Merasai lembut belaian angin
Aku tak ingin lagi berdebat akan sesuatu
Mengutuk segala kebisingan
Duhai diam
Bertahta engkau di kedalaman
Menguak firman dalam sajak tuhan
Malang, 26 Januari 2011
Aku tak ingin lagi berdebat akan sesuatu
Mengutuk segala kebisingan
Duhai diam
Bertahta engkau di kedalaman
Menguak firman dalam sajak tuhan
Malang, 26 Januari 2011
"Hari ini materi utamanya tentang cerita pendek. Secara teori cerpen dibuat dengan cara menentukan konsep dan tema, merumuskan konflik, menentukan alur serta memperkuat penokohan dan settingnya. Namun ia bebas dituliskan dari pintu manapun. Tapi yang pasti, konsep atau tema yang jelas adalah hal yang paling mutlak dalam sebuah cerita karena ia mengandung pesan yang hendak disampaikan pada pembaca."
Begitu tulis Pak Fuad Ramadhan dalam status facebooknya yang panjang. Tulisan itu ia beri judul "Tentang menulis cerpen."
Dalam tulisan itu Pak Fuad sedikit banyak menuturkan tentang semacam motifnya dalam menulis. Tapi itu tidak terlalu penting. Persoalan yang disampaikan Pak Fuad selajutnya saya rasa lebih penting. Pak Fuad mengurai perbedaan tentang Masturbasi atau Onani dengan menulis.
Jangan tergesa berpikir jorok. Ah, lebih baik silahkan baca sendiri tulisan Pak Fuad. Kalau tertarik silahkan berteman dan saling berbagi pemikiran. Saya akan bercerita saja. Masih mengenai menulis cerpen.
Saya pribadi sampai saat ini masih seringkali mengalami kesulitan untuk menulis cerpen. Kesulitan saya biasanya berhenti pada tahap pembangunan peristiwa.
Sebuah cerita bisa diilhami oleh apa saja. Bisa sebuah peristiwa yang memantik, pertanyaan yang menggelitik atau petuah-nasehat.
Saya sendiri tak terlalu sering menulis cerita pendek tapi kebetulan ilham yang sering mengusik saya untuk menulis cerita adalah pesan atau nasehat yang sampai pada diri saya. Baik sengaja atau tidak.
Nah, berangkat dari pesan itu kemudian saya mencoba membuat kerangka cerita. Setelah pesan yang hendak disampaikan sudah saya dapat, saya harus mengalirkan ruh pesan saya pada tiap elemen yang menyusun cerita.
Dulu ketika mengampu matakuliah Menulis Cerita dan Drama, Pak Indra dosen saya, menyampaikan bahwa pesan itu harus dialirkan ke seluruh elemen penyusun cerita. Proporsinya pun dibagi sesuai kebutuhan. Berapa persen kita titipkan pesan cerita kita ke karakter tokohnya, berapa persen kita titipkan ke latar peristiwa, suasana dan konflik cerita. Blablabla..
Sampai pada tahap ini kadang saya harus melamun cukup lama--kalau tidak boleh disebut berpikir--untuk menyusun bagaimana peristiwa yang akan saya gunakan untuk bercerita.
Pada tahap itu saya seringkali terjebak hingga kerangka cerita saya berhenti pada tahap kerangka yang belum selesai.
Kalau sudah begitu saya harus mengistirahatkan diri. Menuliskan kerangka itu agar tak hilang dan mungkin suatu saat saya bisa menyelesaikannya.
Soal teknik menulis, percayalah kita harus selalu mencoba dan mencoba. Menemukan, merapikan lalu mencoba teknik lain.
Untuk urusan itu saya selalu berusaha mencoba. Meski ada sahabat yang berkomentar tentang gaya penulisan saya yang menurutnya sangat personal. Seolah sedang curhat. Alangkah lebih indah bila tulisan yang saya bikin tidak terjebak pada personalitas saya, sarannya.
Baiklah. Barangkali memang begitu dan saya baik-baik saja. Dalam artian untuk beberapa bentuk tulisan, objektifitas penulis bisa lebih diutamakan dari pada sudut pandang personalnya.
Kemudian sahabat saya itu bertanya apa bercerita dan curhat itu berbeda?
Saya jawab, Beda niat. Saya tidak sedang bercanda dengan jawaban saya. Justru hal itulah yang mula-mula mendasari dan membedakan satu hal dengan hal lain, satu karya dengan karya lain.
Pak Danarto bikin gambar, kemudian disebutnya puisi. Maka jadilah karya itu puisi. Pak Huda di kampung saya juga bikin gambar, di papan tulis. Ia menyebutnya partitur. Mas-mas ISHARI memainkanya menjadi permainan perkusi yang elok.
Begitu juga dalam karya tulis. Sekehendak apa penulisnya. Meski juga ada kaidah lisansia puitika. Soal ini biar Pak Fuad saja yang menjelaskan.
Sahabat saya mengejar, mungkin tak puas dengan jawaban saya. "Dari sisi konten dan istilah?" Tanyanya mengejar.
"Tidak semua cerita apa adanya itu curhat. Kalau cerita punya konsep baik isi maupun pengemasannya. Sedang curhat itu lebih pada luapan perasaan. Itu kalau kamu sepakat." Jawab saya.
Apa tulisan saya ini terlalu personal sehingga tidak bisa dipahami orang yang tak mengenal saya? Atau, tulisan macam apa ini? Semrawut. Tidak selesai!
Entahlah. Sampai saat ini saya masih percaya bahwa menulis itu penting. Paling tidak, dengan menulis bisa mendokumentasikan pemikiran. Dari dokumentasi pemikiran itu bisa dilakukan kajian-kajian baik untuk memahami, memperbaiki maupun memberikan tawaran yang benar-benar berbeda.
Lewat menulis kita juga bisa berbagi pelajaran dan pengalaman. Satu hal yang mengganjal pikiran saya, bahwa seorang yang telah belajar dan mendapatkan suatu pelajaran (ilmu), maka orang itu punya dua tanggung jawab. Pertama menyampaikan dan yang kedua adalah mengamalkan.
Maka menulis setidaknya bisa menjadi salah satu alternatif upaya pelaksanaan tanggungjawab itu.
Selain itu, menulis juga bisa jadi media rekreasi. Bercerita, berbagi kisah dan bertamasya ke ruang-ruang cahaya.
Semoga ini tidak terlalu personal. Oya, cerpen juga "bebas dituliskan dari pintu manapun," kata Pak Fuad.
Selamat menikmati ngopi siang.
# Cemeng Coffee
13 Agustus 2016
01:16 WIB
Sebenarnya sudah lama aku ingin bercerita tentang tikus di kampung ku. Tapi karena satu dan lain hal, aku belum bisa menceritakannya. Tiap hari rasanya tubuhku terus bekerja. Hingga tak ada jeda untuk memberikan sedikit waktu pada pikiranku untuk berkembara dan berbagi kisah yang ia temui.
Kini, malam ini, ketika aku rasa bisa berdamai dengan pikiranku, segera ingin aku sampaikan kisah ini.
Kisah ini bermula ketika aku pulang kampung. Setelah sekian lama aku tinggal di kota lain untuk mencari peruntungan dengan membuka warung kecil-kecilan. Aku sebut warung kecil-kecilan karena memang tempat yang aku sewa untuk mendirikan warung hanya sebatas halaman sebuah toko elektronik yang tutup pukul tujuh malam. Di halaman toko elektronik itulah aku membuka warung pukul delapan malam.
Untungnya, lokasi toko elektronik itu tidak berada tepat di samping jalan raya. Selain harga sewanya melangit, aku juga tak terlalu suka dengan bising kendaraan.
Warung ku terletak di tepi jalan. Tapi bukan jalan raya. Setelah jalan raya Basuki Rahmad, ada pertigaan. Dari pertigaan itu masuk ke dalam. Ada pertigaan lagi. Dari pertigaan ke dua, belok kanan. Empat bangunan toko setelah pertigaan kedua tadi adalah lokasi warung ku berada.
Tempatnya lumayan strategis. Dekat dengan kos-kosan mahasiswa, rumah warga dan kampus. Tak terlampau bising seperti di tepi jalan raya yang desing mesin kendaraannya bisa memekakkan telinga.
Sejak pukul delapan malam sampai pukul tiga dini hari aku buka warung ku. Dengan gerobak dorong, aku bawa semua perlengkapan warung. Pukul enam sore gerobak telah siap. Usai shalat isya' aku mendorong gerobak ku berangkat ke halaman toko elektronik.
Pelanggan yang datang lumayan banyak. Rata-rata mahasiswa. Di awal pembukaan warung, aku menggratiskan kopi yang mereka pesan selama tiga hari berturut-turut sebagai promosi. Aku juga menyuruh mereka mengajak teman-temannya untuk ngopi di warung ku.
Sebagai orang asing yang tak kenal siapapun di kota itu, melakukan promo dengan menggratiskan minuman kepada pelanggan ternyata bisa menjadi cara yang ampuh.
Saat tiga hari promo gratis itu, warung ku dipenuhi oleh pelanggan yang rata-rata mahasiswa. Mereka datang berkelompok-kelompok. Ada yang datang dengan pacarnya. Biasanya mereka mencari tempat duduk di pojokan. Ada juga yang datang berdua. Setelah memesan minuman mereka seperti tengah merundingkan sesuatu. Membahas sesuatu yang tak usai-usai. Entah apa yang mereka bicarakan. Kadang mereka yang seperti mereka itu membawa setumpuk buku. Diletakkan di samping mereka duduk atau diatasnya meja. Dan mereka hanyut dalam obrolan hingga pagi menjelang.
Aku cukup senang dengan ramainya pelanggan yang datang. Tapi aku tekan dalam hati: bahwa ini hanya permulaan. Bisa jadi setelah tiga hari, pelanggan yang datang tak lebih dari dua orang yang pacaran hingga larut malam. Bisa saja terjadi. Karena mereka datang tiga hari ini untuk memanfaatkan ngopi gratis yang aku sediakan.
Aku belum bisa memastikan. Sebab warung baru berjalan beberapa hari. Dan, sudah menjadi tradisi yang umum bagi siapa saja yang membuka usaha, bahwa masa tiga bulan pertama adalah masa-masa penuh ujian. Kalau bisa melewati tiga bulan pertama itu, minimal kita bisa melihat bagaimana ritme usaha kita.
Maka setelah tiga bulan ini, aku bisa sedikit lega. Karena warung yang aku usahakan ini tak terlampau sepi. Memang naik-turun. Tapi masih dalam batas wajar. Bisa aku bilang wajar karena pengeluaran dan pemasukan ku masih bisa seimbang. Meski tak banyak yang bisa aku simpan, setidaknya cukup untuk biaya-biaya yang aku perlukan.
Dan setelah tiga bulan pertama ini terlewati, aku memutuskan untuk pulang kampung. Pertama, aku ingin mengunjungi orang tua ku. Selama ini hanya kabar lewat SMS yang bisa aku terima dari mereka. Itu pun aku harus menghubungi adikku terlebih dahulu. Maklum, orang tuaku terlalu sepuh untuk akrab dengan teknologi yang makin canggih.
Kedua, rasanya aku perlu mengajak satu orang untuk membantuku di warung. Dan, aku berencana untuk mencarinya di kampung halamanku.
Jadilah aku pulang kampung. Sengaja aku pilih waktu akhir pekan. Saat-saat seperti itu, mahasiswa kebidanan suka berjalan-jalan. Mereka pergi ke pantai atau gunung atau ke acara-acara di luar kampus yang mereka adakan saat akhir pekan. Kecuali mereka yang memang tidak punya acara, tak punya pacar atau bahkan tak punya banyak uang, mereka akan mendekam di kos-kosan. Maka akhir pekan menjadi pilihan waktu yang tepat.
Aku berangkat sekitar pukul delapan pagi. Butuh empat jam perjalanan untuk sampai di kota ku. Dari terminal aku naik ojek untuk sampai kampung halamanku. Setelah sepuluh menit duduk diatas motor, sampai juga di depan rumah.
Pukul setengah satu siang. Saat seperti itu, biasanya bapak masih di rumah. Bapak pulang dari sawah ketika speaker masjid sudah mengumandangkan qiro'ah sebelum adzan Dzuhur. Sampai di rumah bapak melepas lelah. Memutar letevisi atau sekedar ngobrol dengan Mbah atau ibu.
Mereka mandi bergantian sebelum shalat dzhuhur. Di rumah hanya ada satu kamar mandi dan satu toilet. Itu baru-baru ini saja. Dulu, sampai aku kelas tiga SMA, aku masih harus pergi ke belakang rumah untuk buang air besar di jamban, tepat di bawah pohon randu. Sekarang, bapak sudah membangun toilet di samping kamar mandi.
(bersambung. Sampai waktu yang aku tak tahu)
"Soal Al-Maidah ayat 51 itu gimana, sih, Mas?" Tanya teman saya. Malam itu saya sedang berkemas untuk perjalanan pendakian yang akan saya lakukan. Saya punya agenda rutin tiap bulan untuk mendaki ke puncak gunung Arjuna.
"Kenapa?" Tanya saya singkat sambil mengemasi barang-barang.
"Ya, kan, sekarang lagi booming perkara itu, Mas. Jadi semacam polemik di PILGUB DKI." Jawab teman saya.
"Terus kamu pengen ikutan bahas perkara itu?" Saya bertanya lagi.
"Bertele-tele, Sampyan, Mas. Kalau bisa jawab, ya jawab saja. Kalau tidak, ya bilang saja. Saya tidak akan mencela Sampeyan." Tukas teman saya tak enak. Ia menggilas rokok yang masih separuh di atas asbak.
"Mad, hutangku kemarin berapa?" Tanya saya tanpa menoleh. Teman saya yang telah beranjak tiba-tiba menghentikan langkah. Ia terlihat mengerutkan dahi.
"225.000, Mas." Jawabnya pendek.
"Itu," saya memberi isyarat dengan anggukan kepala dan pandangan yang jatuh pada jaket polar saya, "Coba cari dompetku di saku jaket."
Mad berjalan mengambil jaket yang saya gantung di balik pintu kamar, kemudian duduk di hadapan saya. Ia membuka saku jaket yang tertutup resleting.
"Ketemu?" Tanya saya. Ia masih mencari. Membolak balik jaket saya.
"Selama kamu reaktif, kamu akan sulit berpikir jernih, Mad." Celetuk saya.
"Maksudnya, Mas?" Mad berheti mencari dompet saya. Lehernya mengulur menyondongkan kepalanya ke depan.
"Pulang dari warungnya Mak Lis tadi kan kamu yang memasukkan dompetku ke tas pinggangku." Jawab saya mengingatkan.
"Oiya. Jiamput!" Umpat Mad. Ia melemparkan jaket saya.
"Menafsir Al-Qur'an bukan perkara mudah. Aku bukan orang yang punya kemampuan untuk menafsir Al-Qur'an. Kalau kamu benar-benar ingin mempelajarinya, belajarlah pada guru yang memahaminya." Terang saya sambil menggulung beberapa kaos. Mad tiba-tiba jenak menyimak.
"Kamu sendiri tau, ada asbabun nuzul, sebab-sebab turunnya suatu ayat Al-Qur'an. Ia turun berdasar konteks peristiwa yang terjadi. Dalam ilmu hadits ada asbabul wurut. Keduanya tak bisa dilepaskan dari latar belakang kehadirannya.
Kenapa kamu baru mau bertanya dan mencari tau saat seperti ini? Sebelumnya apa yang kamu cari tau?
Saat seperti ini, ketika pertarungan kepentingan begitu kuat terjadi, selalu masyarakat bawah yang dipecah. Sebab, semuanya punya kepentingan untuk mendapat dukungan. Sementara satu, bahkan bisa jadi semuanya, punya kepentingan supaya saingannya ditinggalkan. Maka dalam situasi semacam ini kita rawan diadu domba. Jika sudah ada yang menghalalkan segala cara, maka masyarakat bawahlah korbannya.
Yang seharusnya kita lakukan adalah menjadi pemilih yang cerdas."
"Tapi kan tidak semua orang cerdas, Mas," Potong Mad, "Lha wong orang-orang itu tidak semuanya bisa mengikuti berita. Buat makan hari ini saja kadang masih bingung nyari di mana." Mad melanjutkan. Ia mengambil lagi puntung rokok yang telah ia gilas di atas asbak, memijat dan meluruskan rokok yang bengkok itu.
"Menjaga kejernihan pikiran dengan ketenangan itu penting, Mad. Jangan mudah apalagi gegabah menyikapi persoalan. Aku lebih melihat pada masyarakat yang sedang menyikapi persoalan. Begitulah atmosfir massa, psikologi massa, mudah dipantik dan dibakar. Kalau kamu tak mau hangus terbakar, bersikaplah wajar." Tambah saya.
"Tapi sekarang kita dihadapkan pada pilihan, Mas. Kan mendesak." Mad menyangkal.
"Tuhan menyayangi kita, Mad. Makanya ia mengingatkan pada kita untuk kembali belajar dan terus belajar. Kalau kita sudah benar-benar mempelajarinya, kita tidak akan bingung menyikapi persoalan ini." Peringat saya. Mad menunduk. Asap putih mengepul dari mulutnya.
"Aku pinjam motormu, ya?" Tanya saya.
"Lho sampeyan berangkat sekarang?" Mad bertanya.
"Iya. Ini agenda rutinku. Kamu cobalah belajar istiqomah. Tak kurang, tak lebih." Pungkas saya.
Malang,11 Oktober 2016
Pukul 15.42 WIB
Oleh mohammad hs
Syahdan, dahulu kala
datanglah seorang laki-laki dan perempuan yang tak diketahui dari mana asalnya,
merekalah sepasang suami istri. Sepasang suami-istri itu adalah orang yang
kaya. Mereka datang ke sebuah daerah yang penuh dikelilingi oleh rawa-rawa lalu
mendirikan tempat tinggal dan ladang untuk bercocok tanam di sana. Tak
seorangpun yang tinggal di daerah itu kecuali mereka berdua.
Dikemudian hari,
segerombolan kampak yang bengis dan kejam datang untuk merampas harta benda
mereka. Tanpa bisa melawan, sepasang suami istri itu membiarkan harta bendanya
dirampas oleh kampak. Mereka tidak segan-segan untuk menghajar korbannya yang
berani melawan, bahkan kampak itu tak membunuh korbannya.
Maka untuk menghindari
kejahatan kampak itu lagi, sepasang suami istri itu berpindah menuju ke arah
timur dari tempat mereka tinggal semula. Sepasang suami istri itu kemudian
mendirikan tempat tinggal mereka yang baru. Di sana pun mereka hanya tinggal
berdua, tampaknya mereka belum dikaruniai keturunan oleh Gusti Pangeran. Jika
saja sepasang suami istri itu berketurunan dan beranak pinak yang banyak,
pastilah dikemudian hari ramailah tempat yang mereka tinggali itu. Akan banyak
rumah berdiri disana sebagai tempat tinggal yang nyaman. Anak-anak mereka lahir
tumbuh dan beranak pinak, maka jadilah sebuah kampung kecil yang ramai di sana.
Akan tetapi, tak disangka
tak dikira, belum berapa lama sepasang suami-istri tinggal di tempat baru
mereka, kampak-kampak yang kejam itu mengetahui keberadaan sepasang suami istri
itu. Mereka datang kembali dengan tawa yang memekakan telinga. Wajah mereka
seram apalagi dengan senjata-senjata mereka yang tajam dan telah banyak
menumpahkan darah korban. Kampak-kampak yang bengis itu merampas sisa harta
benda yang dimiliki oleh sepasang suami istri yang malang.
Tetapi sepasang suami
istri itu tidak putus asa, mereka terus mencoba menghindari ulah kampak-kampak
yang kejam. Sepasang suami istri itu meninggalkan tempat tinggal mereka yang
baru saja mereka bangun kembali. Tempat itu kemudian hanya menjadi ratan mati,
jalan mati, yang tersisa dari tempat tinggal sepasang suami-istri itu adalah
sebuah jalan yang mungkin saja akan menjadi jalan sebuah kampung kecil yang
nyaman kalau saja kampak-kampak itu tidak datang dan merampas harta benda milik
sepasang suami istri itu.
Sepasang suami-istri itu
kemudian menuju ke arah barat daya dari tempat mereka tinggal sebelumnya.
Tempat baru yang di datangi oleh suami-istri itu berlembah-lembah dan lebih
rendah dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Di sana mereka bersembunyi untuk
menghindari ulah kampak-kampak yang merampas harta benda mereka.
Setelah dua kali mereka
berpindah-pindah tempat untuk menghindari ulah kampak yang bengis dan kejam,
mereka ndelik, berembuyi, untuk menghindari kekejaman kampak-kampak yang telah
dua kali merampas harta benda mereka. Karena itu daerah itu dinamai Ndelikguno, wong ndelik ono gunane.
Karena tempat itu menjadi tempat sepasang suami istri itu bersembunyi dari
kampak yang bengis dan kejam.
Setelah beberapa saat
lamanya mereka tinggal di daerah itu, mereka tidak lagi didatangi dan dirampas
harta benda mereka oleh kampak yang bengis dan kejam. Namun di tempat itu
sepasang suami-istri merasa kesulitan untuk mendapatkan sumber air untuk
kehidupannyasehari-hari.
Karena merasa telah aman
dari kampak-kampak yang bengis, sepasang suami-istri itu kemudian kembali lagi
ke daerah tempat mereka tinggal semula, yang penuh dikelilingi oleh rawa-rawa.
Kemudian mereka membangun lagi tempat tinggal mereka disana.
Malam-malam, mereka
memecah genteng menjadi kreweng kecil-kecil lalu mereka masukkan ke dalam
karung. Tiap malam mereka melakukanya sampai terkumpullah beberapa karung besar
berisi kreweng. Karung itu untuk berjaga-jaga bila suatu saat datang kampak
yang bengis dan kejam. Mereka pasti akan mengira karung-karung itu berisi sisa
harta milik tuan rumah, padahal karung-karung itu berisi kereweng.
Suatu malam yang sepi,
tiba-tiba kampak yang bengis dan kejam itu datang, mereka kemudian membawa
beberapa karung yang ada di rumah sepasang suami istri itu. Suami istri itu
berharap kampak-kampak itu berpikir sepasang suami-istri itu tak mempunyai
harta benda yang bisa mereka rampas lagi. Dan sejak malam itu, tak pernah lagi
sepasang suami-istri itu didatangi oleh kampak. Mereka kemudian tinggal dan
menetap di daerah tersebut.[]
Malang, 26 januari 2013
* Gusti Pangeran,
ungkapan dalam bahasa daerah, berarti tuhan.
* Kampak adalah istilah
untuk menyebut gerombolan perampok yang bersenjatakan Kapak.
*Kreweng, pecahan
kecil-kecil genteng yang terbuat dari tanah liat.
*Ndelikguno, nama suatu
kampung di kecamatan Tikung kabupaten Lamongan. Delik dalam bahasa daerah
berarti bersembunyi, sedangkan guno dalam bahasa daerah sama dengan guna dalam
bahasa indonesia.
* Ratan, jalan.
* Wong ndelik ono gunane,
ungkapan dalam bahasa daerah (jawa) yang berarti orang bersembunyi ada gunanya.
Ramanda dan ibunda tercinta, ananda tulis surat ini dengan kerinduan mendalam terhadap ramanda dan ibunda tercinta. Beserta surat ini pula, ananda kirimkan do’a supaya ramanda dan ibunda tercinta selalu terjaga dalam keadaan sehat wal afiyat.
Ramanda dan ibunda tercinta, di tanah seberang ini ananda telah melewati sekian purnama dan musim. Namun sampai detik ini, kasih sayang ramanda dan ibunda tercinta tak bisa sedikitpun luntur dari hati ananda. wajah ramanda dan ibunda tercinta senantiasa menampak dalam ananda menjalani hidup disini. Ramanda dan ibunda tercinta seolah menjadi pagar yang melindungi ananda dari angkara dan sekian pantangan yang harus ananda tinggalkan.
Ananda benar-benar tak bisa lupa dengan semua yang telah banyak ananda peroleh dari ramanda dan ibunda tercinta ditanah kelahiran sebagai bekal ananda untuk hidup disini. Bahkan sampai saat ini, jika gerimis atau hujan tengah mendaulat makaampoyang ananda cium adalah harum khas tanah kelahiran ananda. Kemudian akan muncul dengan teratur gambaran tanah kelahiran ananda, wajah ramanda dan ibunda tercinta. Semua itu akan mengingatkan bahwa ananda sekarang telah berada jauh dari tanah kelahiran, jauh dari ramanda dan ibunda tercinta. Dengan begitu ananda akan senantiasa menatap hidup yang ananda jalani dengan pertimbangan matang. Sungguh ananda tak ingin menjadi anak durhaka dengan mengecewakan ramanda dan ibunda tercinta.
Hatur beribu maaf ananda sampaikan kepada ramanda dan ibunda tercinta. Jika sampai saat ini ananda belum bisa persembahkan setetes keringat untuk merekahkan senyum ramanda dan ibunda tercinta. Ini adalah jalan yang ananda pilih, semoga ramanda dan ibunda tecinta mengerti. Ananda mohon ridlo ramanda dan ibunda tercinta untuk menjalani takdir ananda, mengembara dijalan yang telah ananda pilih.
Malang, 2012
Seekor anjing duduk dengan tenang. Ia memegang sebilah garpu dan pisau berkilau tajam. Di hadapannya, sebuah hati begitu segar dan merah tersaji. Ia menusuk hati itu dengan garpunya yang tajam dan mengirisnya dengan perlahan. Lalu ia masukkan ke mulut dan mengunyahnya dengan sangat lembut. Matanya terpejam, hidungnya mengendus dalam. Merasakan tiap serat hati yang terurai dalam mulutnya. Darah dari hati itu berlumeran membasai mulutnya. Lalu ia menelan hati segar itu bersama liurnya yang tak bisa lagi ia bendung.
Sedang kau tersungkur berlumuran darah dengan dada yang bolong terkoyak tanpa bisa berbuat apa-apa. Hanya matamu yang terus terbelalak tajam melihat perjamuan seekor anjing di hadapanmu.
Malang, 2012
engkau
menampak kuat dalam samar
mengakrab dalam jauh
bahasa kita adalah kediaman dalam masingmasing
akulah engkau yang sebagian
Malang, 14 Ramadlan 1432 H
Suatu saat,
seorang sahabat memintaku untuk membuatkannya sebuah puisi
Lalu ia memintaku membacakan untuknya
Tapi apa yang aku lakukan?
Aku tak menuliskan apa-apa
Aku juga tak membacakan apa-apa
“ Apa maksudmu ? ” ia bertanya
Aku merangkulnya
Memeluknya dengan erat
Aku bisikkan ditelinganya;
Kalian adalah puisi terindah yang pernah aku rasa !
Kalimetro, 27 februari 2011
seorang sahabat memintaku untuk membuatkannya sebuah puisi
Lalu ia memintaku membacakan untuknya
Tapi apa yang aku lakukan?
Aku tak menuliskan apa-apa
Aku juga tak membacakan apa-apa
“ Apa maksudmu ? ” ia bertanya
Aku merangkulnya
Memeluknya dengan erat
Aku bisikkan ditelinganya;
Kalian adalah puisi terindah yang pernah aku rasa !
Kalimetro, 27 februari 2011