APA BOLEH BUAT?

Saya bukan termasuk orang yang produktif. Dalam hal apa pun. Baik dalam menulis, membaca maupun bekerja. Itu bisa saya amati dari perilaku keseharian saya. Tentang produktifitas menulis, berapa karya per hari yang bisa saya hasilkan? Belum ada jumlah yang tetap. Lebih sering malah berhari-hari, bahkan berbulan-bulan tak satu pun tulisan yang saya bidani berhasil lahir dengan selamat tanpa cacat di sana-sini. Artinya saya belum bisa konsisten menulis. Aktifitas menulis belum menjadi kebutuhan yang sangat primer bagi kehidupan saya. Justru aktifitas menulis kadang hanya menjadi bagian dari refreshing, menulis sebagai rekreasi. Meskipun saya sering merasa sakit ketika hasrat menulis begitu kuat tak bisa terpenuhi.

Sering kali tulisan saya hanya berisi celoteh tidak penting tentang apa yang terjadi di dekat saya. Kegelisahan-kegelisahan menggelikan yang mungkin bagi banyak orang tidak penting dan tidak layak untuk ditulis. Tapi apa boleh buat? Saya belum bisa menulis tentang hal-hal yang mungkin penting bagi banyak orang. Saya belum punya pengetahuan yang cukup untuk menulis banyak hal. Sedang dibenak saya yang karatan karena jarang sekali saya gunakan untuk berpikir, mengendap sebuah keyakinan bahwa menulis itu penting. Setidaknya sebagai media mawas diri. Entah dari mana keyakinan itu hadir.

Sampai pada paragraph di atas muncul dialog dalam pikiran saya antara yang akan terus mendorong saya untuk belajar menulis dengan yang nyiyir menghentikan saya menulis.

“Tidak masalah. Lanjutkan saja. Kalau menunggu kepalamu penuh dengan pengetahuan dan ide-ide besar, barangkali kamu tidak akan pernah menulis. Kecuali kalau kamu sudah merasa menjadi orang yang berpengetahuan luas. Lanjutkan saja. Tulislah segala sesuatu yang bisa kamu tulis. Itu akan mengasah keterampilanmu, sementara itu kau juga harus mempertajam pengetahuan dan terus membaca segala sesuatu di sekelilingmu. Pada satu titik, ketika keterampilanmu sudah terasah dan pengetahuanmu telah cukup, kau tidak akan bisa berhenti menulis.” Bisikan itu berkelit-kelindan dalam benak saya. Tapi siapa juga yang akan bicara begitu kepada saya.

Bisikan yang lain tak kalah seru, “Jangan buang-buang waktumu untuk melakukan hal yang tidak penting dan sia-sia. Kamu harus memanfaatkan sisa usiamu untuk melakukan hal yang lebih produktif. Bekerja dan hiduplah seperti layaknya manusia pada umumnya. Ceritamu tentang hal-hal yang tidak penting itu selain menghabiskan waktu dan tenagamu, juga menghabiskan waktu dan tenaga orang yang membacanya. Kau tidak memberikan apa-apa pada mereka. Justru kau ambil kesempatan mereka untuk berkarya. Itu lebih kurang ajar. Hentikan kau mengajak berbuat sia-sia. Itu kontra produktif, kontra revolusi. Subversive!”

Sialan. Aku tegaskan padamu yang nyiyir berbisik, “Aku tidak peduli. Aku hanya mau belajar lagi!”

Beberpa orang mungkin mengalami hal yang sama. Kegelisahan atas apa yang selama ini dikerjakan. Baik atau buruk. Bermanfaat atau sia-sia. Dan tak jarang, pikiran seperti itu justru membelenggu sebagian orang untuk berhenti berbuat sesuatu.

Percayalah, itu keliru. Justru yang harus dilakukan untuk menjawab bisikan itu adalah terus berbuat sesuatu, terus menulis, terus berkarya. Sebab bisikan-bisikan macam itu akan terus hadir mengusik, melemahkan dan menghentikan. Selama dasar suatu perbuatan itu berangkat dari niat baik, maka lakukan dengan sebaik-baiknya. Tidak ada mekar tanpa kuncup. Maka tidak ada karya yang baik tanpa usaha terus-menerus untuk memperbaikinya. Semuanya terjadi dalam proses yang berkelanjutan.

Saya teringat sebuah peristiwa beberapa tahun silam. Saat saya sedang menikmati rambut gondrong dan pakaian yang awut-awutan, celana sobek dan dekil. Mandi juga jarang-jarang. Salah seorang sahabat saya mengajak saya untuk hadir dalam sebuah majelis shalawat. Tetapi saya menolak dengan halus sebab merasa sungkan untuk hadir dalam masjelis yang baik dengan prejengan tak karuan, tidak sopan.

Sahabat saya langsung menukas, “O, jadi kalau begitu sampeyan lebih memilih untukmeninggalkan majelis shalawat dari pada meninggalkan gaya slengekan?”

Sialan! Untung saya orang yang murah senyum. Saya hanya membalas dengan senyum kecut. Sahabat saya berlalu meninggalkan memar luka bekas tamparan tepat di ulu hati saya.

Jadi, jangan berhenti berbuat (baik) hanya karena perbuatan itu dianggap sepele. Sadari saja jika itu memang sepele. Sebab dengan menyadari segala perbuatan, besar kemungkinan seseorang akan mengetahui mana yang baik dan mana yang lebih baik. Semuanya butuh proses. Nikmati saja.

#3D Malang 05 Agustus 2016

You Might Also Like

2 komentar