperti saya. Tapi kadang–kadang saya masih melirik bagian ekonomi secara luas. Satu lagi bagian yang jarang saya lirik, Olahraga. Kecuali atlit atau tokoh yang di sorot cantik sih.
Saat itu koran yang akrab bagi saya adalah Jawa Pos dan Radar Bojonegoro. Sebab saya sendiri tinggal di Babat, Lamongan. Pada hari
tertentu, Rabu, kalau tak salah, saya bisa menikmati ulasan tentang dunia
entertain. Yang paling saya suka tentang industri film dan tetek bengeknya. Di lain
hari ada kolom tentang game. Tapi saya tak terlalu berminat.
SMA adalah masa ketika saya benar-benar menikmati bersahabat
dengan buku. Lemari pakaian saya beralih fungsi untuk menyimpan buku-buku yang
saya koleksi. Koran juga masih saya baca ketika ngopi di warung. Tetapi ada
tambahan lagi ketika saya masuk perpus sekolah. Ada banyak koleksi buku bagus
menurut saya saat itu. Karya-karya lama seperti Boven Digul-nya Pram dan lain-lain
bisa saya temuni di sana. Karya sastra angkatan lama banyak tersimpan. Dan boleh
dibilang tak banyak yang mengakses, jadi saya leluasa untuk meminjam apa saja. Benar-benar
surga.
Di bangku SMA itu juga saya menemukan Gie dengan Catatan Seorang Demonstran-nya, juga Nietszche dalam buku seri Postmodern.
Sampai suatu kali saya putuskan untuk belanja koleksi
buku-buku di kawasan pasar Turi Surabaya. Seingat saya ada koleksi Diksi dan Gaya
Bahasa, Komposisi dan beberapa karya Gorys Keraf yang lain. Juga Surat-surat Penghabisan
dari Stalingraad karya Franz Schineider. Ilmu Budaya Dasar. Banyak. Apalagi karya-karya
lama. Saya benar-benar menikmatinya.
Saat SMA itu pula saya mnemukan beberapa teman yang punya
minat yang sama terhadap bacaan. Jadilah kami saling berbagi tentang apa yang
kami baca. Saling bertukar buku dan pikiran. Sampai suatu hari tercetus untuk
membuat sebuah lomba kepenulisan yang kami inisiasi secara mandiri, diluar
kegiatan yang diadakan oleh OSIS dan ekstrakurikular.
Kalau tak salah kami buat lomba penulisan puisi, cerpen dan esai. Hadianya sederhana, buku! Dan buku itu kami peroleh dari beberapa tokoh penulis dan sastrawan yang ada di Lamongan.
Kalau tak salah kami buat lomba penulisan puisi, cerpen dan esai. Hadianya sederhana, buku! Dan buku itu kami peroleh dari beberapa tokoh penulis dan sastrawan yang ada di Lamongan.
Kami mendapat apresiasi positif. Buku yang kami terima
lumayan jumlahnya. Padahal sebenarnya yang kami butuhkan hanya beberapa. Buku yang
berhasil kami dapat satu kardus penuh.
Akhirnya saya berinisiatif untuk membuka lapak di alun-alun untuk menjajakan sisa buku itu. Ini pengalaman pertama buka lapak buku bagi saya. Lucunya, saya hanya berbekal sekardus buku dan tikar yang saya pinjam untuk menggelar buku. Tak ada lampu penerangan yang saya bawa. Alhasil, remang-remaaang. Wkwk.
Akhirnya saya berinisiatif untuk membuka lapak di alun-alun untuk menjajakan sisa buku itu. Ini pengalaman pertama buka lapak buku bagi saya. Lucunya, saya hanya berbekal sekardus buku dan tikar yang saya pinjam untuk menggelar buku. Tak ada lampu penerangan yang saya bawa. Alhasil, remang-remaaang. Wkwk.
Pada malam pertama itu saya sangat antusias, banyak
pengunjung yang mampir dan melihat-lihat buku yang saya jajakan, ngobrol tanya
ini-itu. Bukankah itu sambutan yang menyenangkan? Tapi ternyata saya sadar,
tak satu pun buku yang saja jajakan laku malam itu. Duh!
Malam berikutnya, saya bawa sebuah lampu penerangan. Saya gelar
tikar dan menyusun dengan rapi buku-buku yang saya bawa. Tak banyak
pengunjung yang mampir. Tapi beberapa buku laku terjual. Syukurlah.
Belum pernah saya bayangkan sebelumnya.
Dan sekarang ternyata saya kembali berjualan buku. Bedanya sekarang saya lebih menggunakan lapak online lewat instagram, @wikramabooks. Keputusan itu saya ambil setelah sahabat saya mengajak bergabung dengan teman-teman lainnya untuk berjualan secara online. Mereka membuka lapak di market place online. Ada yang menjual sepatu dan sendal, pakaian, aksesoris elektronik dan lain sebagainya. Akhirnya saya putuskan untuk buka lapak buku.
Dan sekarang ternyata saya kembali berjualan buku. Bedanya sekarang saya lebih menggunakan lapak online lewat instagram, @wikramabooks. Keputusan itu saya ambil setelah sahabat saya mengajak bergabung dengan teman-teman lainnya untuk berjualan secara online. Mereka membuka lapak di market place online. Ada yang menjual sepatu dan sendal, pakaian, aksesoris elektronik dan lain sebagainya. Akhirnya saya putuskan untuk buka lapak buku.
Saya dibuatkan beberapa lapak di market place online itu. Tetapi
karena satu dan lain hal, saya tak bisa mengelola dengan optimal. Akhirnya lapak
itu mangkrak. Berdebu dan berjelaga. Satu-satunya yang masih saya perhatikan
hanya di lapak instagram. Koleksi bukunya juga baru empat buku. Fatwa dan
Resolusi Jihad, Gajah Mada (jilid I & II) dan Telikungan Kapitalisme
Global.
Ketiga buku yang disebutkan petama karya penulis yang
sama, KH. Agus Sunyoto. Beliau adalah penulis best seller Suluk Abdul Jalil (Novel
perjalanan spiritual Syaikh Situ Jenar yang berjumlah 7 jilid) diterbitkan Elkis
Jogja.
Beliau punya konsentrasi dalam penulisan sejarah dengan kacamata emic. Artinya pembacan sejarah dari kacamata dalam atau pribumi (dalam konteks bangsa indonesia), bukan dalam kacamata barat atau luar.
Bagi beliau banyak sekali sejarah yang diputar-balikkan dan dikonstruksi sesuai kepentingan barat dalam rangka menghancurkan peradaban bangsa ini. Oleh karenanya beliau terpanggil untuk menuliskan sejarah dengan kacamata emic dalam rangka meluruskan sejarah.
Beliau punya konsentrasi dalam penulisan sejarah dengan kacamata emic. Artinya pembacan sejarah dari kacamata dalam atau pribumi (dalam konteks bangsa indonesia), bukan dalam kacamata barat atau luar.
Bagi beliau banyak sekali sejarah yang diputar-balikkan dan dikonstruksi sesuai kepentingan barat dalam rangka menghancurkan peradaban bangsa ini. Oleh karenanya beliau terpanggil untuk menuliskan sejarah dengan kacamata emic dalam rangka meluruskan sejarah.
Buku terakhir, Telikungan Kapitalisme Global, adalah karya KH. Hasyim Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Im, adik Negarawan, Guru Bangsa dan mantan Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid. Dalam dunia geostrategi dan geopolitik, Gus Im adalah salah satu tokoh penting. Namun begitu, ia selalu menghindar untuk muncul ke permukaan.
Buku karyanya itu tipis dan kecil, seukuran buku saku pramuka. Tetapi apa dampaknya? Usai diterbitkan Elkis, buku itu mencuri perhatian dunia kapitalisme global hingga akhirnya dibredel.
Beruntung saya masih bisa mendapatkan akses untuk memperoleh buku itu. Satu koleksi yang terselamatkan dari gudang Elkis ketika pemberedelan buku itu berlangsung. Bahkan staples buku itu sampai berkarat. Karena memang buku yang ada pada koleksi saya itu adalah buku lama yang sengaja tak dikeluarkan dari gudang untuk menghindari perampasan kala diterbitkan.
Selebihnya saya belum menambah judul buku dalam koleksi
lapak buku saya. Kedepan saya akan coba menghubungi beberapa sahabat untuk
mencari buku-buku yang bagus untuk koleksi lapak buku saya. Semoga dapat
bermanfaat.