Senin
lalu, 21 Desember 2015, kami bertiga melawat ke pasuruan. Aku, Gussani dan
Ilham. Siang hari sekitar pukul 10 kami berangkat dari PP. Al-Islahiyah
Singosari. Sejak semalam sebelumnya (20/12/2015) kami memang telah berada
disana, mengunjungi sahabat-sahabat yang sedang melaksanakan Sekolah Aswaja.
Sebelum acara itu ditutup, kami berangkat ke Pasuruan. Mobil yang kami kendarai
dikemudikan oleh Gussani. Ilham duduk di sebelahnya. Dan di bangku tengah aku
merebah seorang diri. Beberapa kali kaget terbangun. Tapi tak terasa perjalanan
akhirnya sampai di kota Pasuruan.
Di
jantung kota itu, pusaran manusia menyesaki ruang-ruang yang biasanya lengang.
Mungkin ratusan ribu jumlah manusia yang berkumpul siang itu. Hampir semuanya
berpakaian serba putih. Siang itu kami menghadiri haul KH. Abdul Hamid bin
Abdullah bin Umar, atau yang masyhur dipanggil Mbah Hamid Pasuruan. Saking
padatnya jumlah jamaah yang hadir dengan berbagai macam kendaraan, serta
menjamurnya lapak-lapak pedagang yang ingin meraup berkah, kami berkali-kali
gagal mendapatkan tempat parkir. Kami berputar beberapa kali untuk
mendapatkannya. Itu pun jauh dari lokasi acara yang sedang berlangsung.
Setelah
memarkir kendaraan, kami berjalan lumayan jauh. Sampai di lokasi acara sudah
sampai pada sesi do'a. Mendekati masjid jami' dengan tangan menengadah kami
berjalan menemui sahabat kami yang telah berangkat malam sebelumnya--Gus Rozin
dan Gus Faisol.
Di
depan pintu masjid jami' kami berjumpa dengan Gus Faisol yang tengah berdiri
dengan tangan menengadah bersama dua orang temannya. Kami berjabat tangan
kemudian bersama-sama berdiri menengadah. Mengamini doa yang tengah
dilantunkan. Panas yang menjerang siang itu tak menyurutkan niat jamaah yang
datang untuk menghormat. Tenda yang disediakan tak cukup menampung luapan
jamaah yang hadir. Dengan alas koran, plastik, sandal dan lain sebagainya
jamaah khidmad mengikuti acara yang sedang berlangsung. Tak jarang dari mereka
yang memakai payung, sorban atau koran untuk sekedar menutupi kepala mereka
dari sengatan matahari yang begitu terik.
Usai
do'a dilantunkan, acara selesai. Jamaah yang hadir bubar. Gus Faisol mengajak
kami untuk mampir ke rumah salah satu teman. Kami berjalan cukup jauh. Melewati
jalan raya, gang, menyebrangi jembatan hingga sampailah kami di Jalan Jawa yang
sekarang telah diganti nama menjadi Jl. KH. Hamid. Kami berbelok melewati gang
kecil kemudian kami melewati gerbang yang menghadap pada sebuah sekat papan
yang sengaja dipasang permanen menghadapi gerbang yang memang tak berdaun
pintu. Di sebelah kanan, berdiri sebuah mushalah. Dibalik sekat itu terdapat
sebuah rumah--Gus Faisol menyebutnya gotakan atau kamar--tempat kami disambut
dan dipersilahkan beristirahat oleh tuan rumah.
Belakangan
aku baru mengetahui ternyata sang tuan rumah adalah keluarga keturunan Mbah
Slagah. Mbah Slagah bernama asli Hasan Sanusi, putra Mbah Sa’ad bin Syakaruddin
keturunan dari Sayyid Sholeh Semendi, kakak kandung Sayyidah Khodijah Binti
Hasanuddin Bin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di
ruangan itu kami melepas lelah setelah semalam suntuk begadang di Singosari
kemudian sowan ke KH. Munsif Nachrowi dan berlanjut pada perjalanan kami ke
Pasuruan. Kopi segera disajikan menemani obrolan ringan kami. Batang-batang
rokok yang mengepulkan asap senantiasa menyertai peristiwa yang terjadi siang
itu.
Siang
itu kami bercerita panjang lebar. Lebih tepatnya saya menyimak cerita panjang
lebar. Baik tentang Mbah Hamid sendiri, para sesepuh, para alim, maupun
cerita-cerita konyol keseharian yang kerap terjadi. Obrolan yang paling gairah
adalah sesi rerasan. Rerasan siang itu mengobok-obok soal orang-orang
berkedudukan yang dalam kacamata saya yang awam ini adalah orang-orang yang
seharusnya dihormati. Mereka yang menjadi bahan rerasan kami adalah gus kiyai
habib. Topik yang dirasani seputar keunikan, kekonyolan dan beberapa
keterlaluannya mereka. Ada yang terlalu gila hormat, ada yang terlalu gila
kesempurnaan, dan keterlaluan-keterlaluan yang seirama. Sehingga lahirlah
julukan-julukan dari sang tuan rumah yang sangat mak nyus. Ada julukan Gus
Habib kepada salah seorang habib. Ada julukan Gus Malaikat dan masih banyak
lagi julukan yang lain.
Guyonan
yang dilontarkan pun sarkas dan sedikit frontal. Bahkan ketika Gus Faisol
mengeluarkan sebuah kitab untuk ditunjukkan ke tuan rumah kemudian bertanya
bagaimana cara dan kepada siapa ia harus ngaji kitab tersebut tuan rumah
membuka kemudian membaca, membolak balik kitab tersebut. Tanggapan sang tuan
rumah justru jauh dari perkiraan. "Bagus, Col. Bagus kitab ini," kata
beliau mengawali. Kami memang lebih akrab memanggil Gus Faisol dengan sebutan
Icol.
"Tebal
juga kitabnya. Orang bisa menulis kitab setelab ini bukan orang biasa-biasa,
Col," lanjut beliau. Kami menyimak seksama meski tak tahu kitab apa itu
dan berisi apa di dalamnya. "Orang yang bisa menulis kitab setebal ini,
berati orang itu P-E-N-G-A-N-G-G-U-R-A-N-!" Hiyak! Tawa kami pecah.
Sialan. Beberapa hari di rumah itu rasanya pikiranku dibolak-balik.
Dibentur-benturkan. Dioyak-oyak. Sungguh aduhai rasanya. Di akhir pertemuan ada
pesan yang disematkan untuk menjaga kewarasan kami sebelum benar-benar
meninggalkan tempat itu, "Ojo gumunan, ojo getunan, ojo aleman."
2 komentar
yA aLLAH, LAMA TAK JUMPA DIKAU KEMANA SAJA?
ReplyDeleteYaawoh iya ya guus.. lama tak jumpa. Minta jataaaah.. wkwk..
ReplyDelete