Aku tak ingin lagi berdebat akan sesuatu
Mengutuk segala kebisingan
Duhai diam
Bertahta engkau di kedalaman
Menguak firman dalam sajak tuhan
Malang, 26 Januari 2011
"Hari ini materi utamanya tentang cerita pendek. Secara teori cerpen dibuat dengan cara menentukan konsep dan tema, merumuskan konflik, menentukan alur serta memperkuat penokohan dan settingnya. Namun ia bebas dituliskan dari pintu manapun. Tapi yang pasti, konsep atau tema yang jelas adalah hal yang paling mutlak dalam sebuah cerita karena ia mengandung pesan yang hendak disampaikan pada pembaca."
Begitu tulis Pak Fuad Ramadhan dalam status facebooknya yang panjang. Tulisan itu ia beri judul "Tentang menulis cerpen."
Dalam tulisan itu Pak Fuad sedikit banyak menuturkan tentang semacam motifnya dalam menulis. Tapi itu tidak terlalu penting. Persoalan yang disampaikan Pak Fuad selajutnya saya rasa lebih penting. Pak Fuad mengurai perbedaan tentang Masturbasi atau Onani dengan menulis.
Jangan tergesa berpikir jorok. Ah, lebih baik silahkan baca sendiri tulisan Pak Fuad. Kalau tertarik silahkan berteman dan saling berbagi pemikiran. Saya akan bercerita saja. Masih mengenai menulis cerpen.
Saya pribadi sampai saat ini masih seringkali mengalami kesulitan untuk menulis cerpen. Kesulitan saya biasanya berhenti pada tahap pembangunan peristiwa.
Sebuah cerita bisa diilhami oleh apa saja. Bisa sebuah peristiwa yang memantik, pertanyaan yang menggelitik atau petuah-nasehat.
Saya sendiri tak terlalu sering menulis cerita pendek tapi kebetulan ilham yang sering mengusik saya untuk menulis cerita adalah pesan atau nasehat yang sampai pada diri saya. Baik sengaja atau tidak.
Nah, berangkat dari pesan itu kemudian saya mencoba membuat kerangka cerita. Setelah pesan yang hendak disampaikan sudah saya dapat, saya harus mengalirkan ruh pesan saya pada tiap elemen yang menyusun cerita.
Dulu ketika mengampu matakuliah Menulis Cerita dan Drama, Pak Indra dosen saya, menyampaikan bahwa pesan itu harus dialirkan ke seluruh elemen penyusun cerita. Proporsinya pun dibagi sesuai kebutuhan. Berapa persen kita titipkan pesan cerita kita ke karakter tokohnya, berapa persen kita titipkan ke latar peristiwa, suasana dan konflik cerita. Blablabla..
Sampai pada tahap ini kadang saya harus melamun cukup lama--kalau tidak boleh disebut berpikir--untuk menyusun bagaimana peristiwa yang akan saya gunakan untuk bercerita.
Pada tahap itu saya seringkali terjebak hingga kerangka cerita saya berhenti pada tahap kerangka yang belum selesai.
Kalau sudah begitu saya harus mengistirahatkan diri. Menuliskan kerangka itu agar tak hilang dan mungkin suatu saat saya bisa menyelesaikannya.
Soal teknik menulis, percayalah kita harus selalu mencoba dan mencoba. Menemukan, merapikan lalu mencoba teknik lain.
Untuk urusan itu saya selalu berusaha mencoba. Meski ada sahabat yang berkomentar tentang gaya penulisan saya yang menurutnya sangat personal. Seolah sedang curhat. Alangkah lebih indah bila tulisan yang saya bikin tidak terjebak pada personalitas saya, sarannya.
Baiklah. Barangkali memang begitu dan saya baik-baik saja. Dalam artian untuk beberapa bentuk tulisan, objektifitas penulis bisa lebih diutamakan dari pada sudut pandang personalnya.
Kemudian sahabat saya itu bertanya apa bercerita dan curhat itu berbeda?
Saya jawab, Beda niat. Saya tidak sedang bercanda dengan jawaban saya. Justru hal itulah yang mula-mula mendasari dan membedakan satu hal dengan hal lain, satu karya dengan karya lain.
Pak Danarto bikin gambar, kemudian disebutnya puisi. Maka jadilah karya itu puisi. Pak Huda di kampung saya juga bikin gambar, di papan tulis. Ia menyebutnya partitur. Mas-mas ISHARI memainkanya menjadi permainan perkusi yang elok.
Begitu juga dalam karya tulis. Sekehendak apa penulisnya. Meski juga ada kaidah lisansia puitika. Soal ini biar Pak Fuad saja yang menjelaskan.
Sahabat saya mengejar, mungkin tak puas dengan jawaban saya. "Dari sisi konten dan istilah?" Tanyanya mengejar.
"Tidak semua cerita apa adanya itu curhat. Kalau cerita punya konsep baik isi maupun pengemasannya. Sedang curhat itu lebih pada luapan perasaan. Itu kalau kamu sepakat." Jawab saya.
Apa tulisan saya ini terlalu personal sehingga tidak bisa dipahami orang yang tak mengenal saya? Atau, tulisan macam apa ini? Semrawut. Tidak selesai!
Entahlah. Sampai saat ini saya masih percaya bahwa menulis itu penting. Paling tidak, dengan menulis bisa mendokumentasikan pemikiran. Dari dokumentasi pemikiran itu bisa dilakukan kajian-kajian baik untuk memahami, memperbaiki maupun memberikan tawaran yang benar-benar berbeda.
Lewat menulis kita juga bisa berbagi pelajaran dan pengalaman. Satu hal yang mengganjal pikiran saya, bahwa seorang yang telah belajar dan mendapatkan suatu pelajaran (ilmu), maka orang itu punya dua tanggung jawab. Pertama menyampaikan dan yang kedua adalah mengamalkan.
Maka menulis setidaknya bisa menjadi salah satu alternatif upaya pelaksanaan tanggungjawab itu.
Selain itu, menulis juga bisa jadi media rekreasi. Bercerita, berbagi kisah dan bertamasya ke ruang-ruang cahaya.
Semoga ini tidak terlalu personal. Oya, cerpen juga "bebas dituliskan dari pintu manapun," kata Pak Fuad.
Selamat menikmati ngopi siang.
# Cemeng Coffee
13 Agustus 2016
01:16 WIB
Sebenarnya sudah lama aku ingin bercerita tentang tikus di kampung ku. Tapi karena satu dan lain hal, aku belum bisa menceritakannya. Tiap hari rasanya tubuhku terus bekerja. Hingga tak ada jeda untuk memberikan sedikit waktu pada pikiranku untuk berkembara dan berbagi kisah yang ia temui.
Kini, malam ini, ketika aku rasa bisa berdamai dengan pikiranku, segera ingin aku sampaikan kisah ini.
Kisah ini bermula ketika aku pulang kampung. Setelah sekian lama aku tinggal di kota lain untuk mencari peruntungan dengan membuka warung kecil-kecilan. Aku sebut warung kecil-kecilan karena memang tempat yang aku sewa untuk mendirikan warung hanya sebatas halaman sebuah toko elektronik yang tutup pukul tujuh malam. Di halaman toko elektronik itulah aku membuka warung pukul delapan malam.
Untungnya, lokasi toko elektronik itu tidak berada tepat di samping jalan raya. Selain harga sewanya melangit, aku juga tak terlalu suka dengan bising kendaraan.
Warung ku terletak di tepi jalan. Tapi bukan jalan raya. Setelah jalan raya Basuki Rahmad, ada pertigaan. Dari pertigaan itu masuk ke dalam. Ada pertigaan lagi. Dari pertigaan ke dua, belok kanan. Empat bangunan toko setelah pertigaan kedua tadi adalah lokasi warung ku berada.
Tempatnya lumayan strategis. Dekat dengan kos-kosan mahasiswa, rumah warga dan kampus. Tak terlampau bising seperti di tepi jalan raya yang desing mesin kendaraannya bisa memekakkan telinga.
Sejak pukul delapan malam sampai pukul tiga dini hari aku buka warung ku. Dengan gerobak dorong, aku bawa semua perlengkapan warung. Pukul enam sore gerobak telah siap. Usai shalat isya' aku mendorong gerobak ku berangkat ke halaman toko elektronik.
Pelanggan yang datang lumayan banyak. Rata-rata mahasiswa. Di awal pembukaan warung, aku menggratiskan kopi yang mereka pesan selama tiga hari berturut-turut sebagai promosi. Aku juga menyuruh mereka mengajak teman-temannya untuk ngopi di warung ku.
Sebagai orang asing yang tak kenal siapapun di kota itu, melakukan promo dengan menggratiskan minuman kepada pelanggan ternyata bisa menjadi cara yang ampuh.
Saat tiga hari promo gratis itu, warung ku dipenuhi oleh pelanggan yang rata-rata mahasiswa. Mereka datang berkelompok-kelompok. Ada yang datang dengan pacarnya. Biasanya mereka mencari tempat duduk di pojokan. Ada juga yang datang berdua. Setelah memesan minuman mereka seperti tengah merundingkan sesuatu. Membahas sesuatu yang tak usai-usai. Entah apa yang mereka bicarakan. Kadang mereka yang seperti mereka itu membawa setumpuk buku. Diletakkan di samping mereka duduk atau diatasnya meja. Dan mereka hanyut dalam obrolan hingga pagi menjelang.
Aku cukup senang dengan ramainya pelanggan yang datang. Tapi aku tekan dalam hati: bahwa ini hanya permulaan. Bisa jadi setelah tiga hari, pelanggan yang datang tak lebih dari dua orang yang pacaran hingga larut malam. Bisa saja terjadi. Karena mereka datang tiga hari ini untuk memanfaatkan ngopi gratis yang aku sediakan.
Aku belum bisa memastikan. Sebab warung baru berjalan beberapa hari. Dan, sudah menjadi tradisi yang umum bagi siapa saja yang membuka usaha, bahwa masa tiga bulan pertama adalah masa-masa penuh ujian. Kalau bisa melewati tiga bulan pertama itu, minimal kita bisa melihat bagaimana ritme usaha kita.
Maka setelah tiga bulan ini, aku bisa sedikit lega. Karena warung yang aku usahakan ini tak terlampau sepi. Memang naik-turun. Tapi masih dalam batas wajar. Bisa aku bilang wajar karena pengeluaran dan pemasukan ku masih bisa seimbang. Meski tak banyak yang bisa aku simpan, setidaknya cukup untuk biaya-biaya yang aku perlukan.
Dan setelah tiga bulan pertama ini terlewati, aku memutuskan untuk pulang kampung. Pertama, aku ingin mengunjungi orang tua ku. Selama ini hanya kabar lewat SMS yang bisa aku terima dari mereka. Itu pun aku harus menghubungi adikku terlebih dahulu. Maklum, orang tuaku terlalu sepuh untuk akrab dengan teknologi yang makin canggih.
Kedua, rasanya aku perlu mengajak satu orang untuk membantuku di warung. Dan, aku berencana untuk mencarinya di kampung halamanku.
Jadilah aku pulang kampung. Sengaja aku pilih waktu akhir pekan. Saat-saat seperti itu, mahasiswa kebidanan suka berjalan-jalan. Mereka pergi ke pantai atau gunung atau ke acara-acara di luar kampus yang mereka adakan saat akhir pekan. Kecuali mereka yang memang tidak punya acara, tak punya pacar atau bahkan tak punya banyak uang, mereka akan mendekam di kos-kosan. Maka akhir pekan menjadi pilihan waktu yang tepat.
Aku berangkat sekitar pukul delapan pagi. Butuh empat jam perjalanan untuk sampai di kota ku. Dari terminal aku naik ojek untuk sampai kampung halamanku. Setelah sepuluh menit duduk diatas motor, sampai juga di depan rumah.
Pukul setengah satu siang. Saat seperti itu, biasanya bapak masih di rumah. Bapak pulang dari sawah ketika speaker masjid sudah mengumandangkan qiro'ah sebelum adzan Dzuhur. Sampai di rumah bapak melepas lelah. Memutar letevisi atau sekedar ngobrol dengan Mbah atau ibu.
Mereka mandi bergantian sebelum shalat dzhuhur. Di rumah hanya ada satu kamar mandi dan satu toilet. Itu baru-baru ini saja. Dulu, sampai aku kelas tiga SMA, aku masih harus pergi ke belakang rumah untuk buang air besar di jamban, tepat di bawah pohon randu. Sekarang, bapak sudah membangun toilet di samping kamar mandi.
(bersambung. Sampai waktu yang aku tak tahu)
"Soal Al-Maidah ayat 51 itu gimana, sih, Mas?" Tanya teman saya. Malam itu saya sedang berkemas untuk perjalanan pendakian yang akan saya lakukan. Saya punya agenda rutin tiap bulan untuk mendaki ke puncak gunung Arjuna.
"Kenapa?" Tanya saya singkat sambil mengemasi barang-barang.
"Ya, kan, sekarang lagi booming perkara itu, Mas. Jadi semacam polemik di PILGUB DKI." Jawab teman saya.
"Terus kamu pengen ikutan bahas perkara itu?" Saya bertanya lagi.
"Bertele-tele, Sampyan, Mas. Kalau bisa jawab, ya jawab saja. Kalau tidak, ya bilang saja. Saya tidak akan mencela Sampeyan." Tukas teman saya tak enak. Ia menggilas rokok yang masih separuh di atas asbak.
"Mad, hutangku kemarin berapa?" Tanya saya tanpa menoleh. Teman saya yang telah beranjak tiba-tiba menghentikan langkah. Ia terlihat mengerutkan dahi.
"225.000, Mas." Jawabnya pendek.
"Itu," saya memberi isyarat dengan anggukan kepala dan pandangan yang jatuh pada jaket polar saya, "Coba cari dompetku di saku jaket."
Mad berjalan mengambil jaket yang saya gantung di balik pintu kamar, kemudian duduk di hadapan saya. Ia membuka saku jaket yang tertutup resleting.
"Ketemu?" Tanya saya. Ia masih mencari. Membolak balik jaket saya.
"Selama kamu reaktif, kamu akan sulit berpikir jernih, Mad." Celetuk saya.
"Maksudnya, Mas?" Mad berheti mencari dompet saya. Lehernya mengulur menyondongkan kepalanya ke depan.
"Pulang dari warungnya Mak Lis tadi kan kamu yang memasukkan dompetku ke tas pinggangku." Jawab saya mengingatkan.
"Oiya. Jiamput!" Umpat Mad. Ia melemparkan jaket saya.
"Menafsir Al-Qur'an bukan perkara mudah. Aku bukan orang yang punya kemampuan untuk menafsir Al-Qur'an. Kalau kamu benar-benar ingin mempelajarinya, belajarlah pada guru yang memahaminya." Terang saya sambil menggulung beberapa kaos. Mad tiba-tiba jenak menyimak.
"Kamu sendiri tau, ada asbabun nuzul, sebab-sebab turunnya suatu ayat Al-Qur'an. Ia turun berdasar konteks peristiwa yang terjadi. Dalam ilmu hadits ada asbabul wurut. Keduanya tak bisa dilepaskan dari latar belakang kehadirannya.
Kenapa kamu baru mau bertanya dan mencari tau saat seperti ini? Sebelumnya apa yang kamu cari tau?
Saat seperti ini, ketika pertarungan kepentingan begitu kuat terjadi, selalu masyarakat bawah yang dipecah. Sebab, semuanya punya kepentingan untuk mendapat dukungan. Sementara satu, bahkan bisa jadi semuanya, punya kepentingan supaya saingannya ditinggalkan. Maka dalam situasi semacam ini kita rawan diadu domba. Jika sudah ada yang menghalalkan segala cara, maka masyarakat bawahlah korbannya.
Yang seharusnya kita lakukan adalah menjadi pemilih yang cerdas."
"Tapi kan tidak semua orang cerdas, Mas," Potong Mad, "Lha wong orang-orang itu tidak semuanya bisa mengikuti berita. Buat makan hari ini saja kadang masih bingung nyari di mana." Mad melanjutkan. Ia mengambil lagi puntung rokok yang telah ia gilas di atas asbak, memijat dan meluruskan rokok yang bengkok itu.
"Menjaga kejernihan pikiran dengan ketenangan itu penting, Mad. Jangan mudah apalagi gegabah menyikapi persoalan. Aku lebih melihat pada masyarakat yang sedang menyikapi persoalan. Begitulah atmosfir massa, psikologi massa, mudah dipantik dan dibakar. Kalau kamu tak mau hangus terbakar, bersikaplah wajar." Tambah saya.
"Tapi sekarang kita dihadapkan pada pilihan, Mas. Kan mendesak." Mad menyangkal.
"Tuhan menyayangi kita, Mad. Makanya ia mengingatkan pada kita untuk kembali belajar dan terus belajar. Kalau kita sudah benar-benar mempelajarinya, kita tidak akan bingung menyikapi persoalan ini." Peringat saya. Mad menunduk. Asap putih mengepul dari mulutnya.
"Aku pinjam motormu, ya?" Tanya saya.
"Lho sampeyan berangkat sekarang?" Mad bertanya.
"Iya. Ini agenda rutinku. Kamu cobalah belajar istiqomah. Tak kurang, tak lebih." Pungkas saya.
Malang,11 Oktober 2016
Pukul 15.42 WIB
Syahdan, dahulu kala datanglah seorang laki-laki dan perempuan yang
tak diketahui dari mana asalnya. Merekalah sepasang suami istri yang kaya.
Mereka datang ke sebuah daerah yang penuh dikelilingi oleh rawa-rawa lalu
mendirikan tempat tinggal dan ladang untuk bercocok tanam di sana. Tak
seorangpun yang tinggal di daerah itu kecuali mereka berdua.
Dikemudian hari, segerombolan Kampak yang bengis dan kejam datang
untuk merampas harta benda mereka. Tanpa bisa melawan, sepasang suami istri itu
membiarkan harta benda mereka dirampas. Mereka tidak segan-segan untuk
menghajar korbannya yang berani melawan, bahkan Kampak itu tak segan membunuh
korbannya.
Maka untuk menghindari kejahatan Kampak itu lagi, sepasang suami
istri itu berpindah menuju ke arah timur dari tempat mereka tinggal semula.
Sepasang suami istri itu kemudian mendirikan tempat tinggal mereka yang baru.
Di sana pun mereka hanya tinggal berdua. Tampaknya mereka belum dikaruniai
keturunan oleh Gusti Pangeran. Jika saja sepasang suami istri itu
berketurunan dan beranak pinak yang banyak, pastilah dikemudian hari ramailah
tempat yang mereka tinggali itu. Akan banyak rumah berdiri di sana sebagai
tempat tinggal yang nyaman. Anak-anak mereka lahir, tumbuh, dan beranak pinak,
maka jadilah sebuah kampung kecil yang ramai.
Akan tetapi, tak disangka tak dikira, belum berapa lama sepasang
suami-istri tinggal di tempat baru mereka, Kampak-kampak yang kejam itu
mengetahui keberadaan sepasang suami istri itu. Mereka datang kembali dengan
tawa yang memekakan telinga. Wajah mereka seram apalagi dengan senjata-senjata
mereka yang tajam dan telah banyak menumpahkan darah korban. Kampak-kampak yang
bengis itu merampas sisa harta benda yang dimiliki oleh sepasang suami istri
yang malang.
Sepasang suami istri itu tidak putus asa. Mereka terus mencoba
menghindari ulah Kampak-kampak yang kejam. Sepasang suami istri itu
meninggalkan tempat tinggal mereka yang baru saja mereka bangun. Setelah mereka
tinggalkan, tempat itu kemudian hanya menjadi Ratan Mati, jalan mati. Apa yang
tersisa dari tempat tinggal sepasang suami-istri itu adalah sebuah jalan yang
mungkin saja akan menjadi jalan sebuah kampung kecil yang nyaman kalau saja
Kampak-kampak itu tidak datang dan merampas harta benda milik sepasang suami
istri itu.
Sepasang suami-istri itu kemudian berpindah menuju ke arah barat
daya dari tempat mereka tinggal sebelumnya. Tempat baru yang di datangi oleh
suami-istri itu berlembah-lembah dan lebih rendah dari tempat tinggal mereka
sebelumnya. Di sana mereka bersembunyi untuk menghindari ulah Kampak-kampak
yang merampas harta benda mereka.
Setelah dua kali mereka berpindah-pindah tempat untuk menghindari
ulah Kampak yang bengis dan kejam, mereka ndelik, berembuyi, untuk menghindari kekejaman
Kampak yang telah dua kali merampas harta benda mereka. Karena itu daerah
itu disebut Ndelikguno, wong ndelik ono gunane. Karena tempat itu
menjadi tempat sepasang suami istri itu bersembunyi dari Kampak yang bengis dan
kejam.
Setelah beberapa saat lamanya mereka tinggal di daerah itu, mereka
tidak lagi di datangi dan dirampas harta benda mereka oleh kampak yang bengis
dan kejam. Tapi di tempat baru itu sepasang suami-istri merasa kesulitan untuk
mendapatkan sumber air untuk kebutuhan sehari-hari.
Karena merasa telah aman dari Kampak-kampak yang bengis, sepasang
suami-istri itu memutuskan untuk kembali lagi ke daerah tempat mereka tinggal
semula yang dikelilingi oleh rawa-rawa. Di tempat yang penuh rawa itu mereka
membangun kembali tempat tinggal mereka.
Malam-malam, mereka memecah genteng menjadi kreweng kecil-kecil lalu
mereka masukkan ke dalam karung. Tiap malam mereka melakukanya hingga terkumpul
beberapa karung besar berisi kreweng. Karung itu untuk berjaga-jaga bila suatu
saat datang Kampak yang bengis dan kejam. Mereka pasti akan mengira
karung-karung itu berisi sisa harta milik tuan rumah, padahal karung-karung itu
berisi kereweng.
Suatu malam yang sepi, tiba-tiba Kampak yang bengis dan kejam itu
datang, mereka kemudian membawa beberapa karung yang ada di rumah sepasang
suami istri itu. Suami istri itu berharap saat Kampak-kampak itu membuka karung
itu mereka akan berpikir bahwa sepasang suami-istri itu tak lagi mempunyai
harta benda yang bisa mereka rampas. Dan sejak malam itu, tak pernah lagi
sepasang suami-istri itu didatangi oleh Kampak. Mereka kemudian tinggal dan
menetap di daerah tersebut.[]
Malang, 26 januari 2013
* Gusti Pangeran, ungkapan dalam bahasa daerah, berarti tuhan.
* Kampak adalah istilah untuk menyebut gerombolan perampok yang
bersenjatakan Kapak.
*Kreweng, pecahan kecil-kecil genteng yang terbuat dari tanah liat.
*Ndelikguno, nama suatu kampung di kecamatan Tikung kabupaten
Lamongan. Delik dalam bahasa daerah berarti bersembunyi, sedangkan guno dalam
bahasa daerah sama dengan guna atau manfaat dalam bahasa indonesia.
* Ratan, jalan.
* Wong ndelik ono gunane, ungkapan dalam bahasa daerah (jawa) yang
berarti orang bersembunyi ada guna atau manfaatnya.
seorang sahabat memintaku untuk membuatkannya sebuah puisi
Lalu ia memintaku membacakan untuknya
Tapi apa yang aku lakukan?
Aku tak menuliskan apa-apa
Aku juga tak membacakan apa-apa
“ Apa maksudmu ? ” ia bertanya
Aku merangkulnya
Memeluknya dengan erat
Aku bisikkan ditelinganya;
Kalian adalah puisi terindah yang pernah aku rasa !
Kalimetro, 27 februari 2011