AKU MELIHAT TUHAN DALAM DIRIMU



Baru saja (12/11/15) kami ngobrol santai di Tri Di—begitu kami menyebut Sanggar yang terletak tepat di sebelah perempatan gang dengan nomor 3D ini—bersama Sahabat Habiburrahan, Ahsani, Ilham, Mahfud, Fahmi, Najib, Faisol, In'amul Wafie atau yang lebih akrab kami sapa Pak Dosen. Hadir pula sahabati, Masrifah. Sedang sahabat Hengki harus hengkang terlebih dahulu usai tahlil dan do'a bersama.

Di Malem Jemuah yang penuh barakah ini, ketika khalayak banyak bicara tentang Sunah Rasul, sahabat-sahabat ini juga tak mau ketinggalan. Jika umumnya konco-konco remaja lebih memilih berlomba—Update Status—melakukan Sunnah Rasul, maka sahabat-sahabat ini justru lebih memilih untuk melaksanakan sebagian dari kewajibannya sebagai seorang muslim: B E L A J A R !

Ya, belajar adalah sebagian dari kewajiban orang islam. Dalam salah satu hadits diriwayatkan bahwa mencari ilmu (belajar) itu wajib bagi tiap muslim laki-perempuan. Masih dari hadits juga, ada satu riwayat agar manusia mencari ilmu minal mahdi ilal lahdi. Bahkan dalam banyak ayat sering kita jumpai—kalau sering baca al-qur'an—pertanyaan yang sungguh sangat aduhai, ia datang langsung dari Allah Swt, "Apakah kamu tidak berfikir?", "Apakah kamu tidak berakal?" dsb-dsb.

Setidaknya ada empat ilmu dari sekian ilmu Allah yang sampai saat ini masih menjadi tabir dan entah kapan akan terkuak. Ilmu atau pengetahuan itu berkaitan dengan ketetapan manusia yang menjadi ciptaanNya.

Kita mengetahui ada empat hal yang melekat pada manusia, yaitu Lahir, Rizki, Jodoh dan Mati. Keempat hal itu yang selama ini kita yakini tak terpisahkan dan melekat pada diri manusia. Keempatnya adalah tabir yang rahasianya hanya diketahui olehNya.

Satu dari keempat hal itulah yang malam ini menjadi semacam tema obrolan santai kami. Usaitahlil dan do'a bersama khususnya untuk Almarhum Mas Rofiq, semoga beliau diberi tempat yang mulia di sisi-Nya, Sahabat Habib mengawali obrolan santai kami dengan kalimat "Aku melihat Tuhan dalam dirimu..".

Dan di Malem Jemuah yang penuh barakah ini, obrolan yang dibawa oleh Sahabat Habib—panggilan akrabnya “Cil”—adalaah, tepat sekali, JODOH!

Di tengah kegelisahannya melihat pasangan-pacaran dan dedek-dedek maba yang kian tahun kian menggoda, Ketimpangan di sekelilingnya, di dekatnya, di kanan-kirinya. Bahkan terjadi pada dirinya. Coba banyangkan betttttaapa gellli-sah luar dalam sahabat kita yang sempat memimpin organisasi kemahasiswaan tingkat cabang di kota malang ini.

Dengan berurai air mata—buaya—ia bertutur mengurai kisah-kisah asmaranya yang selalu saja gagal ia pertahankan. Segala teori dan konsep baik klasik maupun modern yang ia kuasai, diskusi-diskusi dan simposium yang ia gawangi nyatanya tak mampu mengantarkan sahabat kita ini pada kemapanan (pilih sesuai penilaian sahabat2: ekonomi-asmara).

Pada titik ini, segala kegelisahan sahabat Habib menyublim, mengendapkan kristal-kristal pertanyaan 'kritis', "Lalu dimana sebenarnya letak jodoh (saya) itu? Di tangan Tuhan atau di tangan (kiri-kanan) manusia?" Tanya sahabat Habib.

Sampai pada titik ini, semua yang hadir menundukkan kepala. Kami semua turut berduka atas nestapa dan nelangsa yang harus dihadapi sahabat seperjuangan kami itu.

Tapi bagi sahabat Habib tidak ada putus asa. Yang ada cuma putus cinta. Ee, maksudnya gagal asmara bukan akhir dari segalanya. Sahabat Habib punya semboyan, "Patah tumbuh, hilang berganti. Mati satu, tumbuh seribu. Putus lagi, jaring lagi." Kira-kira begitu.

Sahabat Habib menyikapinya sebagai persoalan yang harus diselesaikan. Masalah yang harus dituntaskan. Itu saja. Karena disitulah letak esensi kehidupan, penyelesaian masalah. Tanpa masalah, rasanya tiada hidup. Dan masalah tanpa penyelesaian, rasanya seperti punya tapi tak berdaya. Lalu apa artinya punya, eh hidup?!

Sungguh begitu tajam dan lantang kau menghadapi hidup (yang serasa tak pernah memihakmu) sahabat!

Saya jadi teringat, Nietsche pernah menulis bahwa ia begitu mengagumi kaum Dionysian yang tetap bisa tertawa dan tegar menghadapi hidup yang kejam!

Menanggapinya, saya hanya bisa mengingatkan, ada sisi lain yang harus kita waspadai. Bahwa tentang nasib sahabat Habib yang terus-terusan di tikam cinta, dan semerawutnya gaya serta daya pacaran-berpasangan kaum muda saat ini yang menjadi begitu mainstream, ada kekuatan dari tangan tak terlihat! Ada agenda global The Invisible Hand!

Ketamakan manusia yang meraja dan mendaulat nalar! Agenda besar kapitalisme global yang menyisir dan merusak semua aspek kehidupan, bahkan sampai pada persoalan asmara pun tak luput dari sentuhan dan rabaan lembut The Invisible Hand!

Berapa kali dalam sehari kita di jejali dengan tayangan tivi yang mengumbar 'yang-yangan'? Berapa kali dalam sehari kita dijejali dengan iklan produk untuk pacaran, romantisme dan sekian gaya mainstream dedek-dedek muda? Sadarlah sahabat ! Bahwa di balik itu semua terdapat agenda besar kapitalisme global yang melihat begitu empuknya urusan asmara gaya dedek-dedek muda untuk digarap menjadi komoditi yang laries manies di pasaran..

Perjuanganmu berhadapan dengan kekuatan yang luar biasa. Tetapi yakinlah, perjuanganmu tidak akan sia-sia. Sejarah yang akan membuktikan, kebenaran akan diletakkan pada tempat yang semestinya, sahabat. Camkan itu! Ehm!

Ya, sudah saatnya kapitalisme global diletakkan pada posisi pertama dalam urutan penyakit paling mematikan yang telah membunuh dan akan terus membunuh manusia. Ia bagai The Silent Killer.

Namun begitu, kegelisahan sahabat Habib nyatanya belum terobati. Kerapuhan dan keterpurukan akibat gagal asmara yang ia alami menggerakkan nalarnya melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang meniyisir wilayah naqliyah, "Bagaimana dengan ayat yang mengatakan laki-laki baik untuk perempuan baik, juga sebaliknya?"

"Kurang baik apa saya ini, sahabat?" Lanjutnya sambil tergugu. Ingusnya mbeler. Duh! Tak tega rasanya melihat pemandangan yang demikian.

Menanggapi hal itu, Sahabat Najib yang kini melanjutkan perjuangan sahabat Habib di Cabang justru merasa terangsang untuk bertanya (pertanyaan yang baik akan selalu merangsang hadirnya pertanyaan baru. Setidaknya pertanyaan yang baik mampu menggugah refleksi dan kesadaran pendengarnya).

"Saya justru bertanya, apakah jodoh itu sama dengan kenikmatan?" Najib membuka pertanyaan, "Terus bagaimana dengan orang pacaran atau berumah tangga yang selalu ribut dan bertengkar? Apa itu bisa dinamakan berjodoh? Sedang dalam hubungan mereka tidak pernah mereka rasakan kenikmatan?" Lanjutnya.

Sahabat Maput—mohon maaf, lebih mudah dan enak mengatakan dan menulis 'Maput' dari pada 'Mahfudz'—yang tersulut emosi dan terpicu keadaan yang dialaminya tak mampu memendam perasaan. Tumpahlah cerita yang ia balut belepotan dengan tanda tanya, "Apa jodoh itu ada masa tenggangnya, Mas? Kan kita sering lihat teman-teman kita itu putus-nyambung, putus-nyambung..."

"Jodoh, Puuuut, jodoooh!" Peringat sahabat Ahsani yang sedari awal lebih banyak diam menyimak obrolan dengan seksama dan tiada henti menghisap dalam-dalam rokoknya.

"Maksud saya kawin-cerai, kawin-cerai." Ralat Maput seketika. "Atau yang ditinggal mati pasangannya. Lha, apa itu berati jodoh itu juga ada masa tenggangnya?" Lanjut Maput tersendat-sendat.

Belum sempat terjawab kegelisahan sahabat Habib, Najib dan Maput, datanglah sahabat Ojik dan sahabat Ali yang berpasanggan (Maksudnya datang barengan). Kedatanggan mereka tiada lain adalah untuk menjemput Mas Faisol yang akan mengisi penggajian usai kegiatan Diba’an rutin yang dilakukan sahabat-sahabat LIGA di Komisariat. Tapi kerana Mas icol—begitu pangilan akrabnya—khusnudzon diba’an dilaksanakan di Tri Di, maka tanpa pikir panjang ia langsungg saja mengeber bebeknya dan melunyur ke Tri Di. Ealah tibakya diba’an di Komisariat.

Maka sebeum perpisahan yang mengharu biru itu, Mas Icol berpesan, berwasiat, pada hadirin, khususnya ketiga mempelai yang dikawin kegundahan, ” Jodoh itu, ada dua.” Katanya lirih. Kami semua mengerutkan kening, menajamkan pendengaran, menunggu kalimat selanjutnya. (Tapi dianya malah ngisep rokok kreteknya).

“Jodoh Am dan Khos.” Lanjutnya kemudian. Masih denggan suara yang lirih.

“Nah, apa itu, Mas, jodoh Am dan Khos itu?” sergap sahabat Cil yang tidak sabar, mungkin takut keburu baper.

“Jodoh Am itu ya seperti kebanyakan orang, umumnya orang memilih pasanggan. Ketemu, suka, lamar, nikah. Tapi ada beberrapa orang yang melakukan ritual khusus untuk memilih jodoh yang baik. Ada proses-proses khusus yang ditempuh demi mendapatkan calon pasangan hidup yang baik. Ada yang bertirakat dan lain sebagainya. Itu jodoh khos, dan biasanya hanya dilakukan oleh orangg-orang khusus pula, tidak sembarang orang.” Begitu keterangannya.

Usai mendengar penjelasan Mas Icol itu, hadirin sidang Malem Jemuah yang penuh barokah itu manggut-manggut, tidak terkecuali sahabat Ahsani yang kemudian menandaskan puntung rokoknya di atas asbak dengan mantabbb, “Kress.”

Mas Icol berdiri, menjabat tangan kami semua. Ketiga sahabat kami yang tadinya dirundung gelli-sah, kini malah berurai air mata. Entah apa maksudnya. Lebih baik jangan ada tafsir diantara kita.

Menjelang langkah terakhir Mas Icol meninggalkan kami malam tadi, di ujungg pintu lamat-lamat tiba-tiba kami dengar suara mengalun begitu harmonis, kemudian makin jelas suara laki-laki yang merdu terdengar seolah menghantar suasana.

/Tu hi toh jannat meri, tu hi mera junoon../
/Tu hi to mannat meri, tu hi rooh ka sukoon..//

Ternyata saya tidak sengaja menginjak hape.

Menyadarinya saya langsung mematikan lagu itu. Takut kalau-kalau memicu dan memacu emosi sahabat-sahabat malam itu. Akhirnya Mas Icol benar-benar meninggalkan kami. Masrifah yang insyaallah sahabati kita itu juga undur diri, meski tak terlalu jelas alasannya.

Usai melepas kedua mempelai sahabat itu kami kembali ke posisi masing-masing. Namun begitu, ternyata lagu yang hanya sepotong dan sepintas lalu hadir itu membuat sahabat Cil terngiang kembali dengan ucapannya, “Aku melihat Tuhan dalam dirimu..” Katanya, “Sahabat-sahabat, kalimat itu saya ambil dari film yang berjudul Rab ne bana di jodi. Film india, yang kalau diterjemahkjjan ke dalam bahasa indonesia, artinya jadi Jodoh Dari Tuhan," tuturnya mengalir. Sederas air matanya yang menganak-sungai.

“Bagi saya cerita dalam film itu luar biasa sekali. Berbeda dengan beberapa atau bahkan kebanyakan film-film india yang lain ketika bicara tentang cinta. Bagi saya film ini sarat akan nilai spiritual. Ada scene dimana tokoh Surender—duh ternyata dia sungguh hapal di luar kepala—mengunjungi beberapa tempat suci, sebut saja misalnya gereja, kuil, sungai gangga, dan masjid. Mungkin ini salah satu contoh kecil dari apa yang disampaikan Mas Icol Tadi dengan istilah Jodoh khos.” Bah! Makin berbusa. Tapi tak apa, setidaknya itu bisa mengalihkan kegundahan hatinya yang dirundung nelangsa lantaran selalu gagal asmara.





 15 November 2015 #3D

You Might Also Like

2 komentar